Sabtu, 08 September 2018

VENEZUELA CASE

"Jika bukan Jokowi yg jd presiden pd 2014, Indonesia mungkin bernasib seperti Venezuela *

Krisis ekonomi yang terjadi di Venezuela semakin membuka mata saya bahwa Jokowi adalah sosok yang tepat menjadi presiden Indonesia di tahun 2014. Jika bukan Jokowi yang jadi presiden, bukan mustahil Indonesia akan mengalami krisis ekonomi yang cukup parah, meskipun tidak separah Venezuela.
Venezuela sebenarnya adalah negara yang kaya. Venezuela memiliki cadangan minyak terbesar di dunia. Krisis yang dialami Venezuela ini sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 2013, yakni sejak kematian mantan Presiden Venezuela, Hugo Chavez.

Namun di tahun ini, Venezuela berada di ambang kehancurannya karena tingkat inflasi yang sangat tinggi, Semua rakyatnya kesulitan memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Salah satu faktor yang dituding sebagai biang keladi krisis ekonomi di Venezuela adalah pemerintah yang terlalu ‘baik’ ke rakyat. Diantara beberapa faktor kehancuran Venezuela adalah sebagai berikut:

Pertama, terlalu mengandalkan sektor minyak. Sekitar 95% pemasukan Venezuela berasal dari ekspor minyak. Saat harga minyak dunia sedang tinggi, pemasukan negara sangat besar, Namun ketika harga minyak turun, pemasukan Venezuela turun. Parahnya, pemerintah tidak melirik lahan pertanian sebagai alternatif sumber penghasilan Venezuela.

Alasan presiden Venezuela, Hugo Chavez karena merasa kondisi ekonomi Venezuela baik-baik saja.Akibatnya, Venezuela murni hanya bergantung pada penjualan minyak ke luar negeri. Dana terus dikucurkan untuk rakyat. Tanpa disadari Chavez, bahwa ini adalah bunuh diri perlahan.

Kedua, Hugo Chaves terlalu baik ke rakyat. Sejak Hugo Chavez berkuasa di tahun 1999, ia langsung menerapkan kebijakan untuk menyetarakan ekonomi rakyat. Sebagian besar keuntungan negara dari penjualan minyak dialokasikan untuk program sosial gratis bagi rakyat. Termasuk subsidi dan usaha-usaha mengentaskan kemiskinan.

Selepas Chavez mengkat, Maduro menggantikannya dan meneruskan program subsidi ala Chavez. Tahun 2016, harga minyak dunia turun drastis dan penghasilan Venezuela terpangkas habis. Kas pemerintah kosong bahkan defisit, karena program untuk rakyat tetap dijalankan.

Maduro mengambil keputusan salah. Bukannya mencari solusi dengan menambah lini produk ekspor, dia malah mencetak uang sebanyak mungkin. Nilai tukar bolivar melorot tajam. Inflasi tak terkendali dan tingkat harga barang naik hingga 1000%.

Dampaknya, Mata uang Venezuela, uang kertas bolivar, nyaris tak ada nilainya dan merupakan salah satu mata uang dengan nilai tukar paling rendah di dunia. Mata uang Venezuela ambruk dan hampir tidak berharga saat ini menyusul kemerosotan ekonomi yang sangat parah di negara itu. Untuk 1 dollar AS yang saat ini di Indonesia paling mahal menyentuh Rp 14.500, di Venezuela bisa setara lebih dari 6,3 juta Bolivar.

Hal ini mengakibatkan harga barang biasa menjadi lebih mahal dari emas. Misalnya satu gulung kertas tisu toilet di Venezuela dihargai 2,6 miliar bolivar.Harga 10 buah wortel yang di Indonesia bisa kurang dari Rp 10.000, di Venezuela dibanderol 3 juta bolivar. Lebih mencengangkan, untuk satu paket pembalut wanita, biaya yang mesti dikeluarkan yakni 3,5 juta bolivar.

Penjelasan di atas adalah sekelumit penyebab Venezuela mengalami kebangkrutan total. Rakyat konon sampai memakan daging busuk. Dari perjalanan Venezuela dari negara kaya menjadi negara bangkrut total, kita sebagai bangsa Indonesia bisa mengambil banyak pelajaran.

Salah satu pelajaran penting, terlalu baik kepada rakyat dengan memberikan banyak subsidi dan donasi, tanpa mendidik rakyat agar bisa mandiri dalam bekerja ternyata bukan kebijakan yang baik. Kebijakan ini justru membunuh rakyat secara perlahan. Untuk era modern seperti ini, subdisi dan donasi untuk rakyat sangat tidak mendidik, karena membuat rakyat malas, tidak mandiri, dan tidak memiliki kecakapan serta semangat untuk berkompetisi dengan masyarakat modern.

Saya masih ingat betul ketika SBY begitu baik memberikan subsidi ke rakyat, baik BBM, listrik, dan yang lain. Rakyat miskin bahkan mendapat BLT tiap bulan. Saya baru menyadari saat ini bahwa kebijakan SBY sangat berdampak buruk. Pasalnya, hutang Indonesia membengkak di era SBY hanya untuk mensubsidi rakyat.

Beruntung masa jabatan SBY hanya 10 tahun. Jika aturan di Indonesia membolehkan presiden menjabat hingga 20 tahun, saya membayangkan mungkin Indonesian akan mengalami krisis ekonomi seperti Venezuela karena presiden terlalu baik ke rakyat.

Beruntung di tahun 2014 Jokowi terpilih menjadi presiden. Dia merubah total kebijakan SBY. Dia cabut subsidi dan mendidik rakyat agar mandiri dan mengikat pinggang karena memang kondisi Indonesia sedang tidak bagus. Jokowi mengajak rakyat untuk sama-sama lelah, bekerja demi kemajuan Indonesia, bukan dimanjakan dengan subsidi dan BLT.

Meskipun Jokowi mendapat kecaman karena dinilai kejam mencabut subsidi, harga-harga naik, Jokowi tak peduli. Dirinya rela dicemooh asalkan negara selamat dari krisis ekonomi. Terbukti, ketika Dollar begitu buas menekan mata uang negara lain, rupiah menjadi mata uang yang paling kuat di Asia yang mampu menghadapi gempuran dolar. Erdogan, presiden Turki bahkan tak mampu seperti Jokowi. Lira sebagai mata uang Turki mengalami inflasi yang sangat tinggi.

#BravoJKW 👍👍
#salam2periode ✊✌👊

Tidak ada komentar:

Posting Komentar