Rabu, 03 Juni 2020

AMERIKA ARE YOU OK?

AMERIKA, ARE YOU OK?”


Oleh: Susilo Bambang Yudhoyono


Ada kobaran api di Amerika. Ada kerusuhan dan penjarahan di banyak kota.  Suasananya seperti “perang”.  Puluhan ribu tentara yang ada di wilayah (national guard) sudah dikerahkan dan diterjunkan. Ribuan pengunjuk rasa dan perusuh ditahan. Banyak pula kota yang memberlakukan jam malam.

Dunia tercengang.

Apa yang sesungguhnya terjadi? Mengapa Amerika jadi begitu? Inilah pertanyaan yang muncul di banyak negara.

Ternyata masyarakat internasional bukan hanya tercengang. Muncul pula protes-protes yang menunjukkan solidaritasnya dengan komunitas kulit hitam Amerika itu. Kita saksikan, paling tidak terjadi di 14 kota besar di dunia ~ London, Paris, Berlin, Copenhagen, Milan, Dublin, Krakow, Perth, Sydney, Auckland, Christchurch, Vancouver, Toronto, dan Rio de Janeiro.  

Saya tidak ikut-ikutan tercengang. Cuma merenung. Dan mau bertanya sedikit “Are you OK, Amerika”? Yang bertanya begini mungkin banyak. Di seluruh dunia. Bukan hanya saya.

Saya tidak termasuk orang yang anti Amerika. Atau anti Barat. 

Dalam pengabidan panjang saya sebagai prajurit TNI (sekitar 30 tahun), empat kali saya mengemban tugas pendidikan dan pelatihan di Amerika Serikat. Ketika menjadi Menteri dan Presiden, saya juga sering melakukan kunjungan ke negara Paman Sam itu. Termasuk membangun kemitraan strategis (Strategic Partnership) di antara ke dua negara, Indonesia - Amerika Serikat. Hubungan dan kerjasama yang saling menguntungkan dan saling hormat menghormati dulu terus kita jalin, baik pada masa pemerintahan Presiden Bush maupun Presiden Obama.

Satu catatan, ketika hubungan Indonesia - Amerika terus berkembang dengan baik, kita juga menjalin hubungan (termasuk kemitraan strategis) dengan negara lain. Negara-negara itu sebagian adalah “rival” Amerika. Menurut saya, sesuai amanah para pendiri republik, “politik bebas aktif” harus tetap menjadi haluan kita. Di era saya dulu, saya tambahkan lagi dengan “all direction foreign policy”. Artinya, menjalin hubungan baik ke segala penjuru dunia, apapun ideologi dan sistem politik yang dianut negara-negara itu. Syaratnya, mereka menghormati kedaulatan kita dan memiliki “common interests” dengan Indonesia.

Sungguhpun saya tidak membenci dan anti Amerika, namun saya bukanlah tipe orang yang “mendewakan” Amerika. Mengapa ini harus saya katakan?

Banyak orang di dunia ini, saya kira di negeri kita juga ada, yang sangat mengagungkan Amerika Serikat. Seolah, negara itu selalu benar. Tidak pernah salah. Orang-orang itu juga menganggap Amerika bisa menjadi “role model”. Menjadi panutan dan rujukan. Mungkin demokrasinya, HAMnya, kebebasannya, pranata hukumnya, sistem politiknya, pemilunya, ekonomi pasarnya, ketokohan presidennya dan lain-lain.

Dalam waktu yang sangat lama Amerika juga dinilai sebagai negara yang segalanya “paling”. Maksudnya, paling kaya ekonominya, paling kuat militernya, paling dominan politik luar negerinya dan paling maju teknologinya. Bahkan setelah berakhirnya Perang Dingin di akhir tahun 1980-an, Amerika dianggap sebagai satu-satunya negara Adi Daya (Super Power). Melekat pula sebuah “pengakuan” bahwa de facto Amerika adalah pemimpin dunia (global leader).

Pertanyaannya sekarang adalah “apakah Amerika masih seperti itu?” Inilah yang menarik untuk dijawab. 

Siapa yang bisa menjawab, di samping negara-negara lain, ya bangsa Amerika sendiri. Dengan catatan mereka harus jujur dan objektif.

Sebelum mengamati apa yang terjadi di Amerika saat ini, barangkali ada yang pernah membaca buku yang berjudul “The Rise and Fall of the Great Powers” yang ditulis oleh Paul Kennedy. Mungkin buku itu sekarang sudah menjadi klasik dan tak lagi dibicarakan. Saya masih ingat isinya, karena ketika berpangkat letnan kolonel saya pernah mendiskusikannya dengan sahabat saya Agus Wirahadikusumah (almarhum).

Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa Amerika tidak selalu berjaya. Atau bisa mengalami nasib yang sama dengan negara-negara yang pernah berjaya dan kemudian jatuh. Atau paling tidak menyusut pamornya. 

Ingat dulu ada Inggris dan negara-negara Eropa yang pernah berjaya pada jamannya. Menguasai dunia. Jepang pernah menjadi contoh negara yang sangat sukses. Kini Tiongkok tumbuh mengagumkan. Tapi, apakah Tiongkok akan menggantikan Amerika sebagai pemimpin dunia yang baru, tak ada yang tahu. 

Amerika juga begitu. Tentu, saat ini Amerika masih “digdaya”. Tapi laksana matahari, ada masa terbit dan terbenamnya, kisah jaya dan jatuhnya sebuah negara akan selalu ada. 

Kembali ke soal Amerika, mungkin tak perlu terlalu jauh kita membicarakan nasib dan masa depannya. Sebab, menurut saya hanya Tuhan yang tahu. Kita lihat sajalah situasi Amerika saat ini. Minggu-minggu ini.

Tiga Pukulan Besar untuk Amerika.

Kalau ada acara “cerdas cermat” dan ditanyakan 3 hal tentang Amerika saat ini, jawaban saya akan cepat. Pertama, korban Covid-19nya tertinggi di dunia; kedua ekonominya tidak cerah; dan ketiga terjadi kerusuhan sosial yang meluas.

Tiga-tiganya memang tak sedap untuk didengar. Tapi itulah yang terjadi.

Mungkin ada juga yang menyangkal bahwa tidak benar kalau Amerika saat ini kedodoran. Dia bisa berkata “America remains great”. Mungkin ditambahkan “We are OK. We will be fine”. Benarkah?

Sebenarnya saya ingin fokus ke soal kerusuhan dan keamanan publik di Amerika, namun bagaimanapun perlu disinggung sedikit tentang pandemi dan ekonomi negara itu. Mungkin ada baiknya. Paling tidak bisa jadi bahan pelajaran bagi kita.

Meskipun pandemi global ini belum berakhir, masih berlangsung, namun rapor awal sudah kelihatan. Ketika artikel ini saya tulis, 3 Juni 2020, jumlah kasus Covid-19 di Amerika mencapai lebih dari 1,87 juta kasus. Sedangkan jumlah yang meninggal lebih dari 108 ribu orang. Ini merupakan angka tertinggi di dunia.

Kalau ada yang “usil” bisa saja dia bertanya, apakah ada yang keliru dalam penanganan pandemi di negara ini. Tidakkah Amerika punya segalanya? 

Amerika memiliki kemampuan intelijen dan deteksi dini terhadap kemungkinan penyebaran Covid-19 ke negaranya. Punya sistem pelayanan kesehatan yang cukup maju dan mapan. Ekonominya kuat sehingga memungkinkan untuk mengeluarkan dana stimulus yang besar. Jumlah dokter, ahli pandemi dan ilmuwan yang dimiliki segudang. Teknologi yang dimiliki juga sangat maju.

Lantas apa?

Apakah ada persoalan dengan kohesi politik, misalnya tidak solid? Apakah kurang akur antara para pemimpin politik dan ilmuwan ahli pandemi? Apakah dukungan publik terhadap kebijakan pemerintah kurang? Apakah ada permasalahan dengan kepemimpinan Presiden Trump?

Tapi, soal ini kita serahkan saja kepada bangsa Amerika.  Biarlah sejarah yang akan menulisnya kelak. What went right and what went wrong.

Berikutnya tentang ekonomi.

Sebenarnya, cerita tentang kejatuhan dan krisis ekonomi akibat pandemi ini sudah menjadi milik dunia. Artinya, bukan hanya Amerika yang mengalami resesi dan guncangan ekonomi ini. Namun, ketika ini terjadi di sana ~ ekonomi terbesar dunia ~ tetap saja memiliki arti penting. 

Apalagi dunia tahu bahwa Trump sangat membanggakan prestasi dan capaian ekonominya 3,5 tahun terakhir ini. Misalnya, tentang pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan pengangguran yang rendah. Nah, ketika fundamental yang dibanggakan ini runtuh, isunya akhirnya bukan hanya soal ekonomi semata, tetapi juga lari ke sosial dan politik. Sebagai contoh, bisa ditelusuri apakah penjarahan (looting) yang terjadi di banyak kota ini karena faktor rasial (racism), atau faktor ekonomi. Jangan-jangan karena kesulitan ekonomi yang dialami oleh golongan bawah akhirnya memaksa mereka melakukan penjarahan itu. 

Dua isu ini saja mestinya membuat para pemimpin Amerika pusing ~ pandemi yang banyak korbannya dan belum masuk zona hijau, serta situasi ekonomi yang kelam. Apalagi ditambah dengan goncangan sosial dan keamanan publik pasca tewasnya George Floyd, yang kini menjadi simbul perlawanan rakyat, utamanya komunitas kulit hitam. Sekarang saya akan fokus ke urusan ini.


Amerika Pasca George Floyd, Apa yang Akan Terjadi?

Lebih dari satu minggu ini media internasional menyiarkan dan memberitakan terjadinya aksi-aksi unjuk rasa yang masif di Amerika. Termasuk tayangan kekerasan, kerusuhan, vandalisme dan bahkan penjarahan yang terjadi di banyak kota.  Akan berkembang ke manakah gerakan sosial ini dan seperti apa pula akhirnya ...... belum bisa ditebak. 

Ada sejumlah skenario yang menurut saya bisa terjadi.

Skenario pertama, dengan penanganan yang tepat (paduan antara persuasi dan law enforcement) akhirnya aksi-aksi sosial yang cenderung rusuh itu bisa diredakan. Dugaan saya, ini skenario terbaik yang diinginkan oleh pemerintahan Trump. Saya kira mayoritas rakyat Amerika juga menginginkan demikian. Skenario ini tak memerlukan konsesi apapun yang mesti diberikan oleh pemerintah.

Skenario kedua, unjuk rasa makin meluas. Gabungan unsur polisi, National Guard dan elemen tentara federal (misalnya polisi militer) tak mampu menghentikan atau meredakannya. Para Gubernur dan Walikota dengan “resources” yang ada tak juga bisa mengatasi keadaan. Pemerintah Federal “terpaksa” melakukan negosiasi dengan elemen perlawanan masyarakat dengan pemberian konsesi tertentu. 

Saya membayangkan negosiasinya tentu tak mudah. Konsesi (deal) apa yang bisa dicapai juga tak semudah yang dibayangkan. Apalagi sulit diyakini bahwa Trump punya pikiran dan bersedia untuk melakukan kompromi dengan mereka yang menuntut keadilan itu.

Skenario ketiga, adalah kelanjutan dari skenario kedua. Ini terjadi jika situasi politik, sosial dan keamanan makin memburuk. Aksi-aksi kekerasan dan sekaligus perusakan makin meningkat intensitasnya. Presiden Trump dengan alasan untuk mencegah terganggunya keamanan nasional dan demi kepentingan umum akhirnya melakukan tindakan yang “tegas dan keras”. 

Dalam skenario ketiga ini pemulihan ketertiban dan keamanan (law and order) diambil alih oleh pemerintah pusat. Presiden selaku “Commander-in-Chief” mengerahkan tentara federal (US Military Forces) untuk menanganinya. Sebenarnya dalam sejarah Amerika hal begini tidak lazim, namun tidak berarti tidak akan terjadi. Dua hari ini saya menyimak apa yang disampaikan oleh Presiden Trump bahwa setelah dia menilai para gubernur dan walikota umumnya lembek, akan dikerahkan kekuatan militer Amerika untuk mengatasi aksi-aksi protes yang dibarengi kerusuhan dan penjarahan ini.

Di samping 3 skenario itu tentu masih ada yang lain. Negara manapun, selalu memiliki rencana kontijensi. Jika situasi berubah total dan rencana operasi yang telah disiapkan gagal mencapai tujuan, dengan cepat akan disiapkan penggantinya. Hal ini menjadi domain dari institusi yang tugas pokoknya berkaitan dengan dunia pertahanan, keamanan dalam negeri (internal security) dan keamanan publik.

Kembali kepada ketiga skenario yang mungkin terjadi di Amerika itu, saya hanya akan menyoroti skenario ketiga. Mengapa secara khusus saya soroti, karena ini membawa risiko dan konsekuensi yang tidak kecil. Baik secara politik, hukum, sosial maupun keamanan. Juga berdampak pada citra Amerika Serikat di dunia.

Sebagai sahabat Amerika, saya sungguh tidak berharap skenario ketiga ini yang terjadi. Atau opsi untuk menggunakan kekuatan militer (US Army) ini yang akan ditempuh. Kecuali kalau situasinya memang sangat gawat dan keamanan nasional negara itu benar-benar terancam.

Pertanyaannya sekarang adalah apakah memang ada keinginan dan rencana Presiden Trump untuk megerahkan kekuatan militer itu? Jawabannya “ada”. Secara eksplisit Trump mengatakan itu. Dia juga mengatakan bahwa pengerahan dan penggunaan militer akan mengatasi masalah secara cepat. Barangkali Trump kecewa karena para Gubernur dan Walikota dinilai gagal untuk menguasai (Trump menggunakan istilah “dominate”) jalan-jalan di mana unjuk rasa terjadi, baik yang damai (peaceful) maupun yang tidak. Karenanya, tentara harus dikerahkan untuk menjalankan misi itu.

Sesuai ingatan saya, sepertinya belum pernah Amerika menurunkan militernya untuk menghadapi rakyatnya sendiri. Pengerahan tentara dalam mengatasi gangguan keamanan dan ketertiban yang dulu sering dilakukan di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, justru kerap dicerca oleh Amerika dan negara-negara barat yang lain. Katanya, demokrasi tidak begitu. Rule of law yang benar juga tak begitu. Gangguan ketertiban dan keamanan masyarakat itu masih menjadi domain polisi. Bukan tentara. Kalau sekarang justru Amerika yang melakukan, ini akan menjadi “breaking news”.

Ingat saya, ketika terjadi gelombang protes di akhir tahun 1960-an hingga awal 1970-an (menentang pelibatan tentara Amerika di Vietnam), tentara reguler juga tak diturunkan. Yang dikerahkan sepertinya adalah National Guard. Menghadapi gelombang unjuk rasa yang marak di banyak kota waktu itu juga hampir tidak terjadi bentrokan yang membawa korban jiwa. 

Pertanyaan berikutnya, sungguh seriuskah Presiden Trump hendak menggunakan kekuatan militer ini? Kalau kita ikuti rekam jejaknya, sangat mungkin Trump akan melakukan itu. Kita mengamati, apa yang dikeluarkan Trump melalui cuitan di twitternya, beberapa saat kemudian menjadi kenyataan. Tapi khusus keadaan sekarang ini, mungkin pertimbangan Trump lebih mendalam. Dia pasti tahu risiko dan harga yang harus dibayar kalau opsi militer ini yang dijalankan.

Sebagai mantan Presiden dan seorang Jenderal, saya hanya khawatir kalau Trump salah hitung. Miscalculate. Maksud saya, bagaimana kalau justru perlawanan para pengunjuk rasa itu kian menguat dan membesar. Makin nekat. 

Melalui siaran televisi, saya amati mulai ada spanduk baru yang diusung. Yang sudah kita ketahui misalnya berbunyi “No Justice, No Peace”, atau “Black Lives Matter”. Yang baru menurut saya ada yang berbunyi “Time for Fear is Over”. Saya tidak tahu apakah kata-kata terakhir itu menyiratkan bahwa akan makin keras.

Yang berbahaya jika sikap “keras” Trump berhadapan dengan sikap pengunjuk rasa yang makin militan. Benturan yang lebih besar pasti terjadi. 

Sementara itu, saya mengamati ada pihak yang kurang nyaman dengan pernyataan Presiden Trump. Mereka menganggap Trump justru menyulut kemarahan masyarakat yang sedang marah itu. Misalnya, kata-kata “when the looting starts, the shooting starts”. Juga pernyataan yang menyalahkan para Gubernur dan Walikota sebagai lemah dan tak mampu mengatasi masalah. 

Bukan hanya merasa tidak nyaman, sebagian pemimpin daerah itu juga tidak setuju kalau National Guard serta merta diturunkan ke jalan-jalan. Artinya, Trump juga menghadapi “pembangkangan” dari sejumlah pemimpin daerah.  

Saya tidak tahu apakah rakyat Amerika punya militansi dan kenekatan yang tinggi manakala harus melawan pemerintah yang dinilai tidak adil. Seperti perlawanan rakyat yang terjadi di negara-negara berkembang. 

Sejarah telah menunjukkan banyak pemimpin, sekuat apapun dia, yang akhirnya jatuh karena mayoritas rakyat menghendaki dia jatuh. Sebesar apapun militer dikerahkan untuk menyelamatkan sebuah rezim, kalau rakyat sudah bergerak, tumbang juga mereka. Perlawanan sosial seperti ini saya ragu bakal terjadi di Amerika.

Alasan saya, demokrasi dan sistem politik sudah sangat mapan di negara itu. Kedua, yang turun ke jalan-jalan sekarang ini belum tentu mewakili mayoritas rakyat Amerika.

Ketika Politik Pilpres “Involved”

Para pengamat politik tahu, baik internasional maupun di Amerika sendiri, situasi di negara itu khas. Lima bulan lagi akan dilaksanakan Pemilihan Presiden. Trump tentu sangat ingin terpilih lagi. Ini tentu sah bagi seorang petahana. Sementara, penantangnya Biden juga punya ambisi untuk mengalahkan Trump. Perhatikan komentar dan kritik Biden terhadap penanganan aksi-aksi protes yang dilakukan Trump saat ini.

Trump diibaratkan tengah bersiap untuk memasuki kembali ring tinju, tapi kakinya diberati oleh 3 pemberat. Rapor Amerika dalam menangani pandemi Covid-19, ekonomi yang suram dan gelombang unjuk rasa besar. Ini pasti menjadi handicap yang besar bagi Trump. Kecuali, jika dia mampu mengubah krisis itu menjadi peluang. Tapi bagaimana caranya?

Saya pribadi harus berhati-hati dalam membuat prediksi, apakah Trump akan terpilih kembali atau tidak. Bagi negara yang rakyat dan politiknya sangat terbelah saat ini (divided), belum tentu Trump kalah. Celah ini barangkali yang akan digunakan Trump untuk kepentingan politiknya.

Trump tahu mana yang minoritas dan mana yang mayoritas di negaranya. Bisa saja aksi protes yang umumnya dilakukan oleh komunitas kulit hitam ini justru akan digunakan untuk membangun kubu yang “di seberang”. Ujungnya rasisme juga. Tesisnya kembali menciptakan “division” dan bukan “unity”. Politik pembelahan atas dasar identitas. Dalam politik, untuk mencapai kemenangan seolah cara apapun halal, meskipun dianggap tidak etis. The ends justify the means.  
 
Namun, strategi begini belum tentu akan dilakukan Trump guna memenangkan pemilihan presiden bulan November 2020 mendatang. Tapi, bagaimanapun ada kemungkinan dan logikanya.

Saat ini orang nomor satu di Amerika itu sedang menghadapi permasalahan yang pelik dan tantangan yang berat. Memang pemimpin sejati akan diuji apakah dalam menghadapi situasi krisis, dia bisa berpikit jernih serta bisa mengambil keputusan dan tidakan yang tepat. Sangat mungkin Trump bisa ke luar dari krisis besar ini. Satu-satunya tantangan berat yang dihadapi, menurut saya, adalah jika Trump dihinggapi perasaan takut. Fear. 

Apa yang saya maksud dengan “fear” dalam kaitan ini?

Bagi seorang yang tengah memegang kekuasaan, biasanya dia takut kalau kekuasaan itu hilang. Lost of power. Bagi seorang “incumbent” yang akan melakukan pemilihan umum lagi, dia takut kalau tak lagi terpilih. Alias kalah.

Rasa takut akan kalah yang tinggi bisa menuntun pikiran dan tindakan yang salah. Salah satu godaan yang dihadapi orang yang demikian adalah tindakan menyalah gunakan kekuasaan. Abuse of power. 

Saya sering menyampaikan apa yang pernah dikatakan oleh John Steinbeck tentang kaitan takut dengan kekuasaan. Steinbeck mengatakan bahwa sesungguhnya kekuasaan itu tidak “corrupt”. Tetapi justru rasa takutlah yang mendorong disalahgunakannya sebuah kekuasaan. Ketakutan akan kehilangan kekuasaan itulah yang mendasarinya. (Power does not corrupt. Fear corrupts ... perhaps the fear of loss of power).

Trump, menurut saya tak harus tergoda dengan penggunaan kekuasaan yang tidak amanah ini, jikalaupun dia merasa takut kalah. Sebagai tokoh bisnis dan kini politisi, sebenarnya dia punya kemampuan untuk menang dalam sebuah kompetisi. Dia pernah menang melawan Hillary Clinton, kandidat yang kuat, di tahun 2016, karena cukup cerdik dan piawai dalam berkampanye. 

Demikian juga dalam menangani 3 persoalan dan tantangan berat saat ini ~ pandemi, ekonomi dan protes sosial ~ Trump tetap punya peluang untuk sukses.  Banyak cara yang dapat dipilih. Karenanya, ada baiknya dia ingat apa yang dikatakan oleh Steinbeck tadi.

Akankah Terjadi Perubahan di Amerika?
  
Banyak yang terharu mendengarkan ucapan saudara kandung mendiang George Floyd. Dia mengajak agar unjuk rasa menyusul tewasnya saudaranya itu tetap dilakukan secara peaceful. Tertib dan damai. Hindari kekerasan. 

Dia juga mengatakan bahwa perjuangan besar mereka, kaum kulit hitam, adalah terjadinya perubahan. Bahasa kaum minoritas itu adalah Amerika harus berubah dalam memandang dan memerlukan warga kulit hitam. Rasisme harus dihentikan. Rasisme telah terjadi secara sistematik dan struktural. Mereka juga menuntut agar kebrutalan polisi jangan terus terjadi. Kultur buruk itu harus diubah.

Barangkali yang disuarakan oleh para pengunjuk rasa saat ini ya itu. Cuma masalahnya menjadi ruwet karena protes-protes itu disertai pula dengan kekerasan, pembakaran dan penjarahan. Ekses inilah yang bisa mengganggu kemurnian perjuangan yang bertemakan hak asasi dan keadilan itu.

Apakah kata-kata saudara Floyd itu bisa menjadi kenyataan? Perubahan akan terjadi. Bangsa Amerika sendirilah yang bisa menjawabnya. 

Menarik apa yang disampaikan oleh mantan Presiden George W. Bush beberapa jam yang lalu. Bush jarang mengeluarkan pernyataan politik. Apalagi Bush dan Trump berasal dari partai yang sama, Partai Republik. Bush mengatakan bahwa dia dan Laura (mantan Ibu Negara) sedih dengan tewasnya George Floyd dengan cara seperti itu.

Di bagian lain dari pernyataannya, Bush juga mengatakan bahwa bukan saatnya bagi Amerika untuk “menguliahi”, tetapi saatnya untuk mendengar. Dia juga menggarisbawahi bagaimana Amerika bisa menghentikan rasisme yang sistemik dalam kehidupan masyarakatnya.

Menurut saya, Bush berbicara dari hatinya. Dari nuraninya. Beyond politics.

Pertanyaannya, apakah pernyataan Bush ini pertanda bahwa mungkin saja terjadi angin perubahan di negeri itu. Itulah yang kita tidak tahu.

Sedikit banyak saya mengenal Presiden Bush. Mungkin banyak yang mengira sosok yang teguh dan dianggap “keras” itu sulit berempati. Dia justru sebaliknya. 

Saya ingat ketika istri tercinta Ani Yudhoyono sedang dirawat di rumah sakit, Bush dan Laura mengirim surat yang penuh empati dan mendoakan kesembuhan Ani. Ketika Ani berpulang ke Rahmatullah, mereka kembali mengirim surat kepada saya sebagai ucapan bela sungkawa. 

Kembali kepada seruan dari banyak pihak agar ada perubahan di Amerika, semua harus bersabar menunggunya. Belum bisa diduga apakah akan ada tonggak sejarah baru di negeri yang selama ini gigih menyerukan nilai-nilai demokrasi, hak asasi manusia dan rule of law itu. Apalagi jika mengharapkan titik balik (turning point) menyangkut hubungan yang lebih baik antara minoritas dan mayoritas, utamanya antara kaum kulit hitam dan kulit putih.

Saya juga tidak tahu apakah Amerika memerlukan “nation building” yang baru. Misalnya diawali dengan dialog yang tulus antara kaum minoritas dan mayoritas. Antara kulit hitam dan kulit putih. Entahlah. Saya harus berhenti di sini. Takut salah.

Satu hal yang ingin saya katakan menutup artikel ini, seiring dengan perkembangan zaman, mungkin ada keperluan Amerika untuk menggalakkan lagi dialognya. Baik dialog yang sifatnya internal (dialog kebangsaan) maupun dialog negara besar itu dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Akankah? 

Only history will tell.


Cikeas, 3 Juni 2020.

Senin, 01 Juni 2020

The Human Challenge in Digital Era is TO BE A HYPER LEARNER

Covid19 has been and remains a major adaptive challenge for every person and organization. It has illuminated how hard it is for us to adapt our routines, our ways of being and our ways of working – emotionally, cognitively and behaviorally. The need for humans to excel at adaptation will not go away when Covid19 is contained. Quite to the contrary, human adaptation will be an imperative. We all will have to become highly adaptive learners: Hyper-Learners who can excel at continuous high-quality learning-unlearning and relearning. The pace of change in the Digital Age will require that.



In the Digital Age, the convergence of several advancing technologies will change how we live and how we work. In the workplace, humans will be needed to do the tasks that technology can’t do well. At least for the near future, those tasks include: 

- exploring the unknown, 

- seeking novelty, 

- being creative

- being imaginative, and innovative

- engaging in higher-level critical thinking

- making decisions in environments with lots of uncertainty and little data; and 

- emotionally connecting in positive ways with other human beings. 

All of those tasks are heavily influenced by the uniquely human way we approach and engage in learning.

The Science of Adult Learning

The science of adult learning clearly shows that we are not good at adaptive learning because our brains and minds are geared to be fast efficient processors. 

Put simply, your brain does not experience reality, it constructs it based on your past experiences. This is why scientists say that we actually “see what we believe” rather than the reverse.

We naturally seek to confirm what we believe and what we expect to see and feel; to protect our egos; to strive for cohesiveness of our mental models; and we operate much of the time on autopilot. Add to that our cognitive biases, the two big inhibitors of learning – our egos and our fears – and one can understand why Hyper-Learning will be a challenge for us. The reality is that we all are suboptimal learners.

The science is also clear. No one achieves learning excellence by themselves. We cannot overcome our ingrained reflexive ways of being by ourselves. We need others to help us think and learn at our highest levels.

For us to excel at doing the more complex tasks that the smart technology will not able to do well we will have to embrace a new approach to learning – individually and organizationally. We will have to embrace a New Way of Being and a New Way of Working that enables continuous human adaptation by Hyper-Learning.

The Human Challenge

Hyper-Learning is cognitive, behavioral, and emotional. Yes, Hyper-Learning is behavioral. It is how you think, how you listen, how you connect and relate to people emotionally and how you collaborate. And it is how you manage what is going on inside of you in your mind, your body and emotionally. It starts with mindset.

A Hyper-Learning Mindset

In the Digital Age, we need to train our mind to prioritize:

  • Seeking novelty, exploration, and discovery—not confirmation, affirmation, and cohesiveness;
  • Actively seeking disconfirming information that challenges what we believe;
  • Asking questions that lead to exploration and discovery (e.g., Why? What if? Why not?);
  • Deferring judgments (saying, “Yes and…” NOT “Yes,but…”) in order to explore and discover;
  • Embracing differences and trying to make meaning of differences;
  • Embracing ambiguity by not rushing to the safety of making comfortable, speedy decisions;
  • Excelling at “not knowing” and knowing how to learn; and
  • Sense-making and emergent thinking.

What kind of mindset will help us do that? I believe the answer is a combination of the common learnings from ancient Eastern and Western philosophies plus two modern concepts; Professor Carol Dweck’s Growth Mindset and the New Smart Mindset that I introduced in my last book Humility Is the New Smart. A Growth Mindset enables Hyper-Learning because our ability to learn is not fixed by our IQ or by our age. A New Smart Mindset is designed to help us overcome the two big inhibitors of learning – ego and fear. Here are the five principles of a New Smart mindset:

  1. I’m defined not by what I know or how much I know, but by the quality of my thinking, listening, relating, and collaborating.
  2. My mental models are not reality—they are only my generalized stories of how my world works.
  3. I’m not my ideas, and I must decouple my beliefs (not values) from my ego.
  4. I must be open-minded and treat my beliefs (not values) as hypotheses to be constantly tested and subject to modification by better data.
  5. My mistakes and failures are opportunities to learn.
  6. A Hyper-Learning Mindset enables Hyper-Learning Behaviors.

    Hyper-Learning Behaviors

    In the Digital Age, the past is no longer a reliable predictor of the future. We humans must learn to think differently and that means we have to behave differently.  Yes, behaviors. And defining the granular observable measurable sub-behaviors that evidence the desired behavior and that evidence the lack of the desired behavior. It is all about the small things: how you talk; the words you use; your tone; how you connect to people; your facial expressions; your presence; how you listen; how you collaborate; how you think; and how you deal with emotions and disagreements.

    Examples of Hyper-Learning Behaviors:

    CuriosityEmbraces uncertainty & ambiguity
    Open-mindednessChallenges the status quo
    Humility—a Quiet EgoEmotional & social intelligence
    Mindfulness—being fully presentStress-tests one’s thinking
    EmpathyEffectively collaborates
    Courage Data-driven decision-making
    ResilienceReflectively listens
    Manages Self Trustworthiness & integrity

    The purpose of adopting and operationalizing Hyper-Learning Behaviors is to mitigate the following tendencies that hinder human adaptation:

    1. Reflexive close-minded speedy thinking that seeks confirmation, affirmation, cohesiveness, and homeostasis
    2. Our egos which are tied up with what we think we know and that leads to defensiveness, denial, and deflection in the face of contradictory information or challenges to our beliefs;
    3. Listening to confirm not to learn;
    4. Behaving as if collaboration is a competition;
    5. Being a poor listener because we let our minds wander or we begin making up our response while the other person is still talking or we interrupt people before they have finished sharing their views;
    6. Immediately advocating one’s position without asking questions to make sure you understand what the other person meant;
    7. Not seeking out disconfirming data; and
    8. Being fearful of making mistakes, appearing not smart, and not being liked.

    The Organizational Challenge

    Hyper-Learning requires a humanistic and emotionally safe and emotionally positive work environment. Hyper-Learning requires a work environment that is team-oriented and highly collaborative, not an individualistic, survival-of-the-fittest, competitive environment. The organization must enable Hyper-Learning through its culture, leadership model and by engraining daily Hyper-Learning Practices into the way people work. For many organizations that will require a New Way of Working.

    Old Way of WorkingNew Way of Working
    Command & control leadership           Humanistic leadership
    Individuals compete & winTeams win
    FearPsychological safety
    Individuals play cards close to the chestTransparency & candor
    “Yes, but…”“Yes, and…”
    Highest-ranking person dictates An idea meritocracy
    Listening to confirmListening to learn 
    Advocating/tellingAsking questions
    Always knowingBeing good at not knowing
    IQIQ & EI & SI
    Internal competitionCollaboration
    Big MEBig WE (the team)
    Money dominatesMeaning & purpose
    HierarchyDistributed power
    SoullessSoulful
    Sameness (clones), homogeneityDiversity
    Human machinesHuman uniqueness
    FearTrust
    Financial measurementsFinancial & behavioral measurements
    CompetitionCompassion
    Survival of the fittestHelping others be successful
    DefensivenessTrust & vulnerability
    Seek powerSeek to empower
    Linear thinkingCreative, innovative, & emergent thinking
    CYASpeaking up
    Leave your Best Self at homeBring your Best Self to work

    Over the next 10 years, the Digital Age will automate tens of millions of jobs in the United States. Not just manufacturing jobs but also service jobs, knowledge-worker jobs and professional jobs. 

    Smart technology will have the capability to continuously update its “mental models” faster and better than we humans. Our differentiator will be excelling at the types of thinking the technology can’t do well. That requires individuals and organizations to become more disciplined and rigorous in optimizing continuous human adaptation through Hyper-Learning: continuous high-quality learning – unlearning and relearning.


THE BEST WAY TO PREDICT THE FUTURE, IS TO CREATE YOUR OWN FUTURE!

THE BEST WAY TO PREDICT THE FUTURE, IS TO CREATE YOUR OWN FUTURE!

Saya memanggilnya Mbak Sita, saat ini dia tinggal di Thailand, menjadi HR Director (untuk wilayah Asia Tenggara) di perusahaan Multinasional dengan headquarter di Amerika). Tidak banyak orang Indonesia yang menjadi HR Director di luar Indonesia, saya bangga banget dengan mbak Sita.

Pagi itu, saat pesawat Cathay Pacific yang saya tumpangi, mendarat di Hong Kong, dia mengirimkan WhatsApps message ke saya.
"Mas Pam, terima kasih banyak ya ...
Tahun lalu saya diramal sama mas Pam. Dan saya jadi termotivasi banget karena ternyata semuanya benar. Dan Alhamdulillah sekarang saya dipercaya menjadi HR Director dengan tanggung jawab di beberapa negara di Asia"
Sama-sama mbak Sita. I am proud of you. 

Ternyata setahun yang lalu saya sempat dinner dengan mbak Sita. Dan ternyata pada saat itu saya sempat bilang bahwa siklus hidupnya akan b seperti roller coaster
Dan saya bilang ke Mbak Sita bahwa ujian besar akan datang dan Mbak Sita tetap harus bersiap siap dan justru menggunakan hal itu sebagai opportunity untuk justru bekerja keras dan berprestasi lebih hebat lagi. Dan pada akhirnya saya melihat potensi besar pada Mbak Sita , dan Mbak Sita pasti akan mencapai kesuksesan.

Sebenarnya waktu saya tidak meramal mbak Sita, sebenarnya saya sedang memotivasi mbak Sita, atau kadang kadang saya juga suka mendorong seseorang untuk mempunyai plan B (rencana cadangan) dalam hidupnya , seandainya terjadi ujian berat dalam kehidupan (contangency plan).

Dan beberapa bulan kemudian, suami mbak Sita meninggal setelah sakit bertahun-tahun.
Padahal Mbak Sita masih memiliki anak anak yang harus kuliah dan perlu biaya.
Pepatah Cina ada yang mengatakan "Pada saat angin berhembus , ada yang mebuat tembok (untuk menahan angin), ada yang membuat kincir air (untuk membuat energi)"
Anda mau menjadi yang mana? 
Tidak ada gunanya membangun tembok, menahan angin dan meratapi apa yang terjadi. Karena sekokoh apapun tembok itu ternyata tetap saja angin akan bisa menjeboknya.
Seandainya anda membangun kincir air, maka anda akan mendapatkan energy positif dari situ.

Mbak Sita memutuskan untuk membangun kincir angin.
Jadi setelah suaminya meninggal, dia bukannya tenggelam dalam kesedihan dan terus menerus menangis.
Dia sadar, dia memang sedih. Tetapi mbak Sita move on dan berfokus pada kariernya.
Dia bekerja keras, jauh lebih keras daripada yang lain.
Dan akhirnya mendapatkan promosinya, menjadi HR Director untuk beberapa negara di wilayah Asia Tenggara. Dan dia mendapatkan expatriate assignment di Singapore.
Congratulations mbak Sita. Selamat ya ....
You deserve it!

Begitu banyak orang yang fokus pada masa lalu, padahal masa lalu tidak bisa diapa-apain lagi. Masa lalu tidak bisa dikontrol lagi!

Ada juga yang bersikap aneh pada masa depan, ini adalah benerapa sikap aneh terhadap masa depan ...
- dengan meramal
- dengan merenung
- dengan kecemasan yang berlebihan
- dengan memimpikan yang sangat muluk dan tidak melakukan apa apa untuk mencapainya

Tetapi banyak yang menggunakan mimpi masa depan sebagai sarana (atau mungkin seperti narkoba) untuk melupakan masa sekarang (yang pedih).

Mari kita belajar dari mbak Sita ....
Karena cara yang paling baik untuk meramalkan masa depan adalah dengan menciptakannya.
(Because the best way to predict the future is to create the future!)

Makanya mbak Sita bukannya meratapi masa lalu, atau mencemaskan masa depan.
Mbak Sita justru :
- bekerja keras
- belajar dan meningkatkan diri
- berdoa
dan dengan demikian, secara tidak langsung, kita akan menciptakan masa depan kita sendiri.

Apa yang bisa kita lakukan untuk menciptakan masa depan kita sendiri?
Coba ikuti 5 langkah di bawah ini ...

A) PLAN YOUR DESIRED FUTURE
Cara yang terbaik untuk meramalkan masa depan adalah dengan menciptakannya.
Dan langkah pertama untuk menciptakan masa depan anda adalah dengan merencanakannya.
Jadi ambil kertas dan corat coretlah Bagaimana masa depan anda akan kelihatan. Gambarlah dengan detail. Sevisual mungkin.
Di mana anda tinggal. Apa yang anda lakukan sehari hari. Gambarkan rumah anda dan apa yang ada di sekelilingnya. Gambarkan suasana pekerjaan anda.
Gambar sedetaik mungkin dan se visual mungkin. Ini akan memberikan motivasi yang kuat kepada anda , karena anda akan bekerja keras untuk mewujudkan itu semua.

B) DREAM BIG, and BE REALISTIC

Bermimpilah setinggi-tingginya, dan realistislah.
Jadi anda harus bermimpi yang tinggi dan tetap berfikir bahwa mimpi itu masih bisa anda capai di dunia ini.
Kalau mimpinya terlalu rendah, itu tidak akan membuat anda maju.
Kalau mimpinya terlalu tinggi, anda sendiri tidak akan mempercayai dan tidak akan bekerja keras mencapainya.
Dream big and realistic!

C) DEFINE THE "WHO", NOT THE "WHAT"

Mimpi anda harus lebih banyak be fokus pada "siapa" diri anda di masa depan, karakter seperti apa yang akan anda bentuk terhadap diri anda sendiri.
Jangan terlalu berfokus pada berapa uang yang anda hasilkan di masa depan.
Mimpi anda harus lebih banyak fokus pada apa yang anda lakukan, siapakah diri anda, dan terutama karakter anda seperti apa?
Berarti anda juga berfokus pada memperbaiki dan meningkatkan kompetensi dan karakter anda agar dapat dapat mencapai mimpi anda.

D) DON'T LISTEN TO THE NEGATIVITY, and SURROUND YOURSELF WITH POSITIVE PERSON

Boleh-boleh saja anda menyampaikan mimpi anda kepada orang lain.
Bersiap siaplah bahwa akan ada orang yang mencela, mencibir, menghina, sinis dan mentertawakan anda.
That's great. Berarti mimpi anda bagus banget.
Sekarang anda harus bekerja keras.
Jangan hiraukan mereka yang negative itu. Buktikan bahwa mereka salah (dan anda benar!).
Batasi hubungan anda dengan mereka. Kelilingilah diri anda (dan hidup anda) dengan orang orang yang bersikap positive dan memancarkan energi positive.
Buang jauh jauh, putuslah hubungan, dan batasi waktu anda dengan mereka mereka yang hanya memberikan energy negative kepada anda, siapapun mereka! Mau temen sekolah, temen kuliah, temen kantor, saudara... atau siapapun, hindari mereka kalau mereka bersikap, berkata kata dan berpikiran negative!
Remember you are the average of 5 persons you meet most often.
Kalau anda banyak banyak bertemu dengan orang orang yang bernergi positive dan mampu memotivasi dirinya, anda juga akan seperti mereka .
Dan sebaliknya juga benar kan? Kalau anda bergaul terus menerus dengan orang orang negative, lama lama anda akan ikut negative juga!

E) WORK HARD TO CREATE YOUR FUTURE, and ENJOY THE JOURNEY

Setelah anda menggambarkan mimpi anda , membuang pengaruh negative dan mengelilingi diri anda dengan energy positive, sekarang saatnya untuk bekerja keras.
Mohon maaf bapak-bapak dan ibu-ibu sekalian.
Satu-satunya cara untuk mencapai kesuksesan di masa depan adalah dengan melupakan masa lalu dan bekerja keras di masa sekarang.
Kalau anda ingin mencapai yang lebih tinggi dari yang lain, anda harus bekerja lebih keras dari yang lain.
That's it. Life is as simple as that.
Tetapi jangan lupa untuk have fun and enjouy your journey to get there.
Hidup adalah marathon, bukan sprint.


Jangan lupa untuk melakukan sesuatu yang menyenangkan :
- hobby yang anda tekuni
- bergaul dengan teman teman anda (yang positive)
- melakukan kegiatan amal
- pasrah dan berdoa

Jadi kesimpulannya, daripada capek-capek meramalkan masa depan atau mencemaskannya, lebih baik anda merencanakan dan bekerja keras untuk mencapainya dan juga berdoa.
Dan untuk itu anda bisa mencoba lima langkah di bawah ini ...

1- PLAN YOUR DESIRED FUTURE
2- DREAM BIG, ans BE REALISTIC
3- DEFINE THE "WHO" NOT THE "WHAT"
4- DON'T LISTEN TO THE NEGATIVITY, and SURROUND YOURSELF WITH POSITIVE PERSON
5- WORK HARD TO CREATE YOUR FUTURE, and ENJOY THE JOURNEY


Salam Hangat

Pambudi Sunarsihanto