Kamis, 28 Februari 2019

KUNCI BERTAHAN DI REVOLUSI INDUSTRI 4.0 - Handry Satriago

Meet the Leader. CEO GE Indonesia Handry Satriago: Dari Tukang Ketik Menuju Puncak dengan Kursi Roda
 February 22, 2019

Chief Executive Officer (CEO) General Electric (GE)Indonesia yang juga penyandang disabilitas daksa, Handry Satriago, memberi strategi agar industri dan tenaga kerja Indonesia, termasuk tenaga kerja disabilitas bisa bersaing di era digital dan menghadapi disrupsi revolusi industri 4.0.

“Buang sajalah istilah milenial. Setiap orang harus punya passion to learn, keinginan untuk belajar terus menerus agar bisa beradaptasi,” kata CEO GE Indonesia Handry Satriago ketika ditemui di kantornya, bilangan Lebak Bulus, Jakarta Selatan, awal Februari lalu.

Handry memang tak suka dengan istilah generasi milenial. Dia menolak mengotak-kotakkan generasi berdasarkan usia. Setiap zaman mempunyai tantangan yang berbeda dan masing-masing orang mesti belajar menyesuaikan diri dan fleksible, termasuk dirinya sendiri.

Kecintaan akan belajar Handry puaskan secara formal dan non formal. Dia menempuh pendidikan sarjana dari IPB di bidang Teknologi Industri Pertanian, Magister Management dari IPMI, Jakarta dan Monash University. Handry menamatkan S3 pada 2010 di Universitas Indonesia, dengan meraih gelar Doktor dalam bidang Strategic Management.

Si kutu buku ini mengumpulkan bahan bacaan dengan beragam topik, dari bisnis, politik, hingga sejarah. Handry juga mengaku banyak keahlian yang diperoleh setelah belajar dari orang-orang yang ditemuinya.

Dalam membangun kerja dengan seluruh generasi di perusahaan yang dia pimpin, Handry tak pernah membuat batas dengan para karyawan. Di kantor GE Indonesia, semua karyawan bekerja tanpa partisi untuk memudahkan kolaborasi. Handry sendiri hanya bekerja di bilik kecil setelah sekretarisnya menyarankan perlu ruangan khusus untuk bekerja.   

KUNCI BERTAHAN DI REVOLUSI INDUSTRI 4.0

Keinginan terus belajar, kemampuan adaptasi, fleksibilitas, dan menciptakan kolaborasi. Inilah empat kemampuan yang Handry sebut sebagai kunci bertahan di revolusi industri 4.0 yang mendisrupsi perusahaan-perusahaan lama. Kunci lain ialah integritas untuk menghasilkan karya baik dengan cara yang baik.

Kelima kunci ini juga yang digunakan Handry sejak menjadi pucuk pemimpinan GE Indonesia sembilan tahun yang lalu. Di usia 41 tahun, dia terpilih sebagai CEO termuda dalam sejarah GE Global dan CEO GE Indonesia pertama yang merupakan lulusan universitas dalam negeri.

Saat ini, GE Indonesia mengembangkan GE Digital yang mulai dirintis 2015. Bisnis ini fokus pada pengembangan perangkat lunak. Alhasil, GE tak hanya dikenal sebagai perusahaan yang menggunakan teknologi mesin-mesin besar, tetapi juga piawai mengolah big data. Inilah bentuk adaptasi perusahaan terhadap revolusi industri 4.0.

“Perubahan industri 4.0 lebih cepat dibandingkan revolusi industri yang sebelumnya. Banyak industri yang tak terbayangkan. Bahkan, pada saat 10 tahun yang lalu,” ujar Handry.

Handry sepakat dengan upaya pemerintah yang telah mencanangkan program ‘Making Indonesia 4.0’ untuk mengejar kemajuan Indonesia di bidang teknologi digital. Hanya saja, dia berharap kebijakan itu perlu dipercepat dengan caranya meningkatkan keahlian tenaga kerja lewat pendidikan vokasi dan mendorong investasi teknologi.

Pendidikan vokasi dapat diperbaiki dengan melibatkan peran industri. Handry menceritakan prestasi salah satu mitra GE Indonesia di Salatiga yang digawangi para pemuda lulusan SMK, Arfian Fuadi dan M Arie Kurniawan. Jet engine bracket—salah satu komponen untuk mengangkat mesin pesawat terbang— yang mereka desain menjadi produk paling ringan dibandingkan profesor dari Swedia dan lulusan University of Oxford saat kompetisi 3D Printing Challenge yang diadakan GE pada 2014.

Pada tahun 2017, Arfian dan Arie yang membentuk usaha D-Tech Engineering, merancang alat yang bisa menganalisis kondisi pesawat dengan nama Intelligent Borescope Imaging System (IBIS). Desain ini bisa bekerja pada suhu panas sehingga waktu pengecekan mesin menjadi lebih cepat. Masih banyak produk unggul lain yang mereka kerjakan untuk pelanggan internasional.

“Mereka juga melatih anak-anak muda sekitar di bidang 3D printing. Ini bisa disebut sebagai bagian dari pendidikan vokasi,” kata Handry.

Handry bangga melihat binaannya berkembang dan mampu bersaing dengan kompetitor global. Dia berharap semakin banyak kolaborasi lembaga pendidikan, lembaga riset, dan perusahaan yang bekerja sama sehingga menumbuhkan industri berteknologi tinggi di Indonesia.

“Kalau mau punya Silicon Valley, harus ada kompleks sekolah dan industri di situ agar tumbuh subur,” ujar Handry.  

Tangan Di Atas Penyandang Disabilitas

Handry Satriago memilih menggerakkan sendiri kursi rodanya saat memasuki gedung. Naik ke lantai 18, menuju ruangannya. Ketika Handry berumur 18 tahun, kanker getah bening merenggut fungsi kakinya untuk berjalan. Namun dia tidak menyerah dan menunggu uluran tangan bantuan. Setelah lulus kuliah medio 90-an, dia mencari pekerjaan dengan cara tradisional: datang ke perusahaan dan menawarkan kemampuan.

“Pekerjaan pertama saya literally menjadi tukang ketik dengan gaji Rp 150 ribu per bulan,” katanya.

Saat itu, masih banyak gedung yang belum ramah bagi penyandang disabilitas. Handry tak mengeluh meski harus menaiki tangga menuju lantai empat. Tapi dari pekerjaanlah, Handry mengenal banyak orang dan menambah kemampuan hingga bisa menempati posisi seperti sekarang.

Handry yakin penyandang disabilitas bisa bekerja di manapun yang mereka mau asal sesuai dengan kemampuan. Seorang karyawan tuli memang tidak bisa melakukan pekerjaan yang memerlukan komunikasi lewat telepon. Namun mereka, kata Handry, bisa bekerja di depan komputer, manufacturing, atau bidang lain.

Apalagi saat ini, akses informasi dan infrastruktur kian mudah bagi penyandang disabilitas. Handry menyebut sejumlah aplikasi pencari kerja yang ditujukan bagi penyandang disabilitas seperti ThisAble Enterprise, Kerjabilitas, dan DNetwork.

“Terpenting adalah mentalitas bahwa tangan kita tidak di bawah,” kata Handry.

Adanya aplikasi pencari kerja bagi penyandang disabilitas mendorong terbentuknya peluang yang lebih inklusif. Indonesia Development Forum 2019 bertujuan mencari solusi lain menciptakan peluang kerja inklusif dengan cara mempertemukan para pemimpin pemerintahan, sektor swasta, akademisi, dan masyarakat sipil.

IDF 2019 bertema “Mission Possible: Memanfaatkan Peluang Pekerjaan Masa Depan untuk Mendorong Pertumbuhan Inklusif”. Forum yang diinisiasi oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan didukung Pemerintah Australia lewat Knowledge Sector Initiative ini akan digelar pada 22-23 Juli 2019 di Jakarta.**

https://indonesiadevelopmentforum.com/2019/article/9414-meet-the-leader-ceo-ge-indonesia-handry-satriago-dari-tukang-ketik-menuju-puncak-dengan-kursi-roda

Wardah di Harvard yang Egaliter

Wardah di Harvard

Senin 25 February 2019

Oleh : Dahlan Iskan

Wardah jadi bahasan di Boston. Di Harvard Business School. Masuk dalam Harvard Business Review. Tanggal 7 Februari lalu.

Topik yang dibahas adalah 'strategi global'. Khususnya mengenai fenomena zaman ini: mengapa produk-produk global tergerus oleh produk lokal.

Kasusnya terjadi di tiga negara: Indonesia, Tiongkok dan India. Tiga negara yang berpenduduk besar. Dengan kekhasan penduduk lokal masing-masing.

Di masa lalu tidak demikian. Kosmetik yang berjaya di negara-negara itu adalah produk asing. Dari perusahaan kelas global.

Di Surabaya pernah muncul merk Viva. Milik teman saya. Topnya bukan main. Tapi belum pernah bisa mencapai yang dicapai Wardah sekarang.

Dan lagi Viva tidak pernah berhadapan langsung dengan produk Unilever. Seperti yang dilakukan Wardah sekarang.

Belum pernah produk global menemui tantangan seberat sekarang ini di Indonesia.

Kini market share mereka merosot. Merk global seperti Estée Lauder, Colgate, Avon, Axe, Olay dan sejenisnya dimakan oleh produk lokal.
Di Tiongkok sangat nyata. Dari 10 besar kosmetik yang disukai, lima di antaranya sudah kosmetik lokal.

Pun yang nomor satu paling laris: One Leaf (一叶子). Ada lagi merk seperti Chando. Yang di Tiongkok disebut 自然堂 (Zìrántáng).

Penjualan Chando lewat Taobao dan Tmall-nya Alibaba mencapai 90 juta yen. Sekitar Rp 200 miliar. Hanya dalam sebulan (Juni-Juli 2017).

Di India merk seperti Vini mencuri pasar yang sangat besar. Vini didirikan di negara bagian Gujarat. Jauh dari New Delhi atau Mumbay. Kantor pusatnya di kota Ahmad abad.

Saking suksesnya begitu banyak investor yang mengincarnya. WestBridge Capital Partners LLC ingin membeli saham mayoritasnya. Dengan nilai --tarik nafas-- 9 miliar rupee. Atau sekitar Rp 2 triliun. Hanya untuk 51 persen saham.

Lebih hebat lagi di Indonesia. Menurut riset yang dilakukan Accenture Strategy Wardahlah 'tersangka'-nya.

Wardah bukan hanya menggerogoti. Justru sudah mengalahkan. Bersejarah. Produk lokal mengalahkan kosmetik global.

Dua penulis global strategy di Harvard Business Review itu sendiri adalah pelaku risetnya: Sonia Gupta dan Oliver Wright.

Accenture, yang berpusat di London, lantas memberikan saran-saran. Apa yang harus diperbuat perusahaan global itu.

"Sebetulnya Wardah hanya sedikit mengambil pasar mereka," ujar Bu Nurhayati. Pemilik Wardah itu memang sangat rendah hati. Sederhana.

"Kami memang tumbuh pesat. Tapi sebenarnya kami ini membuat pasar baru," tambah Pak Subakat, suaminya.

Suami-istri ini sama-sama lulusan ITB. Istri asli Padang. Suami orang Solo. Dua anak laki-lakinya juga lulus ITB. Harman Subakat dan Salman Subakat. Hanya anak perempuannya, Sari, yang lulusan UI. Dokter.

"Kenapa Sari tidak dipaksa sekalian kuliah di ITB? " tanya saya. Setengah bergurau.

"Sebenarnya sudah kami paksa," jawab sang ibu. Serius. "Anak ini justru tipe menolak kalau dipaksa," tambahnya. Contohnya soal renang. "Dia tidak bisa renang karena justru pernah dipaksa renang. Sampai didorong ke kolam renang," ujar sang ibu.

Sang putri hanya tersenyum mengiyakan.

Saya akhirnya bertemu seluruh keluarga pemilik Wardah. Saya diundang ke forum Wardah Sabtu lalu. Di salah satu hotel di Ancol. Seluruh manajernya kumpul. Dari Aceh sampai Papua. Lebih dari 500 orang.

Saya tidak mengenal lagi Salman Subakat. Yang menyambut saya di depan. Dulu, waktu pertama bertemu, ia pakai jas. Yakni saat saya minta Salman jadi pembicara. Di ulang tahun pertama DisWay. Di Surabaya.

Sabtu lalu Salman tidak bedanya dengan karyawan Wardah lainnya: mengenakan baju biru muda lengan pendek. Celananya jeans. Persis para manajer yang lagi berkumpul itu.

Ternyata Harman Subakat juga mengenakan baju itu. Bapaknya juga. Ibunya juga. Adik perempuannya, Sari, juga. Saya suka dengan seragam Wardah itu. Seragam tapi tidak terasa seragam. Karena potongan, warna dan pilihan kainnya yang casual.

Dari seragam itu saja saya tahu kultur apa yang hidup Wardah. Sederhana. Egaliter. Saling menghormati. (Foto-foto keluarga Wardah dan acaranya di Ancol lihat Instagram: @dahlaniskan19 siang nanti).

Saya juga tahu manajemen seperti apa yang diterapkan di Wardah. Terbuka. Tidak rumit.

Karena itu saya tidak mau ceramah panjang di forum itu. Saya sudah merasa cocok dengan gaya manajemen Wardah. Saya seperti menemukan cermin besar untuk diri saya. Di situ.

Tentu banyak perusahaan asing yang mengincar Wardah. Tapi keluarga Nurhayati tidak seperti Vini di India.

Uang triliunan rupiah memang banyak. Tapi Wardah masih tahan godaan seperti itu.

Dari gaya penampilan manajemennya Wardah bukan jenis yang mudah tergoda apa saja.(dahlan iskan)

https://www.disway.id/r/372/wardah-di-harvard

Jumat, 22 Februari 2019

KUNCI BERTAHAN DI REVOLUSI INDUSTRI 4.0 - Handry Satriago

Meet the Leader. CEO GE Indonesia Handry Satriago: Dari Tukang Ketik Menuju Puncak dengan Kursi Roda
 February 22, 2019

Chief Executive Officer (CEO) General Electric (GE)Indonesia yang juga penyandang disabilitas daksa, Handry Satriago, memberi strategi agar industri dan tenaga kerja Indonesia, termasuk tenaga kerja disabilitas bisa bersaing di era digital dan menghadapi disrupsi revolusi industri 4.0.

“Buang sajalah istilah milenial. Setiap orang harus punya passion to learn, keinginan untuk belajar terus menerus agar bisa beradaptasi,” kata CEO GE Indonesia Handry Satriago ketika ditemui di kantornya, bilangan Lebak Bulus, Jakarta Selatan, awal Februari lalu.

Handry memang tak suka dengan istilah generasi milenial. Dia menolak mengotak-kotakkan generasi berdasarkan usia. Setiap zaman mempunyai tantangan yang berbeda dan masing-masing orang mesti belajar menyesuaikan diri dan fleksible, termasuk dirinya sendiri.

Kecintaan akan belajar Handry puaskan secara formal dan non formal. Dia menempuh pendidikan sarjana dari IPB di bidang Teknologi Industri Pertanian, Magister Management dari IPMI, Jakarta dan Monash University. Handry menamatkan S3 pada 2010 di Universitas Indonesia, dengan meraih gelar Doktor dalam bidang Strategic Management.

Si kutu buku ini mengumpulkan bahan bacaan dengan beragam topik, dari bisnis, politik, hingga sejarah. Handry juga mengaku banyak keahlian yang diperoleh setelah belajar dari orang-orang yang ditemuinya.

Dalam membangun kerja dengan seluruh generasi di perusahaan yang dia pimpin, Handry tak pernah membuat batas dengan para karyawan. Di kantor GE Indonesia, semua karyawan bekerja tanpa partisi untuk memudahkan kolaborasi. Handry sendiri hanya bekerja di bilik kecil setelah sekretarisnya menyarankan perlu ruangan khusus untuk bekerja.   

KUNCI BERTAHAN DI REVOLUSI INDUSTRI 4.0

Keinginan terus belajar, kemampuan adaptasi, fleksibilitas, dan menciptakan kolaborasi. Inilah empat kemampuan yang Handry sebut sebagai kunci bertahan di revolusi industri 4.0 yang mendisrupsi perusahaan-perusahaan lama. Kunci lain ialah integritas untuk menghasilkan karya baik dengan cara yang baik.

Kelima kunci ini juga yang digunakan Handry sejak menjadi pucuk pemimpinan GE Indonesia sembilan tahun yang lalu. Di usia 41 tahun, dia terpilih sebagai CEO termuda dalam sejarah GE Global dan CEO GE Indonesia pertama yang merupakan lulusan universitas dalam negeri.

Saat ini, GE Indonesia mengembangkan GE Digital yang mulai dirintis 2015. Bisnis ini fokus pada pengembangan perangkat lunak. Alhasil, GE tak hanya dikenal sebagai perusahaan yang menggunakan teknologi mesin-mesin besar, tetapi juga piawai mengolah big data. Inilah bentuk adaptasi perusahaan terhadap revolusi industri 4.0.

“Perubahan industri 4.0 lebih cepat dibandingkan revolusi industri yang sebelumnya. Banyak industri yang tak terbayangkan. Bahkan, pada saat 10 tahun yang lalu,” ujar Handry.

Handry sepakat dengan upaya pemerintah yang telah mencanangkan program ‘Making Indonesia 4.0’ untuk mengejar kemajuan Indonesia di bidang teknologi digital. Hanya saja, dia berharap kebijakan itu perlu dipercepat dengan caranya meningkatkan keahlian tenaga kerja lewat pendidikan vokasi dan mendorong investasi teknologi.

Pendidikan vokasi dapat diperbaiki dengan melibatkan peran industri. Handry menceritakan prestasi salah satu mitra GE Indonesia di Salatiga yang digawangi para pemuda lulusan SMK, Arfian Fuadi dan M Arie Kurniawan. Jet engine bracket—salah satu komponen untuk mengangkat mesin pesawat terbang— yang mereka desain menjadi produk paling ringan dibandingkan profesor dari Swedia dan lulusan University of Oxford saat kompetisi 3D Printing Challenge yang diadakan GE pada 2014.

Pada tahun 2017, Arfian dan Arie yang membentuk usaha D-Tech Engineering, merancang alat yang bisa menganalisis kondisi pesawat dengan nama Intelligent Borescope Imaging System (IBIS). Desain ini bisa bekerja pada suhu panas sehingga waktu pengecekan mesin menjadi lebih cepat. Masih banyak produk unggul lain yang mereka kerjakan untuk pelanggan internasional.

“Mereka juga melatih anak-anak muda sekitar di bidang 3D printing. Ini bisa disebut sebagai bagian dari pendidikan vokasi,” kata Handry.

Handry bangga melihat binaannya berkembang dan mampu bersaing dengan kompetitor global. Dia berharap semakin banyak kolaborasi lembaga pendidikan, lembaga riset, dan perusahaan yang bekerja sama sehingga menumbuhkan industri berteknologi tinggi di Indonesia.

“Kalau mau punya Silicon Valley, harus ada kompleks sekolah dan industri di situ agar tumbuh subur,” ujar Handry.  

Tangan Di Atas Penyandang Disabilitas

Handry Satriago memilih menggerakkan sendiri kursi rodanya saat memasuki gedung. Naik ke lantai 18, menuju ruangannya. Ketika Handry berumur 18 tahun, kanker getah bening merenggut fungsi kakinya untuk berjalan. Namun dia tidak menyerah dan menunggu uluran tangan bantuan. Setelah lulus kuliah medio 90-an, dia mencari pekerjaan dengan cara tradisional: datang ke perusahaan dan menawarkan kemampuan.

“Pekerjaan pertama saya literally menjadi tukang ketik dengan gaji Rp 150 ribu per bulan,” katanya.

Saat itu, masih banyak gedung yang belum ramah bagi penyandang disabilitas. Handry tak mengeluh meski harus menaiki tangga menuju lantai empat. Tapi dari pekerjaanlah, Handry mengenal banyak orang dan menambah kemampuan hingga bisa menempati posisi seperti sekarang.

Handry yakin penyandang disabilitas bisa bekerja di manapun yang mereka mau asal sesuai dengan kemampuan. Seorang karyawan tuli memang tidak bisa melakukan pekerjaan yang memerlukan komunikasi lewat telepon. Namun mereka, kata Handry, bisa bekerja di depan komputer, manufacturing, atau bidang lain.

Apalagi saat ini, akses informasi dan infrastruktur kian mudah bagi penyandang disabilitas. Handry menyebut sejumlah aplikasi pencari kerja yang ditujukan bagi penyandang disabilitas seperti ThisAble Enterprise, Kerjabilitas, dan DNetwork.

“Terpenting adalah mentalitas bahwa tangan kita tidak di bawah,” kata Handry.

Adanya aplikasi pencari kerja bagi penyandang disabilitas mendorong terbentuknya peluang yang lebih inklusif. Indonesia Development Forum 2019 bertujuan mencari solusi lain menciptakan peluang kerja inklusif dengan cara mempertemukan para pemimpin pemerintahan, sektor swasta, akademisi, dan masyarakat sipil.

IDF 2019 bertema “Mission Possible: Memanfaatkan Peluang Pekerjaan Masa Depan untuk Mendorong Pertumbuhan Inklusif”. Forum yang diinisiasi oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan didukung Pemerintah Australia lewat Knowledge Sector Initiative ini akan digelar pada 22-23 Juli 2019 di Jakarta.**

https://indonesiadevelopmentforum.com/2019/article/9414-meet-the-leader-ceo-ge-indonesia-handry-satriago-dari-tukang-ketik-menuju-puncak-dengan-kursi-roda

Rabu, 13 Februari 2019

ERANI YUSTIKA EKONOMI INDONESIA

Postingan Prof Ahmad Erani Yustika (ekonom) untuk nambah gizi hari ini.

===

BERSELANCAR DI ATAS OMBAK

Prof. A. Erani Yustika

2018 sudah ditutup, namun beberapa sisa data ekonomi baru saja diumumkan. Terbaru, bangsa ini patut bahagia sebab di tengah tekanan ekonomi global yang berat (seperti harga minyak, nilai tukar, perang dagang, dan lain-lain), ekonomi tetap tumbuh di atas 5 persen, tepatnya 5,17%. Ombak tinggi ekonomi berhasil dilalui dengan kemampuan berselancar secara mengesankan. Bahkan, Bloomberg memberitakan pencapaian ini di atas ekspektasi para ekonom. Menariknya lagi, sejak 2016 pemerintah dapat memeroleh pertumbuhan ekonomi yang meningkat disertai dengan pengurangan 3 hajat ekonomi yang paling mematikan: kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan. Ini pencapaian yang tidak pernah diperoleh sepanjang satu dekade sebelum tahun 2015. Bahkan, angka kemiskinan menjadi sejarah karena mencapai level terendah sejak Indonesia merdeka.

Kenapa perolehan pertumbuhan 5,17 persen merupakan prestasi? Paling pokok ekonomi global sudah melambat sejak 2011. Tentu, kondisi tersebut memengaruhi performa ekonomi Indonesia. Menurut data Bank Indonesia (2019), pertumbuhan China turun dari 6,9 persen (2015) menjadi 6,5 persen (2018: Triwulan IV); Korea Selatan turun dari 2,8 persen (2015) menjadi 2 persen (2018: Triwulan IV); India turun dari 7,4 persen (2015) menjadi 6,7 persen (2018). Di kawasan Asean, penurunan pertumbuhan ekonomi juga tidak dapat dihindarkan. Ekonomi Malaysia, misalnya, hanya tumbuh 4,4 persen pada Triwulan IV-2018, di mana pada 2015 tumbuh 5,1 persen. Pada saat bersamaan, tren pertumbuhan ekonomi Indonesia justru naik, dari 4,88 persen pada 2015 menjadi 5,17 persen pada 2018. Jadi, kita terbang saat negara lain menukik turun.

Penurunan kemiskinan bukan soal angka saja, namun ini hajat keadilan ekonomi yang diamanatkan oleh konstitusi. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, tingkat penduduk miskin tinggal 9,66 persen pada 2018. Bandingkan dengan empat tahun sebelumnya, yang masih bertengger pada angka 11 persen. Menekan angka kemiskinan hingga di bawah dua digit bukanlah pekerjaan mudah, karena pemerintah dihadapkan pada struktur kemiskinan kronis. Tantangan pengurangan kemiskinan kian berat karena yang twrsisa adalah "kerak" terbawah dari piramida penduduk, plus kenaikan angka/nilai garis kemiskinan yang terjadi setiap tahun. Tapi, misi pengurangan kemiskinan ini tak boleh berhenti atau gagal, dan pemerintah telah menunaikannya dengan baik.

Sejalan dengan perbaikan angka kemiskinan, tingkat pengangguran terbuka (TPT) juga menurun. Sepanjang 2015-2018, pemerintah telah menciptakan lapangan kerja bagi 9,3 tenaga kerja baru. Sehingga, TPT merosot dari 5,94 persen (2014) menjadi 5,3 persen (2018). Variasi pekerjaan pun semakin beragam, sehingga memberikan kesempatan bagi tenaga kerja memasuki jenis pekerjaan baru. Porsi pekerja formal meningkat dari 40 persen (2014) menjadi 43 persen (2018). Jadi, anggapan bahwa pengangguran meningkat atau lapangan kerja menipis dengan terang hal itu tidak ditopang oleh data. Bahkan, pemerintah pun melindungi tenaga kerja informal lewat BPJS, asuransi nelayan, dan petani. Pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan telah dan sedang dipanggul pemerintah.

Ketimpangan pendapatan (yang tercermin dari rasio gini) bergerak menurun sesuai dengan harapan. Pada 2014, rasio gini Indonesia mencapai 0,41 dan turun menjadi 0,38 pada 2018. Jadi, misi pemerataan pendapatan telah berada di jalur yang benar. Hal itu sejalan dengan program pemerintah yang memang sebagian besar berorientasi kepada golongan menengah ke bawah. Misalnya, penurunan suku bunga Kredit Usaha Rakyat (KUR) menjadi 7 persen sejak 2018 (awalnya 23 persen), RAPS (Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial), Dana Desa, memotong tarif pajak UMKM menjadi 0,5 persen, perluasan akses pendidikan dan kesehatan (KIP dan KIS), Rastra, PKH (Program Keluarga Harapan), dan banyak program lain. Penurunan ketimpangan merupakan pertempuran berat yang telah dimenangkan pemerintah dan didukung secara penuh oleh rakyat. Ini mesti dikawal terus di masa mendatang.

Catatan bersejarah lainnya terekam dari angka inflasi. Torehan yang prestisius tersebut mencakup inflasi umum, inti, harga barang-barang yang diatur pemerintah (administered price), dan harga bahan pangan yang bergejolak (volatile food). Data BPS menjelaskan inflasi umum periode 2011-2014 rata-rata 6,21 persen; inflasi inti, administered price dan volatile food masing-masing 4,66 persen; 9,92 persen; dan 7,94 persen. Bandingkan dengan periode 2015-2018. Inflasi umum hanya 3,32 persen; inti, administered price, dan volatile food masing-masing 3,26 persen; 4,59 persen; dan 2,29 persen. Selama 4 tahun ini inflasi selalu di bawah 3,6%. Mudahnya, kenaikan harga memang terjadi, namun jauh lebih rendah dan terkendali ketimbang masa silam. Golongan yang berpendapatan rendah dan tetap dilindungi dengan sungguh-sungguh oleh pemerintah.

Dengan begitu, prestasi menjaga inflasi juga mencerminkan keadilan ekonomi yang diperjuangkan pemerintah. Pemerintah menjaga agar harga-harga tidak melukai masyarakat, terutama golongan menengah ke bawah. Hal ini dapat diraih karena adanya berbagai program untuk menjaga daya beli, seperti Rumah Pangan Kita (Program Bulog), Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), dan Beras Sejahtera (Rastra). Jangan pila dilupakan, kesemuanya itu tidak terlepas dari langkah membangun infrastruktur ke seluruh penjuru negeri. Contohnya, dulu harga satu sak semen di Wamena mencapai Rp 750 ribu, sekarang turun menjadi Rp 350 ribu akibat pembangunan jalan poros Jayapura - Wamena. Pada tataran makro, inflasi rendah juga berperan penting dalam menjaga pertumbuhan konsumsi rumah tangga. Komponen tersebut menjadi penyumbang utama pertumbuhan ekonomi nasional, yang bisa dilihat pertumbuhannya masih pada angka 5%.

Pada bagian lain, pemerintah juga menjaga pertumbuhan sektor padat karya (sektor penyerap tenaga kerja terbesar). Pada 2018, industri manufaktur tumbuh 4,27 persen (yoy); meningkat dari 4,25 persen (yoy) pada 2015. Setidaknya pemerintah mampu menjaga pertumbuhan positif industri manufaktor pada saat proses transformasi ekonomi terus berjalan. Pada bagian lain, sektor pertambangan dan penggalian tumbuh 2,16 persen (yoy) pada 2018; sedangkan pada 2015 terkoreksi hingga minus 5,08 persen (yoy). Sektor pertanian dan perdagangan juga tumbuh positif. Ini kabar bahagia yang layak disyukuri. Sektor manufaktur, pertanian, dan perdagangan merupakan penyumbang terbesar penyerapan tenaga kerja. Dengan begitu, data ini tentu linier dengan penurunan angka pengangguran.

Pencapaian bersejarah lainnya terlihat dari kemandirian ekonomi. Tahun lalu, sektor fiskal bekerja sangat baik, lewat realisasi pendapatan negara hingga 102 persen dari target. Pemerintah pun mampu menekan defisit neraca keseimbangan primer turun menjadi Rp1,8 triliun. Selain itu, rasio defisit fiskal dan utang dapat ditekan ke level yang lebih rendah. Defisit fiskal tinggal 1,7%; terendah dalam 6-7 tahun terakhir dan makin menjauh dari batas kritis (3%). Pertumbuhan utang juga makin turun dibandingkan periode 2010-2014. Perbaikan demi perbaikan sudah dikerjakan meski belum sempurna. Jika melihat ke belakang, ada beberapa data menggembirakan lainnya dari sektor fiskal, terutama pada peningkatan anggaran produktif. Politik fiskal sedang bekerja untuk kesejahteraan rakyat.

Beberapa data berikut ini merupakan contoh untuk mendeskripsikan hal tersebut: (i) anggaran pendidikan naik 30 persen dari Rp375 triliun (2014) menjadi Rp488 triliun (2019) dan tetap menjaga porsinya 20 persen dari APBN sesuai amanat konstitusi; (ii) anggaran kesehatan naik 100 persen dari Rp61 triliun (2014) menjadi Rp122 triliun (2019). Untuk pertama kalinya semenjak 2015 anggaran kesehatan mampu ditunaikan sebesar 5 persen dari APBN sesuai UU No. 36/2009 tentang Kesehatan; (iii) anggaran infrastruktur meningkat 157 persen dari Rp163 triliun (2014) menjadi Rp420 triliun (2019); dan (iv) alokasi belanja fungsi ekonomi secara rata-rata juga meningkat 20,1 persen sepanjang 2015-2019, dari hanya 9,1 persen sepanjang 2010-2014. Alokasi anggaran makin fokus dan efisien sehingga terasa bagi masyarakat.

Tahun 2018 juga menjadi titik balik kemandirian dan kedaulatan ekonomi nasional, lewat pengambilalihan Blok Rokan dan Freeport. Ini juga bagian dari sejarah penting bangsa karena hanya bisa diwacanakan sejak dulu dan baru sekarang terealisasi. Langkah ini akan menjadi peluang besar dalam meningkatkan nilai tambah ekonomi di bidang pertambangan dan migas melalui hilirisasi. Penguasaan ini juga menjamin keberlanjutan operasional perusahaan serta menjaga kelangsungan penerimaan negara dari pajak dan hasil pertambangan. Pertamina, misalnya, dulu hanya menguasai sekitar 20% dari total produksi minyak, sekarang meningkat menjadi sekitar 50-60%. Tentu proses ini tidak gampang, namun harus dieksekusi karena perintah kontitusi.

Sungguh pun begitu, aneka capaian tersebut tidak boleh membuat terlena, apalagi bertepuk dada. Masih banyak agenda besar ekonomi yang harus diurus dengan serius, salah satunya adalah perbaikan neraca transaksi berjalan. Ini masalah laten ekonomi nasional sejak puluhan tahun. Paling pokok yang mesti ditangani adalah NERACA PERDAGANGAN, sehingga upaya mendorong transformasi ekonomi (nilai tambah produk) merupakan keniscayaan.

Sektor jasa juga rentan, misalnya transportasi untuk lalu lintas ekspor-impor.

PARIWISATA perlu didorong lebih kencang lagi.

Pendalaman sektor keuangan juga merupakan agenda mendesak agar perekonomian tak tergantung investasi portofolio (jangka pendek) yang membuat ekonomi mudah bergejolak. Catatan ini mesti dikerjakan secara presisi dan diukur kemajuannya dari masa demi masa. Pesan intinya: perekonomian telah berjalan ke arah yang benar, tapi mesti hati-hati agar tak terpeleset.

*Ahmad Erani Yustika,
Staf Khusus Presiden; Guru Besar FEB Universitas Brawijaya
-----------------