Rabu, 27 Maret 2019

CALEG DPR RI MALANG RAYA : SOFIA AMBARINI YANG TERBAIK

SOFIA AMBARINI CALEG DPR RI MALANG RAYA TERBAIK

Cerita Dulu Latar Belakang Yang Nulis Cerita Ini

Saya sejak umur 4 tahun sudah tinggal, hidup dam dibesarkan di kota Malang, Jawa Timur. Sejak TK ( TK PPSP), SD (SD PPSP), SMP (Negeri 1 Malang), SMA (Negeri 3 Malang dan sempat pindah ke SMAN 5 Surabaya) dan kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya Malang. Saya tinggal di Malang karena orang tua saya adalah seorang dokter bedah tulang yang ditempatkan di kota Malang dan beliau dosen di Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya.

Dulu jaman saya kecil, kota Malang dingin banget udaranya, tapi ya gitu hiburan minim, dan gak ada macet seperti sekarang. Jaman kecil maksudnya antara tahun 1980-1990an. Hiburan cuma nyewa kaset video yang bisa disewa 3 -7 hari , 1 kaset harganya lupa, pilihan videonya ya anime anime Jepang seperti Voltus V, Megaloman, Go Shogun, Lion Man, Gavan, Sharivan, God Sigma sampe Lulu dan Candy - Candy. Hahaha. :)

Hiburan lain ya paling nongkrong sama kakak-kakak tetangga sebelah rumah.

Acara paling cuma sekolah, les, main, nonton video, ya udah gitu aja. Lingkungan aman tentram, masyarakat Malang itu guyub karena kota kecil, semua kayaknya bisa kenal.

Apa Itu Pemilu?

Waktu kecil, kalau ada Pemilu, saya ingat ada 3 partai politik yang harus dipilih, yaitu PPP, Partai Golkar dan PDI. Hijau, Kuning, Merah. Pas lihat mereka kampanye, saya juga gak tahu bedanya apa. Saya tanya sama orang tua saya, apa bedanya di ketiganya? "PPP itu parpol berbasis agama Islam, PDI itu nasionalis, Golkar itu pemerintah",  (kalau gak salah ingat gitu jawaban ortu saya). "Trus Bapak Ibu coblos yang mana?" tanya saya. Jawabnya "Golkar".
"Kenapa Golkar?" Saya tanya lagi.
"Soalnya Bapak kan pegawai negeri, jadi harus berterima kasih jadi harus coblos Golkar", jawab Ibuku. Waktu itu saya cuma jawab "Oooo gituu". Abis itu gak ambil pusing lagi.

Kalau saya ingat waktu itu, semua tunduk sama Presiden Soeharto. Semua manut. Tapi emang gak ada gejolak gejolak sosial yg berarti. Cuma sekali-sekali saya baca majalah Tempo nya bapak saya, yang halaman depannya ada dibahas soal siapa yang dibunuh lah, siapa yang hilang lah tapi pelakunya belum ketemu. Jadi headline dan tapi sekedar headline drama. Seingat saya juga gak pernah tuntas kasusnya. Gak peduli juga lha wong saya masih kecil.

Indonesia Mulai Rusuh

Abis itu saya masuk ke tahun 1990an , masuk SMA dan kuliah. (Duh ketahuan deh umurnya nih). Sekolah ya sekolah, gak ada yang istimewa, paling ya jadi remaja yang ingin eksis, aktif kepanitiaan, nge band, organisasi ya gitu gitu. Kadang suka tahu dan mulai sering denger ada demo demo mahasiswa di pertengahan 90an. Dan inget banget pas ada bakar-bakaran tank di Menteng thn 1996 Juli, aku lagi nginep di rumah Eyang juga tuh saat itu. Ada apaa lagi ini Jakarta.

Ah saya kan gak peduli, pokoknya asyik aja berorganisasi. Waktu itu saya aktif di organisasi internasional mahasiswa non politik namanya AIESEC. Sibuk lah kegiatan dan main ke berbagai kampus di Jakarta, Bandung, dan Semarang, sibuk Make A Better World. Chiee.. idealis pokoknya.

Sampai saya ingat tahun 1998 Mei, itu saya lagi jadi Presiden AIESEC Indonesia, ada kerusuhan yang berujung (akhirnya) Presiden Soeharto mengundurkan diri dan diganti dengan Presiden BJ Habibie. Saya ingat waktu itu memang saya sampai kaget dan geleng-geleng, di periode pemerintahan Presiden Soeharto - Wapres BJ Habibie baru mau mulai, masa Siti Hardiyanti Rukmana alias bu Tutut ANAK KANDUNG PRESIDEN dijadikan Menteri yang bapaknya juga Presiden? Terus Bob Hasan dijadikan menteri BUMN atau industri kalau tidak salah. Ya ampun. Itu saya yang gak tertarik politik saja udah gak suka.

Jadi saya salah satu saksi mata betapa kekuasaan super power yang terlalu lama, menyebabkan kolusi nepotisme itu mewabah kemana2. Kalau sekarang saya bisa lihat bahwa Indonesia itu udah lama punya budaya Penjilat alias Kiss Ass sama Boss nya. Supaya apa? Supaya aman hidupnya. Supaya kuat finansialnya alias tajir dan akses jaringan kekuatannya. Kalau kita lihat sekarang, udah bisa kita bilang "Jijay banget ya". Kalau dulu? Mana ada yang berani bilang gitu. That is the only way to survive. KISS ASS. Ya mungkin di dunia swasta beberapa ada yang bener2 profesional, tapi mostly budaya Indonesia adalah asal bapak senang.

Soeharto turun. Habibie naik. Ada harapan. Tapi Habibie cuma jadi 1 tahun lebih sebagai Presiden. Kenapa jugaa dia ditolak laporan pertanggung jawabannya sama MPR DPR. Trus lembaga superpower MPR DPR itu akhirnya memutuskan sendiri utk punya Presiden baru dan itu adalah Gus Dur dengan Wapres Megawati. Gus Dur punya partai politik yang berbasis NU yaitu PKB dan Megawati punya parpolnya PDI Perjuangan.

Oiya, mau balik lagi ke tahun 1996, aku ingat. Apa tahun yg beda ya, dimana Megawati diatur sama Soeharto biar gak boleh jadi Ketum PDI dan diganti sama Soerjadi. Buat kita dulu, PDI Perjuangan itu adalah simbol perlawanan pada tirani penguasa. Kita bela banget Megawati di thn 1990an sampai pun dia jadi Presiden RI thn 2001 - 2004 menggantikan Gus Dur yang dilengserkan atau impeachment sebagai Presiden RI oleh MPR DPR.

Bye 90an, Welcome Y2K

Tahun 1999 saya magang kerja di negeri Kanada  sekitar 4 bulan. Mulai Juli 1999. Lulus kuliah, selesai masa jabatan Presiden AIESEC Indonesia, berangkat deh magang. Pulang magang, belum dapat kerjaan, ngelamar2 lihat di koran Kompas, masuk ke kantor pialang bursa komoditas. Dan akhirnya dipanggil kerja di kantor ACNielsen, biro riset pemasaran terkemuka di dunia. Belajar jadi kacung kampret sebagai eksekutif junior riset kualitatif.

Sibuk kerja, sibuk niti karir, saya gak perhatikan dunia politik. Yang saya tahu cuma Megawati berhasil menge golkan Pemilu langsung untuk pilih Presiden dan anggota Dewan utk pemilu thn 2004. Buat saya , Megawati pahlawan besar di hal tersebut. Bayangkan kalau kita harus menggantungkan suara kita hanya ke para DPR yg itu itu aja orang orangnya. Dan saya ingat betul sebelum thn 2004, keluarga saya udah melihat sosok SBY yg ala ala Jenderal pandai dan kemudian jadi Menkopolhukamnya Megawati, mundur, bikin buku , bikin Partai Demokrat (yang seingat saya sebenarnya dibentuk oleh alm. Sys NS) dan mencalonkan diri jadi Capres dengan Jusuf Kalla sebagai cawapresnya.

Saat tahun 2004, kita semua tahu Megawati ngamuk karena SBY gak terus terang sama dia kalau mau maju Capres sehingga Megawati salah perhitungan. Tapi buat kita orang awam, Megawati udah kurang diminati karena; orang orang PDIP yang jadi menteri ternyata korupsi juga. Trus cawapresnya, harusnya keren sih, Alm. Hasyim Muzadi, pimpinan PBNU kala itu.

Namun SBY JK mencerminkan sosok baru yang bersih, profesional, pas banget kombinasi Jenderal TNI dan Pengusaha serta birokrat. Sedangkan bu Mega dan pak hasyim dianggap tidak dalam kapasitasnya. Kalah deh bu Mega- Hasyim dapat 40% dan SBY JK dapat 60%.

2004 itu optimis banget. Hawa segar baru. Presiden baru. Ekonomi merangkak naik dengan berbagai industri tambang dan minyak.
Banyak prestasi prestasi yang terlihat, ekonomi tumbuh. Okelah masa 2004-2009, kecuali ada krisis Ekonomi dunia di thn 2008.

2009, SBY maju lagi jadi capres, JK gak mau jadi cawapres lagi akhirnya maju capres juga dan Megawati gak nyerah, dia juga maju jadi Capres pasangan sama Prabowo Subianto yang waktu itu baru mendirikan Partai Gerindra thn 2008. SBY pasangan sama Boediono. JK pasangan sama Wiranto.

Buat saya waktu itu, ya SBY Boediono, karena pak Boediono itu sosok yang rendah hati, ekonom senior mantan Menteri keuangan, dan mantan Gubernur Indonesia. Dan kita udh denger juga kalau Sri Mulyani akan dijadikan Menteri Keuangan oleh SBY. Ya jelas SBY lagi pilihan saya waktu itu.

LEMBARAN BARU POLITIK INDONESIA

Dari situ, saya mulai perhatian sama dunia politik. Door openingnya adalah waktu ada seorang Walikota Solo, Ir. Joko Widodo , yang sudah kita dengar banyak prestasinya di kota Solo, dan mau diusung oleh Prabowo Subianto menjadi Calon Gubernur DKI Jakarta.

Itu tahun 2012. Dan calonnya ada 6 pasang kandidat kalau tidak salah, banyak banget.

Sebagai warga Jakarta yang punya Gubernur dulu seperti Sutiyoso dan apalagi Foke, aduuh ampun deeeh, benci banget sama pejabat daerah ini. Tidak ada orientasi melayani masyarakat dan Jakarta selalu banjir. Trus ngeyel terus.

Jadi pilkada DKI Jakarta 2012 itu bener bener roh atau gairah masyarakat Indonesia untuk memilih calon pemimpinnya itu besar sekali.
Alhasil Jokowi-Basuki menang dengan angka tipis 54% dan Foke-Nachrowi dapat 46%. Wuiih senengnya kita! Punya Gubernur yang bener! Akhirnya bisa nendang Foke jauh jauh!

Kita bangga punya Gubernur DKI Jakarta seperti Jokowi. Dan Prabowo mengusung Jokowi dan Ahok lho waktu itu.

Eh belum selesai masa jabatan, ternyata Jokowi digadang-gadang jadi capres di 2014! Kita antara senang atau ragu. Dia belum selesai di DKI Jakarta, masa mau lompat jadi Presiden?

Sejak itu, dunia perpolitikan di Indonesia mulai tanpa henti terus bergairah. Karena JOKOWI.

Di 2014, berpasangan dengan Jusuf Kalla, Jokowi menang lawan Prabowo-Hatta Rajasa yang dulunya ngusung dia jadi gubernur DKI. Itu drama 2012 mulai lagi. Seragam kotak-kotak, salam 2 jari, wah gegap gempita rakyat mau pemimpin yang dari bawah dan harapan baru itu BESAAAAAR SEKALI. Kita gak mau pemimpin2 yang elite elite. Pasti korupsi deh!

Dan benar! Sejak Jokowi jadi Presiden RI, dan menonton wajah sengak SBY diganti oleh Jokowi, Indonesia berbeda. Energi dan rasa bahwa pemerintah itu nggak elite lagi, tapi turun ke masyarakat, solusi demi solusi itu kelihatan. Kelihatan kalau pemimpinnya mau hasil nyata untuk masyarakat. Walau ekonomi sejak tahun 2014, 2015, 2016, 2017, 2018 belum terlalu baik karena tekanan ekonomi global yang juga tidak baik, (diduga juga karena adanya masa shifting to digital yang mengubah pola dunia - dimana semua diminta untuk harus cepat berubah) , tapi rasa yakin pada seorang Jokowi itu besar. Gak ada itu kasus Hambalang atau kasus mega korup Bank Century ala SBY. Ini malah Petral dibubarkan, tol tol dibangun, dunia digital startup diperhatikan dan dibela, Freeport diambil, dsb. Dan makin banyak pemimpin pemimpin daerah yang orientasi kerja dan prestasi bertumbuhan seperti Ridwan Kamil, Azwar Anas, bu Risma, dan tentunya Ahok! Dan masih banyak lagi.

Tapiii ... jadinya gejolak berlanjut. Orang orang gaya lama, gaya nyogok, gaya kong kalikong, gak suka sama jokowi.

Mulailah tercipta pergesekan2 yang diciptakan.

SAYA DAN ISTRI

Saya dan istri saya (o btw kami nikah tahun 2007, ketemu di HIPMI , sama sama pengusaha, dan jatuh bangun sama2, anak kita 2, cowok cewek :)) gak pernah ngomongin politik. Pas pacaran, pas nikah. Tapi di thn 2012 dengan Jokowi, kita garis keras baju kotak-kotak. Dan pas Jokowi di pilpres, kita lebih garis keras bela Jokowi. Lebih lebih lagi di pilkada DKI, Ahok Djarot. Dan oiya, saya sejak thn 2000 tinggal di jakarta dan selama menikah sd sekarang juga masih jadi warga DKI.

Kita ngerasain juga hasil kerja Ahok di DKI. Kita Fans Berat Ahok!

Tapi kemudian Ahok kalah, dan masuk penjara , kita sedih dan down. Serasa dunia gelap. Ada apa dg Indonesia yang kok tiba-tiba agama jadi dibawa kemana2? Sejak saya hidup saya merasakan Indonesia itu toleransi umat beragamanya kental. Ini kok tiba tiba ada khilafah khilafah?

Istri saya mulai nyerocos soal kita harus punya domisili di luar negeri, punya bisnis di luar negeri, punya rumah di luar negeri lah... haduh pusing saya. Aku tahu dia frustrasi dengan kondisi Indonesia, tapi kita ini siapa, cuma orang biasa.

Terus Ada PSI

Daan tiba tiba saya diajak seorang teman namanya Rizal Calvary yang mau maju jadi caleg buat Partai Solidaritas Indonesia alias PSI. Saya pernah dengar soal PSI. Partai baru. Tapi sebelumnya saya masih memandang sebelah mata pada parpol baru ini, karena saya punya pengalaman dan juga menyaksikan bahwa betapa banyak partai partai baru sebelumnya tumbang. Sebut saja dulu ada Partai Damai Sejahtera (PDS), ada PBB nya Yuzril Ihza, PDR, dll dll ilang semua. Maksudnya, ya gak ada wujud nyatanya lagi. Jadi kalau ada partai baru ya gak langsung percaya bakal akan ada umur panjang.

Nah ternyata mereka baru saya tahu, lolos verifikasi utk ikut di Pemilu 2019. Hebat bener. Padahal saya meremehkan parpol baru yang dimanajemeni oleh anak2 muda semua. Ternyata hebat. Lolos.

Saya ditawari malahan untuk jadi caleg. Ha? Saya? Hmm. Saya memang tertarik pada dunia politik di beberapa tahun terakhir, tapi gimana dengan kantor dan dagangan saya?

Ya trus saya pulang, cerita sama istri dan cerita ada partai baru yang pertama kalinya nyari kandidat caleg yang gak punya background politik atau pernah jadi anggota kader di parpol lain. Dan harus nyiapin konsep, program dan harus presentasi di depan Pak Mahfud MD atau bu Marie Eka Pangestu. Waaaah .

Aku tawarin aja ke istri, "kamu mau gak mi? Kamu kan aktif di dunia sosial, kamu punya pengalaman karir yang keren, bekas General Manager di perusahaan besar di usia muda, pengusaha dan galak pula, cocok jadi anggota dewan marah-marahin para oknum oknum yang mau nyolong. Bisa jadi kesempatan kamu membuat perubahan buat bangsa ini.", jelas lebar penjelasanku pada istriku.

Ya dia langsung jawab, "ya udah deh tolong bikinin dong presentasinya". *gubrak*
"Iya deh, aku buatin". Ya udah deh saya buatkan presentasinya sesuai dengan memang apa yang dia sudah lakukan lama. Yaitu dia punya darah keturunan keluarga di Jogja ningrat yang suka beraktivitas sosial, dan punya Yayasan Panti Jompo warisan Eyang Putrinya, dan sekarang dia juga punya sendiri yayasan sosialnya namanya Yayasan Lintas Solidaritas Indonesia. Gara-garanya dia 4 tahun terakhir jadi rajin bagi bagi nasi bungkus ke pemulung, nyantuni pejuang veteran, dan yang terbaru adalah menyantuni para lansia yang hidup sebatang kara tanpa sanak keluarga dan tak punya penghasilan di dusun dusun.

Di presentasinya , aku masukkan itu, dia ingin memperluas impact bantuan sosial dia ini yang harapannya bila terpilih , program inisiasinya dia ini akan bisa menjadi program nasional. Ada juga perhatian pada kualitas pendidikan anak, dan pemberdayaan perempuan yang menjadi salah satu perhatian dia.

Pas disuruh presentasi, istriku kebagian presentasi ke BU MARIE PANGESTU. Wah itu idola istri saya. Dan senangnya waktu pengumuman, bu marie eka pangestu bilang dia mendapatkan 2 kandidat wanita terbaik yang presentasi pada waktu itu. Ditanyain mau minta Dapil mana, kita bilang minta Dapil Malang karena disana adalah kota atau kampung halaman saya. Ortu saya juga masih tinggal di Malang, jadi kita berdua udah janjian untuk membuat Malang sebagai prioritas pilihan dapil kita. Dan istri saya memilih ingin menjadi DPR RI, bukan DPRD karena apa yang ingin dia perjuangkan kebanyakan bersifat strategis.

2 minggu kemudian, istri saya dipanggil ke kantor PSI dan dikasih surat penunjukan oleh bro Sumardi Ma. Dan kita langsung bengong. "Trus abis ini, kita harus ngapain?" . Kata Sumardi, "ya kampanye" . 😆

GIMANA CARA JADI CALEG?

Kita masih bingung. Lho , bukannya serasa awalnya kita iseng aja menyalurkan ide dan semangat kita. Wah ternyata dipilih jadi caleg. Itu bulan Mei 2018. Bulan Juni 2018, kita pas puasaan, udah mulai penjajakan di kota Malang untuk siap siap kampanye.

Wah kita ini bukan politisi, jadi nggak ngerti itu apa arti korcam, kordes, korwil, ... terus apalah itu yang nawar-nawarin kita jadi tim sukses, suruh bayar sekian puluh juta di depan lalu harus bayar ini itu nanti kalau udah terpilih. Halah!
Penipu semua. Kita doain mereka nemu cari uang cara lain yang lebih bener di masa mendatang. Kasian anak anaknya kan.

Sampai di Malang dalam masa sebelum boleh kampanye, istri saya gencar mengeksekusi program program sosial yayasannya untuk memperkenalkan dirinya di kota Malang. Alhasil orang mulai melihat istri saya ini agak unik, GAK PERNAH ADA CALEG YANG PUNYA PROGRAM RIIL seperti istri saya. Maksudnya, biasanya orang itu turun kasih program kalau udah mau pemilihan. Tapi orang tahu kalau istri saya punya yayasan ini udah lama, dan ketahuan kok mana orang yang musiman dan orang yang memang biasa berbuat untuk orang lain.

Jadi selama keliling, istri saya diterima dengan positif karena ada program riilnya.

Namun, gak cocoknya kita adalah, kita tidak mau politik transaksional. Yaitu ;
- harus bayar per suara berapa rupiah untuk nyoblos
- harus bayar pasukan saksi
- harus bayar atau beliin sesuatu buat masyarakat supaya mereka mau vote kita.

Masyarakat Malang yang pada umumnya sudah biasa begitu, jadi balik badan karena kita dianggap caleg kere. Tampaknya umumnya orang itu mau cari uang di masa kampanye atau pemilu ini.

Sayang sekali, padahal saya tahu istri saya adalah orangnya fighter dan kekeuh kalau disuruh belain atau nolongin orang kesusahan. Tapi, ya budaya itu belum hilang.

Maka sudah banyak orang yang gak nyambung dengan kita karena soal duit semata.

Ternyata Ini Nilai Mulia Menjadi Seorang Anggita Legislatif, Kami Baru Tahu

Saya menjadi saksi mata sendiri dan saya sendiri pun menjadi seorang pembelajar di pengalaman mendampingi istri saya dalam melakukan kegiatan kampanyenya. Banyak sekali orang yang membutuhkan bantuan atau sentuhan fasilitasi dalam hal pertanian, lapangan kerja, fasilitas pendidikan, pendampingan usaha kecil mikro, dan lain sebagainya. Hal-hal yang tidak pernah saya lihat seksama selama saya tinggal dan besar di Malang. Wow!

Niat besar untuk bisa bantu mereka itu jadi tumbuh makin besar dan makin besar. Walaupun ada keraguan apakah istri saya akan memenangkan pertarungan pileg ini, tapi niat ingin melakukan sesuatu itu besar. Kadang saya berpikir, "ah kan kita punya beberapa PT - perusahaan pelatihan , perusahaan investasi dan yayasan untuk bisa menjadi naungan kegiatan kita".

Apalagi istri saya sangat getol dan perhatian pada anak anak atau individu disabilitas, karena memang Ibu Mertua saya juga punya low vision, sehingga membuat istri saya sangat perhatian pada insan insan anak yang berkebutuhan khusus.

Lama-lama sambutan masyarakat mulai banyak. dan yang menyambut adalah para masyarakat yang akhirnya mengerti kalau istri saya bukan caleg biasa. Bukan caleg yang punya kepentingan politik buat pribadinya, kecuali semata mencari wadah untuk berkontribusi buat bangsa negara.

MAKA JANGAN PERNAH MENYERAH UNTUK RAKYAT

Mulai mendekati hari coblosan Pemilu, makin banyak serangan serangan. Caleg caleg incumbent atau caleg lain mulai senggol sana sini. Semua dengan budget kampanye yang fantastis. Budget dari partai tidak sepadan dengan budget caleg caleg lain. Jadi kita harus keluar dari dompet kita sendiri.

Waktu juga sangat tersita, hingga kita kewalahan mengatur hidup antara Jakarta dan Malang karena istri saya udah harus terus di Malang di 3 bulan terakhir. Anak-anak kita yang sekolahnya di Jakarta juga kangen ibunya sekali.

Tapi istri saya bukan orang yang kenal menyerah. Segala daya upaya dia kerahkan, hingga tak terduga dia mendapatkan bantuan dari keluarga pesantrennya di Cirebon yaitu Pesantren Buntet yang memperkenalkannya kepada pesantren pesantren se Malang Raya. Bahkan dia sampai menemukan ternyata leluhurnya dimakamkan di Malang. What a coincidence.

Kenapa Istri Saya adalah Caleg Terbaik DPR RI untuk Malang?

Karena:
1. Dia adalah perempuan yang tangguh dan berintegritas tinggi. Artinya, sama dia, kalau udah kerja dengan tujuan baik, akan dia kerjakan sampai dapet. Kedua, jangan suruh dia nyalahi aturan, dia akan ngomel tak berkepanjangan dan berani melawan.

2. Dia gak diragukan punya kapasitas seorang CEO yang bisa digunakan oleh masyarakat, untuk menjawab segala permasalahan sosial di Malang.

3. Dia memang bukan orang Malang, tapi suaminya orang Malang dan keluarganya di Malang. Artinya, pemahaman budaya dan karakter orang Malang, tidak akan hilang karena dijembatani oleh suaminya yang dari kecilnya hidup di Malang.

4. Gak punya beban. Jadi dia bisa full menjadi seorang pelayan rakyat nan pintar nan pemberani. Gak ada beban politik. Karena PSI nya juga orientasinya menjadi pelayan rakyat bukan ingin jadi kartel atau parpol dinasti.

5. Dia dan saya suaminya, adalah pengusaha. Kita tiap hari kerjaannya mencari dan mengubah masalah menjadi peluang. Dan akses kami berdua adalah di tingkat nasional bahkan internasional.

6. Anti Suap! Jadi gak perlu lagi itu Kiss Ass sama istri saya, karena kita tidak suka disanjung dan disuap. Harga diri rek. Urip sekali, ya masa mau merendahkan diri seperti itu.

7. PSI. Istri saya diusung oleh parpol jamannow yang terbaru dan pro perubahan. Native dalam teknologi dan digital. Betul betul parpol masa depan. Jadi, saya optimis.

8. Idola istri saya adalah Ahok. Sosok pemberani dan berani karena benar. Mampus deh para koruptor yang coba coba.

-----

Jadi segitu aja sih cerita saya yang panjang lebar ini. Para caleg lain jangan tersinggung, tapi ya emang kenyataannya semua cuma jualan foto, bagi bagi uang aja kan? Janganlah tipu rakyat kita ini. Berikanlah mereka sekarang yang dapat kesempatan untuk sejahtera juga. Jangan hidup untuk membohongi orang lain demi keuntungan kita sendiri. toh kita hidup cuma sekali kan?

Minggu, 24 Maret 2019

How Millenials Kill Kitchen

How Millennials Kill Kitchen

by yuswohady

Pertengahan tahun 2018 UBS, bank investasi asal Swiss, mengeluarkan studi yang sangat mencengangkan dengan judul menyengat: “Is the Kitchen Dead?”

Dari studi tersebut UBS memunculkan skenario bahwa di tahun 2030 hampir seluruh makanan yang kini dimasak di rumah akan dipesan secara online oleh perusahaan semacam UberEats (Go Food kalau di sini) dan dikirimkan melalui restoran atau dapur terpusat (central kitchen) terdekat.

Kalau demikian adanya, simpul UBS, ini adalah pertanda “kematian” dapur dan aktivitas memasak di rumah.

Dan biang dari itu semua, simpul UBS lagi, adalah: milenial.

Cover Millennials Kill Everything

Milenial adalah lazy generation alias generasi termalas dalam sejarah umat manusia karena dimanjakan oleh beragam apps yang memudahkan kehidupan mereka, termasuk dalam hal memesan makanan melalui online delivery. Mereka adalah generasi yang convenience-seeker.

Mereka paling hobi nonton HBO atau sepak bola Premiere Leaque di rumah via Netflix sambil memesan makanan via GoFood. Dan faktanya milenial tiga kali lebih sering dalam memesan makanan via online delivery ketimbang orangtuanya. Tak hanya itu, food delivery apps adalah 40 besar apps yang paling banyak diunduh oleh milenial saat ini.

Baca juga: Bagaimana Milenial Mendisrupsi Tempat Kerja?

Ramalan UBS penjualan online food delivery akan naik pesat dengan pertumbuhan lebih dari 20% setiap tahunnya sehingga menjadi $365 miliar (lebih dari Rp 5000 triliun) di tahun 2030 dari sekitar $35 milar tahun lalu.

Ada empat faktor yang mendorong terjadinya online food delivery boom ini di masa-masa mendatang. Pertama adalah murahnya upah koki sebagai akibat munculnya tren gig economy atau freelancer economy.

Kedua, bermunculannya apa yang disebut “dark kitchen” yaitu restoran yang beralih fungsi hanya sebagai dapur untuk layanan online food delivery seperti gerai Pizza Hut Delivery (PHD). Operasi dark kitchen ini jauh lebih efisien dari full service restaurant.

Ketiga, kemajuan teknologi artificial intelligence (AI) dan robotic memungkinkan burger atau salad diolah secara otomasi oleh robot. Penggunaan robot untuk memasak tak hanya menekan biaya serendah mungkin tapi juga memangkas tajam waktu memasak dan penyajian makanan.

Keempat, food delivery dengan menggunakan drone bakal mencapai critical mass digunakan oleh perusahaan online food delivery. Dampaknya, biaya dan waktu pengiriman akan kian terpangkas lagi.

Kalau keempat hal itu terjadi, maka hitung-hitungan keekonomiannya sederhana: ketika memasak di rumah menjadi lebih mahal, lebih lama, dan lebih ribet dibanding memesannya via online, maka bisa ditebak bahwa dapur dan aktivitas memasak di rumah pada akhirnya akan punah “dibunuh” oleh milenial.

Tren ini menarik kalau ditambah hasil survei dari porch.com yang menemukan bahwa milenial adalah generasi yang paling tidak konfiden di dapur. Menurut survei tersebut, kemampuan memasak milenial adalah yang terendah dibandingkan Gen-X dan Baby Boomers.

Hanya 5% milenial yang memiliki kualifikasi kemampuan memasak “sangat bagus” dibandingkan Baby Boomers yang mencapai 12,5%.

Mereka adalah generasi yang paling rendah dalam hal kemampuan memasak sederhana seperti memasak ayam, brokoli, atau telur. Tak sampai separuh dari mereka yang bisa memasak sayur dan daging.

Dalam survei tersebut porch.com melakukan “tes IQ memasak” untuk mengukur “kecerdasan memasak” seseorang. Hasilnya, Baby Boomers memiliki skor IQ memasak 10% lebih tinggi dari milenial.

Apa yang terjadi kalau dapur sudah tidak dibutuhkan lagi?

Yang jelas nantinya akan banyak rumah didesain tanpa dapur atau rumah dengan dapur minimalis. Tak hanya itu, produsen peralatan dapur seperti Maspion dan home appliances seperti lemari es Sharp akan terkena dampaknya. Produsen makanan dan bumbu seperti Royco, Kecap ABC, margarin Blue Band, atau minyak goreng Bimoli juga akan terimbas.

Apakah betul dapur dan memasak di rumah akan punah dibunuh milenial seperti prediksi UBS, mari kita tunggu datangnya tahun 2030.

Sabtu, 23 Maret 2019

VISI MISI PENGEMBANGAN SDM dan EKONOMI JOKOWI AMIN

Revitalisasi Pendidikan dan Pelatihan Vokasi

Untuk menyiapkan SDM yang terampil diperlukan revitalisasi pendidikan dan pelatihan VOKASI yang sesuai dengan kebutuhan dunia INDUSTRI dan perkembangan TEKNOLOGI. Pada empat tahun terakhir, telah dilakukan langkah-langkah perombakan dan  perbaikan terhadap sistem pendidikan dan pelatihan vokasi.
Fondasi ini akan diteruskan pada periode berikutnya.

x Meneruskan revitalisasi pendidikan VOKASI untuk peningkatan kualifikasi SDM dalam menghadapi dunia kerja, baik Sekolah Menengah Kejuruan dan Politeknik.
x Meneruskan revitalisasi pelatihan vokasi yang disesuaikan dengan kebutuhan dunia industri dan perkembangan teknologi.
x Memperluas akses buruh untuk mendapatkan
dana/beasiswa untuk meningkatkan pendidikan dan keterampilan.
x Memperkuat pelatihan vokasi kewirausahaan bagi para santri.

Menumbuhkan Kewirausahaan Bonus demografi dan hadirnya Revolusi Industri 4.0 harus
dihadapi dengan menumbuhkan wirausahawan -wirausahawan baru terutama dari kalangan generasi muda/milenial, yang difasilitasi dengan:

x Mempercepat tumbuhnya wirausahawan muda dengan penyediaan fasilitas pendidikan dan pelatihan KEWIRAUSAHAAN yang melibatkan komunitas pendidikan dan sektor ekonomi kreatif.
x Mendorong/memfasilitasi jenis-jenis usaha dan pekerjaan baru dengan regulasi yang lebih adaptif.
x Memberikan jaminan kemudahan berusaha serta Memperbanyak penyediaan fasilitas untuk belajar dan kerja bersama (coworking space) dan memfasilitasi akses pada internet di tempat-tempat umum.
x Meningkatkan akses permodalan bagi wirausahawan baru dengan menggunakan model pembiayaan non-konvensional sehingga memudahkan wirausahawan baru yang tidak memiliki aset.
x Memfasilitasi perkembangan usaha rintisan dengan mengembangkan INKUBATOR untuk mendampingi dan memfasilitasi, yang didukung oleh dunia usaha, BUMN, kampus, dan komunitas, maupun angel investor.
x Mendorong berkembangnya market place yang berorientasi ekspor.

Melanjutkan Revitalisasi Industri dan Infrastruktur Pendukungnya untuk Menyongsong Revolusi Industri 4.0.

Agar perekonomian Indonesia memiliki daya saing, maka Revitalisasi Industri merupakan keniscayaan. Untuk itu, ada beberapa langkah yang akan dilakukan:

x Menguatkan kebijakan pengelolaan sumber daya alam dari berbasis komoditas menjadi lokomotif pembangunan ekonomi.
Mempercepat pengembangan industri prioritas nasional,terutama di industri manufaktur, industri pangan, industri energi, serta industri kelautan/maritim, untuk menciptakan
nilai tambah, meningkatkan penyerapan tenaga kerja, serta memperkokoh struktur ekonomi menuju kemandirian.
x Meningkatkan penggunaan komponen dalam negeri (TKDN) untuk memperkuat industri nasional serta membuka lapangan kerja yang lebih luas di dalam negeri.
x Mengembangkan sentra-sentra inovasi serta peningkatan anggaran riset untuk mendorong inovasi teknologi serta revitalisasi science-technopark untuk keperluan masyarakat
serta pengembangan teknologi yang diperlukan di era revolusi industri 4.0.
x Revitalisasi industri pengolahan pascapanen sub-sektor pangan, hortikultura, hingga perkebunan.

Mengembangkan Sektor-Sektor Ekonomi Baru

Selain ekonomi berbasis sumber daya alam, kita juga memiliki beberapa potensi ekonomi baru yang perlu dikembangkan secara merata. Potensi ekonomi baru itu berbasis kekayaan
alam dan juga modal sosial budaya yang bisa dimanfaatkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi berkualitas. Langkah-langkah yang bisa dilakukan:

x Mempercepat pengembangan sektor pariwisata yang memberikan nilai tambah bagi perekonomian daerah dan masyarakat sekitarnya. Fokus pada melanjutkan
pembangunan 10 destinasi wisata baru (“Bali Baru”).
x Mempercepat pengembangan ekonomi dan industri kreatif dengan terobosan strategi kebijakan dan insentif melalui Badan Ekonomi Kreatif.
x Mengembangkan industri jasa keuangan berbasis syariah.
x Memfasilitasi berkembangnya ekonomi digital, termasuk transportasi online, dengan menciptakan peluang bisnis, kepastian hukum pada pelaku usaha dan perlindungan pada
konsumen, serta meningkatkan daya saing demi
kepentingan nasional.

Mengembangkan Reformasi Ketenagakerjaan
Sektor ketenagakerjaan memiliki peran penting dalam peningkatan produktivitas dan daya saing bangsa.

Untuk itu, upaya perlindungan dan penguatan dilakukan dengan:

x Meningkatkan keterampilan pencari kerja dan buruh dengan pelatihan vokasi dan sertifikasi dengan melibatkan pemerintah, dunia usaha, dan kalangan pendidikan.
x Memperluas akses buruh untuk mendapatkan dana beasiswa pendidikan dan peningkatan keterampilan.
x Meningkatkan perlindungan bagi tenaga kerja di sektor informal.

Jumat, 22 Maret 2019

JAWABAN ATAS TUDINGAN PADA PSI

Ini satu lagi buat pembelajaran politik.

*MEMBONGKAR BERBAGAI TUDINGAN TERHADAP PSI*

Belum lama ini, ada tulisan WA yang disebar secara masif berjudul *PSI, teganya engkau* yang sebagian isinya diambil dari situs https://www.law-justice.co/membedah-isi-jeroan-partai-solidaritas-indonesia. Saya ingin membahas satu demi satu tudingan dalam tulisan tersebut. Tulisan ini diawali dengan pembahasan mengenai Ketua Dewan Pembina PSI, Jeffrie Geovani (JG), sebagai ‘politikus oportunis kutu loncat yang suka gonta-ganti partai’.

Pertanyaannya; apa masalahnya dengan orang yang pernah berpindah-pindah partai ? Secara hukum, tentu tidak ada larangan. Secara moral, tunggu dulu. Label oportunis dan kutu loncat bagi JG adalah hal yang terburu-buru. Dalam jagad perpolitikan Indonesia, politisi kutu locat dan oportunis biasanya disematkan pada seseorang yang berpindah-pindah partai karena ingin menduduki jabatan publik tertentu.

Faktanya, JG hanya sekali menduduki jabatan publik yang berkaitan dengan parpol. Yaitu menjadi Anggota DPR periode 2009 – 2014. Kemudian mengundurkan diri di tahun 2012. Kemudian, JG terpilih sebagai anggota DPD periode 2014 – 2019. Lalu mengundurkan diri di tahun 2018 karena ingin berkonsentrasi merawat istrinya yang menderita kanker paru dan tumor otak. Tentunya, anggota DPD adalah jabatan perseorangan, tidak ada hubungannya dengan parpol. Oleh karena itu, vonis oportunis dan kutu loncat tidak pantas disematkan pada dirinya. *Belum lagi, rekam jejaknya sebagai politisi jelas bersih*

Jika ditelisik lebih dalam, karir JG justru lebih sebagai aktivis kemanusiaan. Pada tahun 2002, JG mendirikan Maarif Institute, sebuah NGO yang aktif mengkaji masalah kebudayaan dan kemanusiaan. Selain itu, beliau juga mendirikan The Indonesian Institute di tahun 2004, sebuah lembaga riset kebijakan publik. Belum lagi, beliau juga adalah salah satu dewan penasehat di CSIS dan Wakil Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik PP Muhammdiyah. Namun, deretan peran JG sebagai aktivis kemanusiaan ini dinihilkan sama sekali. Berganti sekadar ‘politikus kutu loncat yang suka gonta-ganti partai’.

Silahkan cek berbagai fakta ini dalam link berikut:

http://maarifinstitute.org/profil/#toggle-id-3

https://www.theindonesianinstitute.com/dewan-penasehat/

https://id.wikipedia.org/wiki/Jeffrie_Geovanie

Selain itu, tulisan ini juga menuding bahwa JG adalah pemilik SMRC, lembaga survey dan konsultan politik, di mana Ketua Umum PSI, Grace Natalie, pernah menjadi CEO lembaga itu. Jadi, lanjut tulisan itu, Grace adalah buruh JG di SMRC. Kemudian, entah dengan logika apa, tulisan ini membahas kekalahan  Ahok – Djarot yang dituding menggunakan konsultan SMRC, lalu lompat ke Elektabilitas Jokowi – MA yang unggul pada Survei SMRC untuk meninabobokan pendukung 01, lompat lagi ke perolehan suara Jokowi – JK di Sumbar yang jeblok pada pemilu 2014. Selain ini adalah sebuah tudingan ‘cocokologi’ yang dipaksakan, penulisnya lah yang sebenar-benarnya kutu loncat. Setidaknya, dalam berpikir.

Pertama, JG bukanlah pemilik SMRC. Jadi, Grace jelas bukanlah buruh JG. Kedua, yang memperidiksi kemenangan Ahok-Djarot di DKI bukan hanya SMRC, namun hampir semua lembaga survey. Jawaban yang sama untuk elektabilitas Jokowi-JK yang unggul, bukan hanya pada Survey SMRC. Ketiga, suara Jokowi yang jeblok di Sumbar bukan karena JG, karena secara kultur politik dan sejarah memang demikian. Bahkan, survey-survey terakhir mengenai kepuasan kinerja dan elektabilitas Jokowi sampai dengan hari ini beliau belum unggul. Memangnya punya kesaktian apa seorang JG bisa memobilisasi orang minang untuk tidak memilih Jokowi ? Bupati bukan, Walikota bukan, Gubernur apalagi.

Kemudian, tulisan itu juga membahas mengenai Sunny Tanuwidjaja, Sekretaris Dewan Pembina PSI. Dengan ilmu cocokologi seadanya yang sama, tulisan ini memframing mantan staf Basuki Tjahaja Purnama itu sebagai jembatan PSI mendapatkan pundi-pundi dana untuk mendirikan partai. Sunny memang sudah ada sejak awal pembentukan PSI, jauh sebelum dirinya dipanggil berkali-kali oleh KPK sebagai saksi dan pada akhirnya tidak terbukti sebagai aktor dalam kasus suap reklamasi.

Penulis WA tersebut menganggap masyarakat Indonesia mudah dibodohi. Dengan logika serampangan, penulis menframing seolah dipanggil sebagai saksi oleh KPK sama dengan ikut melakukan tindak pidana korupsi. Jika demikian, apa kabar dengan Pak JK, Pak Boediono, Mahfud MD, serta tokoh lainnya yang pernah bersaksi di KPK ?

Selain itu, sebagaimana juga JG, nama Sunny sudah beredar sejak lama dalam dokumen pendirian PSI ke suluruh Indonesia. PSI pun tidak pernah menutupi keberadaan Sunny dan JG. Mengapa baru dipermasalahkan sekarang ? Jelas ini adalah ulah politisi lama yang mungkin resah dengan keberadaan PSI.

Silahkan cek berbagai fakta ini dalam link berikut:

https://psi.id/dewan-pembina/

ttps://www.cnnindonesia.com/nasional/20180228144555-32-279421/kontroversi-sunny-staf-ahok-yang-jadi-petinggi-psi

https://nasional.tempo.co/read/1066080/grace-natalie-bicara-soal-sunny-tanuwidjaja-di-dewan-pembina-psi/full&view=ok

https://www.merdeka.com/khas/peran-sunny-di-tubuh-psi.html

https://news.detik.com/berita/d-3889743/psi-kasus-sunny-tidak-menghentikan-sikap-antikorupsi-kami

https://nasional.tempo.co/read/809825/kpk-akhirnya-cabut-status-cegah-sunny-dan-anak-aguan

Terakhir, tulisan WA itu juga berupaya memframing bahwa PSI sedang memecah suara pendukung 01. Karena dalam pidato Ketua Umum PSI, Grace Natalie di Medan (11/03), yang mempertanyakan komitmen partai nasionalis yang irit berbicara, bahkan bungkam terhadap berbagai kasus dan praktik intoleransi di Indonesia.

Buat saya, Pidato Grace Natalie, Ketua Umum PSI, pada Festival 11 sungguh spektakuler. Pidato itu jelas menggugat beberapa hal yang selama ini absen dalam keriuhan pemilu 2019. Pertama, PSI menggugat kesadaran publik bahwa sebenarnya peserta pemilu bukan hanya pasangan capres dan cawapres, namun juga partai politik. Untuk itu, penting bagi kita mengetahui seperti apa ide, gagasan dan program tiap-tiap parpol untuk Indonesia ? Siapa caleg-calegnya ? Bagaimana latar belakangnya ?

Partai politik jangan hanya sekadar tempat kumpul-kumpul dukung presiden, bikin ramai surat suara, bahkan mengotori ruang publik dengan spanduk, baliho, poster dan berbagai alat peraga kampanye lainnya.

Buktinya, dalam masa kampanye yang tinggal menghitung hari. Namun, saya belum pernah tuh mendengar seperti apa ide, gagasan dan program partai-partai lain. Maka, wajar jika Grace menuntut adanya Debat Partai Politik.

Kedua, gugatan PSI ditujukan secara khusus kepada partai - partai yang mengaku nasionalis lainnya. Fakta menohok pada studi Michael Buehler, The Politics of Shari'a Law, menyatakan bahwa ternyata PDIP dan Golkar adalah partai politik yang paling getol mengadopsi perda syariah.

Sungguh fakta, yang bagi saya setidaknya, sangat mengejutkan. Bukan hanya karena ketidaktahuan saya selama ini, namun juga keberanian luar biasa dari sebuah partai baru yang lantang menggugat kebisuan partai mapan, sekaligus menegaskan posisinya terhadap isu intoleransi.

Di berbagai grup WA saya, ada beberapa orang yang bilang bahwa pidato Grace ini dianggap MEMBAHAYAKAN KOALISI JOKOWI. Lho, bukankah membiarkan parpol, sebagai peserta pemilu, bersembunyi tanpa gagasan di balik bisingnya dukungan pilpres justru membahayakan kualitas demokrasi kita ? Selain itu, PSI adalah partai yang justru dinyatakan paling loyal dan konsistenm dalam mendukung Jokowi, dengan mudah kita dapat melihatnya di berbagai media sosial PSI.

Silahkan cek berbagai fakta ini dalam link berikut:

https://nasional.kompas.com/read/2019/03/14/15405961/psi-tanggapi-reaksi-sejumlah-parpol-terhadap-pidato-grace-natalie

https://www.jpnn.com/news/survei-index-pdip-psi-paling-loyal-ke-jokowi-prabowo

http://poskotanews.com/2019/02/13/pdi-p-dan-psi-paling-loyal-kepada-jokowi-amin/

Silahkan cek link berikut untuk pidato Ketua Umum PSI :

https://psi.id/berita/2019/03/11/beda-kami-psi-dengan-partai-lain/

Terakhir, saya bukanlah kader PSI. Namun, saya pernah datang dua kali ke kantor DPP PSI pada acara diskusi. Pertama, diskusi dengan tema ‘Meninjau Ulang Kembali Pasal Penodaan Agama’ dalam merespons kasus yang menimpa Meilana di Tanjung Balai. Kedua, mengenai “Sekolah Minggu di RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan”. 

Saya terkesan karena mereka begitu berani mengambil risiko menggelar diskusi dengan tema-tema tersebut. Sementara, partai-partai lain yang mengklaim diri mereka sebagai partai nasionalis jangankan menggelar diskusi, berkomentar pun irit.

Untuk itu, saya merasa semakin yakin bahwa di DPR nanti perlu ada banyak kursi bagi partai nasionalis yang dengan sungguh-sungguh memperjuangkan kepentingan berbagai elemen bangsa, bukan hanya demi efek elektoral. PSI bisa diharapkan.

*Adhicandra Agustinus*
*Pemerhati Sosial dan Aktivis Keberagaman*

Selasa, 19 Maret 2019

10 FAKTOR SUKSES ANAK / SESEORANG

*Mematahkan Mitos NEM, IPK dan Rangking*
Oleh : Prof Agus

Ada 3 hal ternyata tdk terlalu berpengaruh terhadap "kesuksesan" yaitu: NEM, IPK dan rangking

Saya mengarungi pendidikan selama 22 tahun (1 tahun TK, 6 tahun SD, 6 tahun SMP-SMA, 4 tahun S1, 5 tahun S2 & S3)

Kemudian sy mengajar selama 15 tahun di universitas di 3 negara maju (AS, Korsel, Australia) dan juga di tanah air.
Saya menjadi saksi betapa "tidak relevannya ketiga konsep di atas" terhadap kesuksesan.

Ternyata sinyalemen saya ini didukung oleh riset yang dilakukan oleh Thomas J. Stanley yang memetakan 100 faktor yang berpengaruh terhadap *tingkat kesuksesan seseorang berdasarkan survey terhadap 733 millioner di US*

Hasil penelitiannya ternyata nilai yang baik (yakni NEM, IPK dan  rangking) *hanyalah faktor sukses urutan ke 30*

*Sementara faktor IQ pada urutan ke-21*
*Dan bersekolah di universitas/sekolah favorit di urutan ke-23.*

Jadi saya ingin mengatakan secara sederhana: Anak anda nilai raport nya rendah *Tidak Masalah.*

NEM anak anda tidak begitu besar?
Paling banter akibatnya tidak bisa masuk sekolah favorit.
*Yang menurut hasil riset, tidak terlalu pengaruh thdp kesuksesan*

*Lalu apa faktor yang menentukan kesuksesan seseorang itu ?*
Menurut riset Stanley berikut ini adalah

10 FAKTOR TERATAS UNTUK SUKSES

1. *Kejujuran* (Being HONEST with all people)
2. *Disiplin keras* (Being DISCIPLINED)
3. *Mudah bergaul atau friendly* (Getting along with people / SOCIABLE)
4. *Dukungan pendamping* (Having a supportive spouse)
5. *Kerja keras* (WORKING HARDER than most people)
6. *Kecintaan pada yang dikerjakan* (PASSION /Loving my career/business)
7. *Kepemimpinan* (Having strong LEADERSHIP qualities)
8. *Kepribadian kompetitif* atau mampu berkompetisi (Having a very COMPETITIVE / WINNING spirit/personality)
9. *Hidup teratur* (Being very ORGANIZED)
10. *Kemampuan menjual ide* atau kreatif / inovatif (Having an ability to SELL IDEAS/products)

Hampir kesemua faktor ini tidak terjangkau dengan NEM dan IPK.
Dalam kurikulum semua yg ditulis diatas itu dikategorikan sbg *softskill.*
Biasanya peserta didik memperolehnya dari kegiatan di ekstra-kurikuler.

Mengejar kecerdasan akademik semata hanya akan menjerumuskan diri sendiri secara nyata. Kejarlah kecerdasan spiritual, agamis..., maka kecerdasan lain akan mengikuti dan kesuksesan ada di depan mata..., semoga  sukses selalu utk anak² kita..

Senin, 18 Maret 2019

MILLENIALS SEEK EXPERIENCE AND MEANING

http://www.yuswohady.com/2017/12/16/millennials-the-fall-of-materialism/

December 16, 2017 ↔ 2 comments

Millennials & The Fall of Materialism


Milenial adalah experience-seekers, mereka lebih memilih mengonsumsi pengalaman (experience) ketimbang barang (goods). Mereka lebih suka membelanjakan uangnya untuk liburan, dine-out, atau nonton konser ketimbang baju, sepatu, atau mobil. Data BPS mengonfirmasi hal ini.

Milenial adalah juga happiness-seeker, bagi mereka waktu adalah aset yang paling berharga. Karena itu mereka berupaya mengisi setiap jengkal waktunya untuk menghasilkan emosi positif (positive emotion) dan sesuatu yang fun agar bahagia. Kalau Gen X bekerja untuk mencari uang dan status, maka Gen Milenial bekerja untuk mencari kebahagiaan, mereka memilih pekerjaan dan profesi yang disenanginya.

Milenial sekaligus juga adalah meaning-seeker. Agar bahagia, mereka menginginkan hidupnya bermakna bagi mereka sendiri maupun masyarakat di sekitarnya. Mereka mendambakan a meaningful life.
Tiga nilai-nilai unik milenial ini menghasilkan shifting perilaku konsumen yang sangat mendasar dan berpotensi mendisrupsi berbagai bisnis yang telah mapan bertahun-tahun sebelumnya.

Minimalist Lifestyle

Resultan dari tiga shifting perilaku milenial di atas adalah tren ke arah gaya hidup minimalis (minimalist lifestyle). Bisa disebut era milenial adalah era kejatuhan materialisme (the fall of materialism).
Gaya hidup minimalis adalah tren perilaku generasi milenial yang semakin mengurangi konsumsi barang (goods-based consumption) dan mengalihkannya ke konsumsi pengalaman (experience-based consumption).

Mereka mengonsumsi baju, sepatu, gadget, mobil, bahkan rumah secara minimal, kemudian mengalihkan uangnya untuk liburan, nongkrong, nonton konser, kesenian, atau olahraga.

Milenial mulai sadar bahwa memiliki beragam barang menjadikan hidup repot dan kompleks.

Karena itu mereka menguranginya dan lebih fokus pada aspek-aspek terpenting dalam hidup seperti: kesehatan, kesenangan, relationships, personal growth, atau kontribusi ke sesama.

Ada tiga alasan mengapa tren gaya hidup minimalis ini bakal kian menguat di kalangan milenial jaman now.

Pertama karena memang milenial adalah “generasi susah”. Masa-masa remaja mereka pekat diwarnai krisis ekonomi (krisis 1998 dan 2008) dan berbagai kerusuhan politik (bom Bali dan kerusuhan berbau SARA) akibat transisi dari pemerintahan Orde Baru ke orde reformasi. Karena susah maka mereka sangat value-oriented, setiap pengeluaran mereka perhitungkan dengan masak-masak.

Mereka menuntut layanan yang “more for less”, dapat banyak dengan harga semurah mungkin.
Di usia rata-rata 25 tahun (usia tertua 35 tahun), milenial juga belum memiliki posisi mapan di dalam pekerjaan dan karir mereka. Sehingga pendapatan dan daya beli mereka saat ini juga masih belum begitu tinggi. Karena keterbatasan ini pengeluaran mereka prioritaskan ke konsumsi yang menghasilkan experiencehappiness, dan meaning.

Kedua karena goods dan materialism membuat mereka TIDAK BAHAGIA. Ketika punya mobil maka rentetan kebutuhan lanjutan akan susul-menyusul: butuh garasi, ngurus STNK dan SIM, beli bensin tiap minggu, bayar parkir, servis tiap tiga bulan, butuh sopir, berurusan dengan polisi kalau kena tilang di jalan, dan seterusnya. Itu semua menguras tenaga, pikiran, dan uang.

Memiliki mobil ujung-ujungnya menciptakan “spiral of complicated life” yang menjadikan hidup para milenial pekat dipenuhi stres, kecemasan, dan ujng-ujungnya tak bahagia. Goods consumption leads to stress, anxiety, and unhappiness.”

Ketiga karena milenial menginginkan kebebasan. Minimalist lifestyle means a life with more freedom. Tidak memiliki barang-barang (terutama durable goods) seperti rumah atau mobil menjadikan mereka lebih memiliki kebebasan dalam hidup.

Dalam hal rumah misalnya, kini milenial cenderung menunda memiliki rumah (kalau masih bisa ngontrak atau ngekos) atau memiliki rumah berukuran kecil dengan kewajiban cicilan KPR yang kecil pula. Mereka tak mau kewajiban kepada bank menyandera kebebasan hidup mereka.

*Silahkan donlot ebook: “Welcome Leisure Economy” -> E- Book Leisure

Potential Disruptions
Ketika minimalist lifestyle betul-betul telah menjadi mainstream (ingat, tahun 2020 milenial sudah mendominasi komposisi demografis penduduk Indonesia) lalu apa yang bakal terjadi?
Tren tersebut menghasilkan “new mode of consumptions” yang berpotensi menghasilkan dampak disruptif jangka panjang ke berbagai bisnis dan sektor industri.

Consumer Goods: Konsumsi milenial akan barang-barang konsumsi akan semakin menurun. Data Nielsen mengonfirmasi hal ini, dimana sejak tahun 2014 pertumbuhan penjualan produk-produk konsumer (FMCG, fast-moving consumer goods seperti: makanan-minuman kemasan, personal care, home care, dll.) pertumbuhannya mulai terlihat flat cenderung turun.

Properti: Milenial cenderung mencari rumah berukuran kecil dan fungsional-minimalis dengan perabot dan perlengkapan rumah tangga yang minimal pula. Karena rumah di tengah kota harganya tak terjangkau, rumah di pinggir kota dengan aksebilitas baik (transit-oriented development, TOD) menjadi solusi.

Bank: Milenial merasa kewajiban cicilan KPR, KKB, atau tagihan kartu kredit kian mengungkung kebebasan hidup mereka. Pertanyaannya: ditambah dengan kehadiran fintech yang mendisrupsi sektor ini, akankah memang bank semakin tak relevan lagi di era generasi milenial?

Transportasi: Keinginan milenial membeli mobil/motor semakin menyurut. Alasannya ada dua. Pertama, memiliki mobil sendiri merepotkan dan tidak ramah lingkungan. Kedua, mereka lebih memilih sharing lifestyle dengan menggunakan jasa seperti Grab atau Gojek.

Fashion: milenial kian mengurangi beli baju, sepatu, tas, dan barang-barang fesyen. Mereka membeli seperlunya tak lagi bertubi-tubi untuk mengikuti tren. Sosok seperti Steve Jobs atau Mark Zuckerberg yang hanya memilki satu jenis baju, celana, dan sepatu kian menjadi role model.

Consumer Electronic/Gadget: Era bulan madu membeli/memiliki gadget telah lewat. Puncaknya terjadi pada saat Nokia, disusul Blackberry, dan terakhir Apple/Samsung mencapai masa jaya. Kala itu konsumen mengular antri untuk mendapatkan gadget terbaru. Kini milenial membeli/memiliki perangkat elektronik/gadget seperlunya, tidak berlebihan seperti generasi sebelumnya.

Retail: Dampaknya kini sudah terasa, pusat-pusat perbelanjaan yang sebatas menawarkan barang dan tidak menawarkan experience/leisure makin ditinggalkan konsumen milenial. Sebaliknya, mal-mal modern yang menyediakan coffee shop, dine-out resto, atau hiburan justru mengalami pertumbuhan luar biasa.

Dengan perubahan-perubahan perilaku di atas, milenial kini telah menjadi disruptor yang membuat lanskap bisnis berubah secara eksponensial.
 

MILLENIALS SEEK EXPERIENCE AND MEANING

http://www.yuswohady.com/2017/12/16/millennials-the-fall-of-materialism/

December 16, 2017 ↔ 2 comments

Millennials & The Fall of Materialism


Milenial adalah experience-seekers, mereka lebih memilih mengonsumsi pengalaman (experience) ketimbang barang (goods). Mereka lebih suka membelanjakan uangnya untuk liburan, dine-out, atau nonton konser ketimbang baju, sepatu, atau mobil. Data BPS mengonfirmasi hal ini.

Milenial adalah juga happiness-seeker, bagi mereka waktu adalah aset yang paling berharga. Karena itu mereka berupaya mengisi setiap jengkal waktunya untuk menghasilkan emosi positif (positive emotion) dan sesuatu yang fun agar bahagia. Kalau Gen X bekerja untuk mencari uang dan status, maka Gen Milenial bekerja untuk mencari kebahagiaan, mereka memilih pekerjaan dan profesi yang disenanginya.

Milenial sekaligus juga adalah meaning-seeker. Agar bahagia, mereka menginginkan hidupnya bermakna bagi mereka sendiri maupun masyarakat di sekitarnya. Mereka mendambakan a meaningful life.
Tiga nilai-nilai unik milenial ini menghasilkan shifting perilaku konsumen yang sangat mendasar dan berpotensi mendisrupsi berbagai bisnis yang telah mapan bertahun-tahun sebelumnya.

Minimalist Lifestyle

Resultan dari tiga shifting perilaku milenial di atas adalah tren ke arah gaya hidup minimalis (minimalist lifestyle). Bisa disebut era milenial adalah era kejatuhan materialisme (the fall of materialism).
Gaya hidup minimalis adalah tren perilaku generasi milenial yang semakin mengurangi konsumsi barang (goods-based consumption) dan mengalihkannya ke konsumsi pengalaman (experience-based consumption).

Mereka mengonsumsi baju, sepatu, gadget, mobil, bahkan rumah secara minimal, kemudian mengalihkan uangnya untuk liburan, nongkrong, nonton konser, kesenian, atau olahraga.

Milenial mulai sadar bahwa memiliki beragam barang menjadikan hidup repot dan kompleks.

Karena itu mereka menguranginya dan lebih fokus pada aspek-aspek terpenting dalam hidup seperti: kesehatan, kesenangan, relationships, personal growth, atau kontribusi ke sesama.

Ada tiga alasan mengapa tren gaya hidup minimalis ini bakal kian menguat di kalangan milenial jaman now.

Pertama karena memang milenial adalah “generasi susah”. Masa-masa remaja mereka pekat diwarnai krisis ekonomi (krisis 1998 dan 2008) dan berbagai kerusuhan politik (bom Bali dan kerusuhan berbau SARA) akibat transisi dari pemerintahan Orde Baru ke orde reformasi. Karena susah maka mereka sangat value-oriented, setiap pengeluaran mereka perhitungkan dengan masak-masak.

Mereka menuntut layanan yang “more for less”, dapat banyak dengan harga semurah mungkin.
Di usia rata-rata 25 tahun (usia tertua 35 tahun), milenial juga belum memiliki posisi mapan di dalam pekerjaan dan karir mereka. Sehingga pendapatan dan daya beli mereka saat ini juga masih belum begitu tinggi. Karena keterbatasan ini pengeluaran mereka prioritaskan ke konsumsi yang menghasilkan experiencehappiness, dan meaning.

Kedua karena goods dan materialism membuat mereka TIDAK BAHAGIA. Ketika punya mobil maka rentetan kebutuhan lanjutan akan susul-menyusul: butuh garasi, ngurus STNK dan SIM, beli bensin tiap minggu, bayar parkir, servis tiap tiga bulan, butuh sopir, berurusan dengan polisi kalau kena tilang di jalan, dan seterusnya. Itu semua menguras tenaga, pikiran, dan uang.

Memiliki mobil ujung-ujungnya menciptakan “spiral of complicated life” yang menjadikan hidup para milenial pekat dipenuhi stres, kecemasan, dan ujng-ujungnya tak bahagia. Goods consumption leads to stress, anxiety, and unhappiness.”

Ketiga karena milenial menginginkan kebebasan. Minimalist lifestyle means a life with more freedom. Tidak memiliki barang-barang (terutama durable goods) seperti rumah atau mobil menjadikan mereka lebih memiliki kebebasan dalam hidup.

Dalam hal rumah misalnya, kini milenial cenderung menunda memiliki rumah (kalau masih bisa ngontrak atau ngekos) atau memiliki rumah berukuran kecil dengan kewajiban cicilan KPR yang kecil pula. Mereka tak mau kewajiban kepada bank menyandera kebebasan hidup mereka.

*Silahkan donlot ebook: “Welcome Leisure Economy” -> E- Book Leisure

Potential Disruptions
Ketika minimalist lifestyle betul-betul telah menjadi mainstream (ingat, tahun 2020 milenial sudah mendominasi komposisi demografis penduduk Indonesia) lalu apa yang bakal terjadi?
Tren tersebut menghasilkan “new mode of consumptions” yang berpotensi menghasilkan dampak disruptif jangka panjang ke berbagai bisnis dan sektor industri.

Consumer Goods: Konsumsi milenial akan barang-barang konsumsi akan semakin menurun. Data Nielsen mengonfirmasi hal ini, dimana sejak tahun 2014 pertumbuhan penjualan produk-produk konsumer (FMCG, fast-moving consumer goods seperti: makanan-minuman kemasan, personal care, home care, dll.) pertumbuhannya mulai terlihat flat cenderung turun.

Properti: Milenial cenderung mencari rumah berukuran kecil dan fungsional-minimalis dengan perabot dan perlengkapan rumah tangga yang minimal pula. Karena rumah di tengah kota harganya tak terjangkau, rumah di pinggir kota dengan aksebilitas baik (transit-oriented development, TOD) menjadi solusi.

Bank: Milenial merasa kewajiban cicilan KPR, KKB, atau tagihan kartu kredit kian mengungkung kebebasan hidup mereka. Pertanyaannya: ditambah dengan kehadiran fintech yang mendisrupsi sektor ini, akankah memang bank semakin tak relevan lagi di era generasi milenial?

Transportasi: Keinginan milenial membeli mobil/motor semakin menyurut. Alasannya ada dua. Pertama, memiliki mobil sendiri merepotkan dan tidak ramah lingkungan. Kedua, mereka lebih memilih sharing lifestyle dengan menggunakan jasa seperti Grab atau Gojek.

Fashion: milenial kian mengurangi beli baju, sepatu, tas, dan barang-barang fesyen. Mereka membeli seperlunya tak lagi bertubi-tubi untuk mengikuti tren. Sosok seperti Steve Jobs atau Mark Zuckerberg yang hanya memilki satu jenis baju, celana, dan sepatu kian menjadi role model.

Consumer Electronic/Gadget: Era bulan madu membeli/memiliki gadget telah lewat. Puncaknya terjadi pada saat Nokia, disusul Blackberry, dan terakhir Apple/Samsung mencapai masa jaya. Kala itu konsumen mengular antri untuk mendapatkan gadget terbaru. Kini milenial membeli/memiliki perangkat elektronik/gadget seperlunya, tidak berlebihan seperti generasi sebelumnya.

Retail: Dampaknya kini sudah terasa, pusat-pusat perbelanjaan yang sebatas menawarkan barang dan tidak menawarkan experience/leisure makin ditinggalkan konsumen milenial. Sebaliknya, mal-mal modern yang menyediakan coffee shop, dine-out resto, atau hiburan justru mengalami pertumbuhan luar biasa.

Dengan perubahan-perubahan perilaku di atas, milenial kini telah menjadi disruptor yang membuat lanskap bisnis berubah secara eksponensial.