Kamis, 28 Februari 2019

KUNCI BERTAHAN DI REVOLUSI INDUSTRI 4.0 - Handry Satriago

Meet the Leader. CEO GE Indonesia Handry Satriago: Dari Tukang Ketik Menuju Puncak dengan Kursi Roda
 February 22, 2019

Chief Executive Officer (CEO) General Electric (GE)Indonesia yang juga penyandang disabilitas daksa, Handry Satriago, memberi strategi agar industri dan tenaga kerja Indonesia, termasuk tenaga kerja disabilitas bisa bersaing di era digital dan menghadapi disrupsi revolusi industri 4.0.

“Buang sajalah istilah milenial. Setiap orang harus punya passion to learn, keinginan untuk belajar terus menerus agar bisa beradaptasi,” kata CEO GE Indonesia Handry Satriago ketika ditemui di kantornya, bilangan Lebak Bulus, Jakarta Selatan, awal Februari lalu.

Handry memang tak suka dengan istilah generasi milenial. Dia menolak mengotak-kotakkan generasi berdasarkan usia. Setiap zaman mempunyai tantangan yang berbeda dan masing-masing orang mesti belajar menyesuaikan diri dan fleksible, termasuk dirinya sendiri.

Kecintaan akan belajar Handry puaskan secara formal dan non formal. Dia menempuh pendidikan sarjana dari IPB di bidang Teknologi Industri Pertanian, Magister Management dari IPMI, Jakarta dan Monash University. Handry menamatkan S3 pada 2010 di Universitas Indonesia, dengan meraih gelar Doktor dalam bidang Strategic Management.

Si kutu buku ini mengumpulkan bahan bacaan dengan beragam topik, dari bisnis, politik, hingga sejarah. Handry juga mengaku banyak keahlian yang diperoleh setelah belajar dari orang-orang yang ditemuinya.

Dalam membangun kerja dengan seluruh generasi di perusahaan yang dia pimpin, Handry tak pernah membuat batas dengan para karyawan. Di kantor GE Indonesia, semua karyawan bekerja tanpa partisi untuk memudahkan kolaborasi. Handry sendiri hanya bekerja di bilik kecil setelah sekretarisnya menyarankan perlu ruangan khusus untuk bekerja.   

KUNCI BERTAHAN DI REVOLUSI INDUSTRI 4.0

Keinginan terus belajar, kemampuan adaptasi, fleksibilitas, dan menciptakan kolaborasi. Inilah empat kemampuan yang Handry sebut sebagai kunci bertahan di revolusi industri 4.0 yang mendisrupsi perusahaan-perusahaan lama. Kunci lain ialah integritas untuk menghasilkan karya baik dengan cara yang baik.

Kelima kunci ini juga yang digunakan Handry sejak menjadi pucuk pemimpinan GE Indonesia sembilan tahun yang lalu. Di usia 41 tahun, dia terpilih sebagai CEO termuda dalam sejarah GE Global dan CEO GE Indonesia pertama yang merupakan lulusan universitas dalam negeri.

Saat ini, GE Indonesia mengembangkan GE Digital yang mulai dirintis 2015. Bisnis ini fokus pada pengembangan perangkat lunak. Alhasil, GE tak hanya dikenal sebagai perusahaan yang menggunakan teknologi mesin-mesin besar, tetapi juga piawai mengolah big data. Inilah bentuk adaptasi perusahaan terhadap revolusi industri 4.0.

“Perubahan industri 4.0 lebih cepat dibandingkan revolusi industri yang sebelumnya. Banyak industri yang tak terbayangkan. Bahkan, pada saat 10 tahun yang lalu,” ujar Handry.

Handry sepakat dengan upaya pemerintah yang telah mencanangkan program ‘Making Indonesia 4.0’ untuk mengejar kemajuan Indonesia di bidang teknologi digital. Hanya saja, dia berharap kebijakan itu perlu dipercepat dengan caranya meningkatkan keahlian tenaga kerja lewat pendidikan vokasi dan mendorong investasi teknologi.

Pendidikan vokasi dapat diperbaiki dengan melibatkan peran industri. Handry menceritakan prestasi salah satu mitra GE Indonesia di Salatiga yang digawangi para pemuda lulusan SMK, Arfian Fuadi dan M Arie Kurniawan. Jet engine bracket—salah satu komponen untuk mengangkat mesin pesawat terbang— yang mereka desain menjadi produk paling ringan dibandingkan profesor dari Swedia dan lulusan University of Oxford saat kompetisi 3D Printing Challenge yang diadakan GE pada 2014.

Pada tahun 2017, Arfian dan Arie yang membentuk usaha D-Tech Engineering, merancang alat yang bisa menganalisis kondisi pesawat dengan nama Intelligent Borescope Imaging System (IBIS). Desain ini bisa bekerja pada suhu panas sehingga waktu pengecekan mesin menjadi lebih cepat. Masih banyak produk unggul lain yang mereka kerjakan untuk pelanggan internasional.

“Mereka juga melatih anak-anak muda sekitar di bidang 3D printing. Ini bisa disebut sebagai bagian dari pendidikan vokasi,” kata Handry.

Handry bangga melihat binaannya berkembang dan mampu bersaing dengan kompetitor global. Dia berharap semakin banyak kolaborasi lembaga pendidikan, lembaga riset, dan perusahaan yang bekerja sama sehingga menumbuhkan industri berteknologi tinggi di Indonesia.

“Kalau mau punya Silicon Valley, harus ada kompleks sekolah dan industri di situ agar tumbuh subur,” ujar Handry.  

Tangan Di Atas Penyandang Disabilitas

Handry Satriago memilih menggerakkan sendiri kursi rodanya saat memasuki gedung. Naik ke lantai 18, menuju ruangannya. Ketika Handry berumur 18 tahun, kanker getah bening merenggut fungsi kakinya untuk berjalan. Namun dia tidak menyerah dan menunggu uluran tangan bantuan. Setelah lulus kuliah medio 90-an, dia mencari pekerjaan dengan cara tradisional: datang ke perusahaan dan menawarkan kemampuan.

“Pekerjaan pertama saya literally menjadi tukang ketik dengan gaji Rp 150 ribu per bulan,” katanya.

Saat itu, masih banyak gedung yang belum ramah bagi penyandang disabilitas. Handry tak mengeluh meski harus menaiki tangga menuju lantai empat. Tapi dari pekerjaanlah, Handry mengenal banyak orang dan menambah kemampuan hingga bisa menempati posisi seperti sekarang.

Handry yakin penyandang disabilitas bisa bekerja di manapun yang mereka mau asal sesuai dengan kemampuan. Seorang karyawan tuli memang tidak bisa melakukan pekerjaan yang memerlukan komunikasi lewat telepon. Namun mereka, kata Handry, bisa bekerja di depan komputer, manufacturing, atau bidang lain.

Apalagi saat ini, akses informasi dan infrastruktur kian mudah bagi penyandang disabilitas. Handry menyebut sejumlah aplikasi pencari kerja yang ditujukan bagi penyandang disabilitas seperti ThisAble Enterprise, Kerjabilitas, dan DNetwork.

“Terpenting adalah mentalitas bahwa tangan kita tidak di bawah,” kata Handry.

Adanya aplikasi pencari kerja bagi penyandang disabilitas mendorong terbentuknya peluang yang lebih inklusif. Indonesia Development Forum 2019 bertujuan mencari solusi lain menciptakan peluang kerja inklusif dengan cara mempertemukan para pemimpin pemerintahan, sektor swasta, akademisi, dan masyarakat sipil.

IDF 2019 bertema “Mission Possible: Memanfaatkan Peluang Pekerjaan Masa Depan untuk Mendorong Pertumbuhan Inklusif”. Forum yang diinisiasi oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan didukung Pemerintah Australia lewat Knowledge Sector Initiative ini akan digelar pada 22-23 Juli 2019 di Jakarta.**

https://indonesiadevelopmentforum.com/2019/article/9414-meet-the-leader-ceo-ge-indonesia-handry-satriago-dari-tukang-ketik-menuju-puncak-dengan-kursi-roda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar