Jumat, 30 September 2016

8 Signs of A Growth Mindset

http://www.lifehack.org/467975/8-signs-you-have-a-growth-mindset-that-makes-you-mentally-stronger

1. Orang yang memiliki mindset yang baik dan terus berkembang, Menyukai Tantangan. Sedangkan orang sebaliknya tidak menyukai menemui Permasalahan. Menghindar dari Masalah atau
Mengeluh kalau ketemu masalah.

2. Orang yang tidak Produktif , Tidak Suka Perubahan. Kalau bisa keahlian yang dia sudah punya di masa lalu "seharusnya" sudah oke banget. Merasa Senior.
Padahal dunia teruuuuus berubah. Kalau merasa sudah pintar, akan tertinggal.
Orang dengan Mindset yang Baik akan selalu mencari atau Menciptakan Perubahan.

3. Orang dengan Mindset Baik selalu mencari peluang dalam setiap situasi dan kesempatan. Selalu ingin Mencoba. Salah tidak apa.
Sedangkan Orang yang Terbatas akan selalu bertemu dengan Batasan. Belok kiri nggak bisa, belok kanan juga nggak bisa. Hidupnya akhirnya stagnant. Tidak Berani ambil Resiko Mengambil Langkah apapun. Selalu takut salah.

4. Mereka yang terbatas selalu berpikir tidak akan bisa berbuat apa-apa.
Sedangkan orang yang memiliki Mindset yang Baik akan melihat Banyak Kemungkinan.

5. Orang yang Terbatas Tidak Suka Dikritik. Sedangkan orang yang Terbuka akan sangat senang Dikritik karena meyakini itu akan membuatnya Belajar dan Berkembang.

6. Orang yang Terbatas itu MAUNYA ENAK saja. Tidak mau Bersusah-susah. Maunya kayak Raja / Ratu saja.
Sedangkan orang yang memiliki Mindset Baik selalu Explore hal-hal baru. Selalu berpikir "What If" . Lalu mencoba dan mencoba terus.

7. Mereka yang Terbatas merasa bersusah payah dan berusaha itu tiada guna. Sedangkan orang yang berwawasan luas akan selalu melihat Percobaan dan Kegagalan adalah Guru yang Baik. Bahkan mereka juga berusaha menghindari Kesalahan dengan berguru pada orang yang lebih berpengalaman.

8. Orang yang Terbatas merasa setelah kuliah, sudah tidak perlu belajar lagi. Sedangkan orang yang BerMindset Baik akan selalu merasa perlu belajar terus hingga akhir hayatnya.

Kamis, 29 September 2016

8 Signs of Fake People that You Need to be Aware Of

http://www.lifehack.org/469096/8-signs-of-fake-nice-people-you-need-to-be-aware-of

Niiih... nggak ada pelajaran ini di Sekolah tapi penting sekali dan janganlah kita jadi orang yang 'Fake' .

1. Respect semua orang, Jangan hanya suka, dan dekat dengan orang-orang yang lebih kaya atau berposisi tinggi saja.

2. Dalam bersikap sehari-hari, biasa sajalah, tidak usah selalu berusaha bikin orang suka pada diri kita. Jujur saja dengan isi hati kita, namun tetap selalu sopan. Jangan bermuka dua.

3. Jangan menjadi orang yang Suka Mencari Perhatian. Anda menjadi orang yang tidak tulus.

4. Tidak usah Suka Pamer! Tidak usah suka Show Off. Itu artinya kamu orangnya Egoistic dan Riya.

5. Jujurlah dengan pendapatmu. Berani untuk ungkapkan pendapatmu dan yang kamu yakini benar. Jangan Gossip saja di belakang pintu.

6. Orang yang tidak Jujur adalah mudah bikin janji, jual-jual janji manis, tapi Jarang Menepati Janjinya. Salah satu ciri orang yg Fake.

7. Jadilah orang yang secara konsisten tulus menghargai orang lain, memuji orang lain, apapun posisinya. Orang yang Tidak Baik itu Suka Kritik orang lain demi dirinya kelihatan lebih baik. Yaa contohnya politisi-politisi yang sedang kampanye misalnya menjelekkan opponentnya dengan berharap terlihat dirinya seolah-olah lebih baik.

8. Orang baik itu Menolong Orang Lain tanpa syarat. Karena mereka sangat sudah bersyukur dengan yang sudah dimiliki, jadi mereka merasa harus membantu siapapun yang membutuhkan bantuan. Orang Tidak Baik hanya Membantu Orang Lain Karena Ada Maunya.

Jangan yaaa kita jadi orang-orang yang Fake!

Rabu, 28 September 2016

The Dark Side of Gen Z

The Dark Side of the Gen Z

Beberapa hari lalu (20/9) Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) melaporkan akun Awkarin (Karin Novilda) dan Anya Geraldine dan beberapa akun lain di media sosial kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Pasalnya akun-akun tersebut dinilai meresahkan banyak orang tua karena gambaran gaya hidup yang di-posting di akun Instagram mereka dikhawatirkan bisa menjadi contoh tak baik bagi remaja seusianya.

Dua remaja putri tersebut memicu viral di media sosial karena postingan foto-foto mereka yang seksi dan berani. Beberapa postingan mereka juga memaparkan pola berpacaran yang tidak sehat dan gaya hidup yang hedonik yang membuat banyak orang tua khawatir. Dua remaja putri tersebut kini menjadi selebgram dengan followers mencapai jutaan orang. Dan celakanya, apa yang telah mereka lakukan itu bisa jadi menjadi semacam “success story” sosok netizen yang mendapatkan kepopuleran di media sosial dalam waktu super singkat.

family-big-disconnection-2

Fully Digital Native
Cerita Awkarin-Anya adalah contoh sisi kelam dari generasi baru yang bakal kita songsong yaitu Generasi Z (sering disebut Gen Z). Generasi ini lahir setelah pertengahan tahun 1990-an dan merupakan generasi yang sejak kecil sudah sepenuhnya menggunakan internet. Istilah kerennya, fully digital native. “Generation Z has never lived in the world without the internet and on average they use five screens a day,” ungkap sebuah riset. Tak heran jika sebagian besar waktu mereka dihabiskan secara online ketimbang berinteraksi dengan sesama teman secara fisik.

Untuk pertama kali dalam sejarah, inilah generasi dimana orang tua tidak punya kendali penuh terhadap anak-anak mereka. Ya karena sejak usia dini (12, 11, bahkan di bawah 10 tahun) mereka sudah diberi smartphone oleh orang tua, dan melalui smartphone tersebut mereka bisa begitu bebas berselancar di internet untuk mendapatkan informasi, mencari teman, dan menemukan apapun yang diinginkannya.

Begitu si anak masuk ke jagad internet, maka lepaslah kendali si orang tua terhadap anak. Tak heran jika kekhawatiran terbesar orang tua Gen Z adalah ketika anak mereka menyendiri di kamar dan memainkan smartphone mereka. Karena di situlah berbagai kemungkinan mereka berinteraksi dengan “evil of the world” di jagat internet (mulai dari gaya hidup Hollywood, online bullying, gambar-gambar porno, hingga predator pedofili) bisa terjadi.

Ketika orang tua tak punya kendali sepenuhnya, maka pengasuhan anak (parenting) akan diambil alih oleh “orang tua lain” yaitu Google, Facebook, Instagram, blog, dan jutaan situs di jagat internet. “In the digital age, internet becomes their co-parent.”

Internet as a Co-Parent
Kok bisa internet menjadi orang tua lain? Bisa. Tentu kita sepakat, tugas terbesar orang tua adalah menanamkan nilai-nilai, sikap, perilaku, dan karakter mulia kepada anak. Dengan bekal karakter mulia itu si anak akan bisa selamat dan sukses menjalani hidup bahkan ketika si orang tua tak ada lagi. Nah, tugas krusial ini pun bisa dimainkan dengan sangat efektif oleh internet, apalagi kalau sebagian besar waktu Gen Z dihabiskan di internet.

Pergaulan mereka dengan teman-teman di Facebook atau Instagram, interaksi mereka dengan sang idola di bagian lain dunia (Justin Bieber, Rihana, Miley Cyrus, dsb.), atau segudang informasi gaya hidup Barat yang mereka dapatkan di internet, semuanya bisa membentuk nilai-nilai, sikap, dan perilaku mereka. Bagi mereka internet menjadi medium yang sangat kaya untuk bereksplorasi, bereksperimen, dan berpetualang dalam rangka menemukan jati diri mereka.

Dalam kasus Anya di atas misalnya, salah satu konten menghebohkan yang ia posting di Instagram adalah video saat ia liburan dengan sang pacar dengan pola pacaran yang tak beda jauh dengan gaya pacaran selebriti-selebriti top Hollywood. Melihat kemiripannya, bisa jadi ide video itu diinspirasi oleh acara reality show semacam Keeping Up with the Kardasians (Kim Kardasian) atau Simple Life (Paris Hilton) di Hollywood. Begitu mudahnya gaya hidup tak patut di dalam acara reality show itu dikopi dan dijadikan role model.

Ingat, salah satu karakteristik utama Gen Z adalah bahwa mereka adalah self-learner yang sangat mumpuni. Dengan cepat mereka meniru dan menginternalisasi apapun yang mereka dapatkan di internet hingga kemudian membentuk nilai-nilai dari perilaku mereka.

Big Disconnection
Dalam bukunya, The Big Disconnect: Protecting Childhood and Family Relationship in the Digital Age (2013), Catherine Steiner-Adair mewanti-wanti terjadinya “tragedi keluarga” terbesar abad ini, yaitu apa yang ia sebut “big disconnection”. Tragedi ini sudah riil kita temukan di ruang-ruang keluarga kita. Coba saja lihat suasana di ruang makan atau ruang tamu di banyak keluarga kita. Pada hari Sabtu atau Minggu di situ berkumpul seluruh anggota keluarga; ayah, ibu, dan dua anak. Sekilas suasananya begitu akrab mencerminkan sebuah keluarga yang harmonis dan ideal.

Namun kalau kita telisik lebih dalam, baru kita temukan ketidakberesan di situ. Ya, karena masing-masing bapak, ibu, dan anak itu memegang smartphone dan mereka sibuk dengan smartphone masing-masing. Mereka asyik dengan “screen time” mereka masing-masing dan tak peduli satu sama lain. Tak jarang mereka senyum-senyum sendiri sambil mata tak bisa lepas dari screen. Inilah potret dari keluarga-keluarga kita. Sebuah potret yang kelam.

Mereka highly-connected dengan jagat internet, tapi celakanya highly-disconnected dengan sesama anggota keluarga. Inilah yang oleh Steiner-Adair disebut big disconnection, tragedi keluarga terbesar sepanjang sejarah umat manusia. Dan barangkali disconnection inilah yang memunculkan fenomena seperti kasus Awkarin-Anya di atas.

Sadarkah kita bahwa tragedi dan bencana besar big disconnection itu sudah terjadi? Kasus Awkarin-Anya harusnya menjadi wake-up call bagi kita setiap orang tua. Ia harus menjadi peringatan mengenai bencana lebih besar yang bakal terjadi di jaman digital ini. Setiap orang tua harus lebih kritis dalam menyikapi screen time dan aktivitas online putra-putrinya.

Saya (penulis blog) adalah juga orang tua dari dua anak 10 dan 11 tahun. Terus terang kini saya takut, kasus ini hanyalah puncak kecil dari gunung es raksasa di laut kutub utara. Barangkali kasus yang sama dalam skala yang ribuan kali lebih besar bakal kita hadapi tiga tahun, lima tahun, atau sepuluh tahun ke depan.

10 Career Mistakes

https://medium.com/art-of-practicality/10-career-mistakes-i-wish-i-had-never-made-5c42dab36b6e#.umka4wymb

10 Career Mistakes I Wish I Had Never Made
“It’s good to learn from your mistakes. It’s better to learn from other people’s mistakes.” — Warren Buffet

In the last decade, I went from student to entrepreneur to freelancer to climbing the corporate ladder to blogger to teacher.
Yes, that’s not a normal career path, and it’s also not what I ever expected. But life hardly turns out the way you expect.
That’s because we’re only human. And humans make mistakes.
Recently I received an email from a reader. He asked about my biggest career mistake.
That got me thinking. And writing. A lot.
And after writing more than 2000 words about my career mistakes, I thought: “Wow dude, you’ve made every single mistake you possibly could.”
Anyway, I’ve cut out the obvious stuff and I made a list of my top 10 mistakes. I hope that one of the points is useful to you.

1. Assuming That Your Career Is Linear
That is, by far, the most important lesson I’ve learned. Firstly, I’ve learned that assumptions are always bad. We collectively assume a lot of things without ever asking or researching.
One of those assumptions is that careers progress linearly. Who ever said that? When I think about it, I have no idea why I believed that in the first place.

It goes like this:
You get an education.
Get an internship.
Stay put for three years.
Then try to become a low-level manager
After a few years you move up.
And if you stall, you move to another company for a better paying position.

Or:
You’re a freelancer.
You start doing work for free.
You keep doing that for years.
You can’t make ends meet.
You get a job.
You quit your job because you hate it.
You start charging for your work.
And you increase your rate a little bit every year.

Last one: you’re an entrepreneur, you start a business, you grow, you think you’re awesome, you spend more than you make, you try to get investors, they own you, and you fuck up.

Again: Why do we do that stuff? It’s so predictable. Life’s way too short for that boring stuff.

Accelerate your learning curve. Focus on VALUE. Learn more, earn more. Make leaps. And sometimes when you learn, you take a step back. But that’s fine because you will earn more in the future.

In today’s economy, it’s more about what you have to offer. For the first time in history, a lot of companies (not all) don’t look at age, gender, race, degrees — they care about what you have to offer.
So offer some great work. How? Learn faster. Access to information has never been this easy. Use it.

2.Prioritizing Money
I’ve done this. And if you do that, there are three things that can happen:
You end up in a sales job you hate.
You become an aggressive sales oriented business or freelancer.
You will say yes to work that crushes your soul.
There’s nothing wrong with those things, but they are not sustainable. I’m not trying to stop you from earning some cash money.
But instead of focusing on money; why not focus on other things that are more fulfilling? Things like learning, experience, doing work that you are interested in, adding value to other people’s lives.

Will most people follow this advice? Probably not because they can’t say no to money. There’s only one simple rule to money and freedom: Live beneath your means. And yes, that’s hard.

If you want to know more about how you can train yourself not to depend on money, please read Seneca — Letters From A Stoic. He writes about it a lot.

3.Wasting Time
You won’t believe how many evenings and weekends I’ve lost by watching tv, going out, pointless shopping, or whatever leisure activity.
Sure, entertainment is good, but you don’t have to relax every SINGLE free minute you have.
Look, this is your life, and this is your career. Take it seriously.
Can I ask you something? What’s your skill? What are you exceptional at?
If you don’t know the answer, it’s time to get down to it. Start learning, practicing, doing, whatever. Do something that turns you into an expert at something.

4.Choosing A Job Over An Industry
In the last decade, I’ve tried my luck in several industries, including hospitality, fashion, IT, and banking. But in recent years, I’ve only committed to consulting and education.

I wish I did that earlier. Hopping from industry to industry has huge costs. You have to learn the industry, market, people, unwritten rules, you name it.

Most people decide what they want to be (or they just roll into a profession). And then they try to find a job—they don’t care about the industry as long as it pays. Or, they want to be an entrepreneur or freelancer and they follow the money.

But that’s not an effective strategy on the long-term because you will never become an expert at something. Instead, pick one or two industries that you love, and commit to finding an opportunity there.

5. Getting Comfortable
“Ah, I’ve worked hard and now I’m good.” Think again. You’re never safe.
Life is competition. The next person is waiting patiently until you mess up, and then they will swoop in and take your position.

Is that really true? Well, to be honest, I don’t know. But I sure like to think that’s the case.
Why? Because that keeps me on my toes. The last thing you want is to become comfortable.

6. Not Asking For Things
Yes, you’re a nice person. We get it. But don’t be too nice.
Other people will take your spot, push you over, and you will end up with nothing. You don’t have to be a dick. Just know that when you’re in business, it’s business.
And everything is business: Art, sports, media, work-relationships, colleagues, you name it.

If you want to get something, you have to ask for it. Want a raise? Ask. No one will give it to you. What did you expect?

“Oh hey, you’re such an awesome person. Here’s a free bag of money.” Never going to happen.

7. Not Following Your Interests
There are two camps on this topic. People who say you should follow your passion, and people who say you shouldn’t.
The funny thing is, the people who say that you shouldn’t follow your passion, didn’t follow their passion. Get it? Why on earth would they encourage others to follow their passion? And vice versa.
Now, I don’t really like the word passion—and I don’t like the whole discussion. But all I can say is this:
Life is not infinite. Do you really want to spend your time doing shit you hate?

8. Not Listening To People
When I got my Master’s degree in Business Administration years ago, I thought I was the man. I didn’t listen to people who were more experienced than me. Big mistake.
Practice is different from books. I didn’t realize that.
Now I prefer to be humble and listen to everyone. Also, that means listening to less experienced people. They often have the best ideas.

9.Wanting Too Much, Too Quickly
Even though your career doesn’t have to progress in a linear fashion, you can’t make giant leaps every single day. And in the beginning, I especially tried to move too fast.
But now I’m more patient. Before I started blogging, I’d written hundreds of essays when I was getting my degrees, and not to forget two big ass theses.
And I’ve worked in the trenches of business and marketing for years before I started coaching/consulting. No one ever saw that. And that’s fine because that’s how you learn.

10. Not Asking For Help
Maybe you’re too proud. Maybe you think people will believe that you’re stupid. Maybe you’re not raised that way.
But if you don’t ask for help, one thing is sure: You will never get it.
Almost everything in life is a team effort. Even if you work entirely for yourself, you still need people. And they need you.
The “Self-made” success stories are all fake.
Whenever you’re spreading too thin, reach out to others. Reach out to colleagues, partners, friends, family. They will help you, and if they don’t, they’re not your friends.

Finally: This Is Your Career.
Why NOT take it seriously? That’s one thing I didn’t do enough until a few years ago. I was too passive.
If you find yourself unhappy with your career, or how it’s progressing: Change. That’s the only universal advice there is.
And do it today. You know why? If you don’t do it today, when will you?
You and I both know the answer to that.

Originally posted on dariusforoux.com.

Jumat, 16 September 2016

CARA CERDAS MENGHUKUM ANAK*

*CARA CERDAS MENGHUKUM ANAK*

*Oleh: Dr. Jasim Muhammad Al-Muthawwa' (Pakar Parenting dari Kuwait)*

Cara cerdas menghukum anak?

Seorang ibu berkata: "Saya memiliki dua orang anak, pertama berusia 6 tahun dan yang kedua 9 tahun, saya bosan terlalu sering menghukum mereka karena hukuman _(iqob)_ tidak ada manfaatnya, kira-kira apa yg harus aku lakukan?".

Saya berkata: "Apakah anda sudah mencoba metode memilih hukuman?
Ibu tersebut menjawab: "Saya tidak  paham, bagaimana itu?"

Saya jawab: "Sebelum saya jelaskan metode ini, ada sebuah kaidah penting dalam meluruskan perilaku anak yang harus kita sepakati, bahwa setiap jenjang usia anak memiliki metode pendidikan tertentu. Semakin besar anak akan membutuhkan  berbagai metode dalam berinteraksi dengannya. Namun, anda akan mendapati bahwa metode memilih hukuman cocok untuk semua usia dan memberikan hasil yang positif".

Sebelum menerapkan metode ini kita harus memastikan, apakah anak melakukan kesalahan karena tidak tahu (tanpa sengaja), jika kondisinya seperti ini tidak perlu dihukum namun cukup diingatkan kesalahannya.

Tetapi jika kesalahannya diulangi atau melakukannya dengan sengaja, kita bisa menghukumnya dengan banyak cara diantaranya tidak memberinya hak-hak istimewa, memarahinya dengan syarat bukan sebagai pelampiasan( balas dendam) dan jangan memukul.

Kita juga bisa menggunakan *Metode Memilih Hukuman*.

Idenya begini, kita meminta anak duduk merenung, dan  memikirkan tiga jenis hukuman yang diusulkan kepada kita seperti: tidak diberi uang jajan, tidak boleh bermain ke rumah temannya selama seminggu, atau tidak boleh menggunakan handphone selama sehari.
Kemudian kita pilih salah satu untuk kita jatuhkan padanya.

Ketika tiga hukuman tidak sesuai dengan keinginan orang tua, contohnya: tidur, atau diam selama satu jam atau merapikan kamar, maka kita minta dia untuk mencari lagi tiga hukuman lain.

Ibu ini menyela: "Tapi kadang hukuman-hukuman yang diusulkan tersebut tidak memberi efek/tidak membuat anak sadar juga!"

Saya katakan: "Kita harus membedakan antara _ta'dib_ (mendidik) dengan _ta'dzib_ (menyiksa)!".

Tujuan _ta'dib_ adalah meluruskan perilaku yang salah pada anak dan ini butuh kesabaran,  pengawasan _(mutaba'ah)_, dialog dan nasehat yang terus-menerus.

Sedangkan berteriak didepan anak atau memukulnya dengan keras, ini _ta'dzib_ bukan _ta'dib_; karena kita menghukum anak tidak sesuai dengan kadar kesalahan yang dilakukan tapi berlebihan, sebab disertai dengan marah. Disebabkan kita banyak tekanan hidup lalu kita lampiaskan kepada anak dan anak jadi korban. Kemudian kita menyesal setelah menghukum mereka atas ketergesaan kita.

Kemudian saya berkata: Saya tambahkan hal penting, ketika anda berkata kepada anak anda: Masuk kamar, merenung dan dan pikirlah tiga jenis hukuman dan saya pilihkan satu untukmu.  sikap seperti ini adalah merupakan pendidikan _(ta'dib)_ untuk sendirinya karena ada dialog batin dengan dirinya, antara anak yang melakukan kesalahan dengan dirinya. Ini merupakan tindakan yang baik untuk meluruskan perilaku anak dan memperbaiki kesalahan yg telah diperbuat.

Si Ibu berkata: "Demi Allah, ide yang bagus, saya akan coba".

Saya bilang: "Saya sendiri telah mencobanya, bermanfaat dan berhasil. Banyak juga keluarga yang mencoba menerapkannya dan ampuh juga hasilnya".

Karena ketika anak memilih hukuman sendiri dan melaksanakannya. Maka sesungguhnya kita telah menjadikannya berperang dengan kesalahannya, bukan ketegangan dengan orang tuanya, disamping kita bisa menjaga  ikatan cinta orang tua dengan anak.

Selain itu kita telah menghormati pribadi anak dan menjaga kemanusiaannya tanpa menghina ataupun merendahkannya.

Siapa yang merenungkan metode _ta'dib_ Rasululllah _shallahu 'alaihi wa sallam_ terhadap orang yang melakukan kesalahan maka akan didapati bahwa beliau menta'dib dengan menghormati, menghargai dan tidak merendahkannya.

Kita menemukannya dalam kisah wanita Ghamidiyah yang berzina dan minta di rajam, salah seorang sahabat mencelanya lalu Rasulullah bersabda: "Sungguh dia telah bertaubat, andai (taubatnya) dibagikan dengan penduduk madinah, niscaya mencukupi".
Sikap menghormati pelaku kesalahan harus tetap ada selama dalam proses _ta'dib_.

Si ibu tadi pergi dan kembali lagi setelah  sebulan. Dia bertutur: " Metode ini benar-benar ampuh diterapkan pada anak-anak saya, sekarang saya jarang emosi, dan mereka memilih hukuman sendiri dan melaksanakannya. Saya berterima kasih atas ide ini, tapi saya mau bertanya dari mana anda mendapatkan metode cemerlang ini?"

Saya jawab: "Saya ambil dari metode Al-Qur'an dalam mendidik _(ta'dib)_.

Allah _subhanahu wata'ala_memberikan tiga pilihan hukuman kepada orang yang melakukan dosa dan kesalahan, seperti kafarat bagi orang yang menggauli istrinya disiang hari bulan Ramadhan, kafarat sumpah dan kafarat lainnya, yaitu: memerdekakan budak, atau puasa atau memberikan sedekah. Syariat Islam memberikan tiga pilihan bagi pelaku kesalahan ini. Metode mendidik yang sangat indah".

Ibu berkata: "Jadi ini metode pendidikan Al-Qur'an?"

Saya jawab: "Betul, sesungguhnya Al-Qur'an dan As-Sunnah memiliki banyak metode pendidikan yang luar biasa dalam meluruskan perilaku manusia, baik anak kecil maupun orang dewasa; karena Allah yang menciptakan jiwa-jiwa dan Dia lebih tahu apa yang pantas dan metode apa yg cocok bagi jiwa-jiwa tersebut. Metode mendidik sangat banyak diantaranya 'metode memilih hukuman' yang telah dijelaskan".

Lalu si ibu tadi pergi dalam keadaan bahagia memperbaiki anak-anaknya dan bertambah cinta pada rumahnya.

*#KAF Surabaya#*

Rabu, 14 September 2016

Motivasi Perbuatan Manusia - my version

Hari ini saya mendapat wahyu lagi, hasil baca-baca artikel. Lagi-lagi artikel dari Pak Theodore Rachmat (Teddy Rachmat) yang diceritakan melalui salah satu wawancara dengan putranya Arif Rachmat.

Teddy Rachmat mengatakan "Business First, Family Second".  Bisnis yang dimaksudnya adalah LEGACY, bukan uang.

Legacy adalah cara membuat perusahaan menjadi national champion, sehingga daya saing Indonesia naik dan taraf hidup masyarakat meningkat.

Menurut Pak Teddy, itu adalah cara terbaik untuk menghilangkan kemiskinan di Indonesia. Jadi, itu tujuan utamanya.
Lalu, kenapa Pak Teddy harus bilang keluarga nomor dua? Mengapa tidak setara?

Ternyata yang beliau alami dan observasi selama ini, banyak perusahan gagal berkembang karena pemegang sahamnya lebih mengutamakan mereka daripada perusahaan itu sendiri. Padahal, perusahaan memiliki kehidupan sendiri dan tujuan yang mulia.

Contohnya, ada uang yang diambil seenaknya oleh pemegang saham atau ada keluarga yang tidak kompeten tetapi memiliki jabatan di perusahaan. Pak Teddy mengajarkan kami bahwa perusahaan itu bukan hak, tetapi kewajiban atau amanah. Privilege untuk keluarga harus memastikan tujuan itu tercapai.

============

Kita semua tahu Teori Maslow, sebuah teori tingkatan Level Kebutuhan Manusia, mulai dari tingkat 1 yaitu Kebutuhan Dasar yaitu Pangan, Sandang, Papan. Sampai tingkat 5 yaitu Kebutuhan untuk Berkontribusi atau Aktualisasi Diri.

Based on pengalaman dan pengamatan pribadi, saya ingin mensederhanakan sebuah kategori Motivasi Hidup / Perbuatan Manusia:

Level 1: Self Fulfillment
Paling awal adalah, seseorang itu bermula dengan pencarian jati diri. Mencoba menemukan passionnya, where he/she belongs. Orang yang merasa belum menemukan 'tempat'nya maka akan berimbas pada personality nya yang cenderung:
- Insecure / Sensitif / Mudah Marah
- Tidak Percaya Diri / Malu / Gengsi
- Menutupi Kekurangannya (bisa dengan bentuk menyombongkan diri, meninggikan derajat dirinya oleh dirinya bukan oleh orang lain, dll)
- Egois : merasa sedang dalam misi penting padahal itu adalah kegiatan pembuktian dirinya, pencarian jati dirinya, dll. Merasa hal-hal lain tidak penting kecuali dirinya.

Pada umumnya ini terjadi pada remaja. Karena itu adalah masa seseorang beranjak dewasa. Tapi tidak menutup kemungkinan ini terjadi pada segala umur, bisa 20an, 30an, 40an, 50an, bahkan sampai akhir hayat.

Self Fulfillment ini adalah momok setiap orang. Dan harus bermula dengan:
1. Eksplorasi yang intens sejak dini. Perbanyak Wawasan sejak dini dan TIDAK PERNAH MERASA LEBIH daripada orang lain.
2. Berani Mengambil Resiko dan Bersedia Menerima Konsekuensi bila Melakukan Kesalahan. Karena yakin itulah Proses Belajar yang tiada Henti.
3. Berani Menerima Kelebihan dan Kekurangan Diri. Jujur. Menerima Pil Pahit. Lalu berusaha menekuni dengan Apa yang sudah menjadi Kelebihannya. Tidak Memaksakan Kehendak.

Sampai kapan Self Fulfillment akan berakhir dan siap move on?
Pada saat seseorang sudah menyadari bahwa hidupnya tidak hanya bertanggung jawab pada dirinya, tapi juga KELUARGAnya yang harus dia tanggung/ urus / perhatikan.

Selain itu; KESEDERHANAAN Diri juga diperlukan bahwa seseorang telah merasa lebih dari cukup atas rizki, kemampuan dll yang dimilikinya sekarang. Dan Prioritas Hidupnya sudah bergeser untuk Keluarganya, maka dia hijrah ke Level 2.

Level 2: SERVING THE FAMILY

Seseorang harus melewati tahap ini. Bila dia tidak pernah merasa Bertanggung Jawab atas Kebahagiaan, Keamanan, dan Kepastian Masa Depan Keluarga intinya, maka dia belum Move On dari being Egoistic.

Di Level 2 ini, dalam benak seseorang adalah bagaimana suami/istri dan anak2nya akan dapat hidup dengan layak, masa depan yang cerah, keamanan lahir bathin, terpenuhi perhatian dan kasih sayangnya.

Walaupun di Level 2 ini terlihat sudah sangat baik namun orang yang di level 2 ini masih 50:50 tingkat kebaikannya. Karena orang-orang di level 2 ini masih memikirkan golongan tertentu yaitu keluarganya. Walaupun they will do anything for the family, mereka masih berpotensi melakukan korupsi, menghalalkan segala cara, berkolusi nepotisme, dll hanya demi keluarganya.

Disini tantangannya adalah bagaimana seseorang bisa memutuskan, mendidik dan menularkan arti dari KESEDERHANAAN dan RASA SYUKUR kepada seluruh anggota keluarga.
Kemudian juga mengajarkan kepada keluarga tentang arti TANGGUNG JAWAB. Bahwa kehidupan kita selain kita memiliki tanggung jawab atas diri kita masing-masing , tapi juga memiliki tanggung jawab atas hidup orang lain.

Bila seseorang bisa mengajarkan Arti Kesederhanaan (This is Enough For Me dan Syukur / Thankful), dan Arti bahwa Sebaik2nya Manusia adalah Yang Berguna Bagi Orang Lain (Tidak Egois) kepada seluruh anggota keluarganya, maka mulailah dia berhijrah ke Level 3.

Level 3 : Making Impact to People / Legacy

Making Impact to People; jangan salah arti. Terkadang orang merasa bahwa dia ingin berbuat sesuatu untuk orang lain, tapi Ternyata itu adalah AMBISI PRIBADI.

Ambisi Pribadi bisa berbentuk;
- ingin Pembuktian Diri
- ingin Terlihat Doing Something Good

Ini bukan ciri orang yang di Level 3.

Orang di Level 3 adalah orang yang sudah tidak memikirkan dirinya lagi. Dia sudah merasa Cukup. Dia juga sudah merasa keluarganya sangat Lebih dari Cukup.
Orang ini ingin Berbuat dan Sibuk dalam Usahanya Meningkatkan Taraf Hidup Orang Lain.

Dia merasa harus ambil andil dalam permasalahan masyarakat yang menurutnya masih bisa dia lakukan dengan kemampuannya.

Kenapa?

Karena dia;
- Sudah Merasa Cukup dan merasa ini saatnya giliran untuk orang lain.
- dia percaya Tuhan dan dia merasakan transformasi perasaan jiwanya bila dia benar-benar Berbuat untuk Orang Lain.

Orang-orang di Level 3 ini sudah jauh dari:
- Keinginan Pembuktian Diri
- Keinginan Lebih Memperkaya Diri

Orang-orang di Level 3 ini cenderung telah memiliki Jiwa Spiritual yang tinggi.

Kesimpulan

Sebaik-baiknya manusia adalah berada di Level 3 ini. Jadi;
- Jangan terlalu lama mencari jati dirimu.
- Terimalah kelebihan dan kekuranganmu dengan lapang dada.
- Beranilah mengejar impianmu dengan resiko yang kamu tanggung sendiri
- Jangan Egois - luangkan waktumu untuk keluargamu dan orang lain yang membutuhkanmu.
- Amankan Keluargamu. Itu tanggung jawabmu.
- Didiklah Keluargamu
- Ajak semua orang untuk Berbuat Bermanfaat untuk Orang Lain.
- Sholatlah. Doalah. Hanya Dia Yang Maha Mengetahui.

Minggu, 11 September 2016

Top 7 Content Marketing Trend in 2016

The Top 7 Content Marketing Trends That Will Dominate 2016

Content marketing has seen its ups and downs since its renewed popularity as an online marketing strategy over the course of the last few years. What was once a market dominated by whichever website could produce the highest volume of quality written content has evolved into a market where your connections, your format diversity, and your ability to connect with an audience across multiple mediums all help determine your success and ROI.

Today’s content marketers have to analyze subjective situations and adapt to new technologies at a faster rate than ever before, but it’s only going to get more complex from here. Content marketing is going to go through some serious changes in the coming year, and if you want to stay ahead of the competition, you’ll have to prepare for them:

1. Aggregated content will put content marketing in the hands of users. What’s the best way to learn about public opinion? A large-scale survey, which takes bits of information from thousands of individuals to illustrate a broader picture. In 2016, this principle will be applied to content; complex software will be able to take blips of information from millions of social profiles and piece them together to form a coherent story.

For example, Twitter’s new Project Lightning feature will collect images, videos, and posts from users to create stories and individual features on news and other special events as they unfold. This may threaten content marketing’s reach in the area of news coverage, but could hold promising alternative opportunities for publication.

2. Algorithms will threaten freelancers everywhere. According to some estimates, by now you’ve read at least one article that was written by a robotic algorithm—and you didn’t even notice. Today, journalistic algorithms are capable of producing articles about simple topics (like sports and weather).

Soon, they’ll be capable of much more sophisticated tasks. While freelancers and part-timers have been the cost-effective go-to for the production of day-to-day content, in 2016, they could start being replaced by automated algorithms. Complex topics will require a human hand—at least for a few more years—but expect to see algorithms make a splash by the end of next year.

3. Google’s Knowledge Graph and instant answers will necessitate a shift toward long-form content. Although Google’s Knowledge Graph has been around since 2012, it’s only recently that the vault has evolved into something truly impressive. It now appears for the vast majority of long-tail search queries, providing users with instant answers and information to common questions.

Digital assistants like Siri and Cortana are attempting something similar. This sophisticated form of answer provision is removing the need to click any websites in the search results, reducing traffic to the traditional web pages that used to be their destination. In short, traffic to web pages that provide quick answers is starting to diminish, which will force content marketers to seek refuge in more complicated and more difficult topics.

4. Social media will offer new publishing options. Facebook started this trend when it introduced “Instant Articles.” Basically, Facebook realized that articles shared on its platform were often getting more visibility and more hits than the articles on their native publishing sites themselves.

To resolve this dissonance, Instant Articles were intended to give publishers an alternative option; publish the articles immediately on the platform. Google is now introducing its own version, so expect to see this new type of publishing spread to a wide variety of other social and digital mediums.

5. Content will demand more visual mediums. There are several reasons why visual content will continue to become more important. Wireless connections and Internet speeds continue to increase, giving people more capacity to access images and videos even while on the go.

The written content market continues to become more saturated, leaving users with a higher demand for more visual forms of content. And users are becoming increasingly impatient, needing faster and more instant forms of communication. The end result is a much higher demand for videos and other visual forms of content well into 2016.

6. Interactive content will emerge. With custom newsfeeds and tailored search results, users are already starting to grow accustomed to individualized results in the digital world. Soon, this will be applied to content, as users demand content that shifts or responds to user prompts. The unveiling of Oculus Rift (along with dozens of other virtual reality headsets) in 2016 could serve as the spark that finally introduces customizability and interactivity as a practical medium for content. Either way, expect to see the demand for individually tailored content grow.

By Jayson DeMers ( forbes.com)

Makna Peristiwa Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS

🌾🌾🌾🌾 *SETIAP KITA ADALAH IBRAHIM*

Setiap kita adalah 'IBRAHIM' dan setiap Ibrahim punya 'ISMAIL'.....
Ismailmu mungkin 'HARTAMU',
Ismailmu mungkin 'JABATANMU',
Ismailmu mungkin 'GELARMU',
Ismailmu mungkin 'EGOMU',
Ismailmu adalah sesuatu yang kau 'SAYANGI' dan kau 'PERTAHANKAN' di dunia ini ...
Ibrahim tidak diperintah Allah untuk membunuh Ismail, Ibrahim hanya diminta Allah untuk membunuh rasa 'KEPEMILIKAN' terhadap Ismail. karena hakekatnya semua adalah milik Allah.

Semoga Allah SWT anugrahkan KESHALIHAN Nabi Ibrahim dan KEIKHLASAN Nabi Ismail kepada kita semua, agar kita bisa mengaplikasikan dalam kehidupan kita.
Jangan rendahkan dan hinakan orang lain dengan harta, jabatan dan gelarmu karena di hadapan Allah hanya ketaqwaan kita yang diterimaNya...

Selamat hari raya "Idul Adha" ...mohon maaf lahir bathin...!!🙏🙏🙏 🐑🐮🐫🐪🐐🐂🐄🐏

Senin, 05 September 2016

20 Rekomendasi Kadin KTT G20

http://m.bisnis.com/finansial/read/20160905/9/581369/ktt-g20-berikut-20-rekomendasi-dari-kadin

KTT G20: Berikut 20 Rekomendasi dari KADIN

Selasa, 06 September 2016

Bisnis.com, JAKARTA—

Sebanyak 900 pelaku usaha yang berasal dari 500 perusahaan terkemuka dunia merekomendasikan sejumlah hal dalam Pertemuan B20 Summit di Tiongkok, yang merupakan bagian penting dari KTT G20.
Dalam keterangan resmi Kamar Dagang Industri Indonesia (Kadin) yang dipublikasikan, Senin (5/9/2016), Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Hubungan Internasional Shinta Widjaja Kamdani mengatakan perekonomian global saat ini tengah menghadapi transformasi penting.
Untuk menghadapi tantangan global, perusahaan-perusahaan memerlukan sinergi yang kuat untuk bisa bertahan dan tumbuh secara berkelanjutan. Adapun, dalam pertemuan B20 Summit, sebanyak 900 pelaku usaha yang terdiri dari 500 perusahaan berkumpul untuk bersinergi dan mencari jalan membangun ekonomi, salah satunya dengan memberikan rekomendasi.
Shinta memaparkan, dalam pertemuan yang berlangsung pada 3 September-4 September 2016 di Tiongkok itu dihasilkan empat poin utama yang dijabarkan melalui 20 rekomendasi.

Poin pertama adalah membuat langkah terobosan untuk pertumbuhan ekonomi global, yang dilakukan dengan cara

1. mendorong kewirausahaan dan inovasi,
2. mengembangkan infrastruktur secara transparan,
3. meningkatkan peran bank-bank pembangunan multilateral dalam pembiayaan infrastruktur,
4. memfasilitasi pasar untuk pembiayaan hijau dan investasi, dan
5. mempromosikan inklusi keuangan melalui teknologi digital.

Poin kedua, mengembangkan ekonomi global dan tata kelola yang efisien dan efektif. Hal tersebut dilakukan dengan

1. mengoptimalisasi peraturan keuangan global untuk mendorong pertumbuhan,
2. memfasilitasi akses UKM terhadap pembiayaan,
3. mengadopsi kebijakan pajak yang konsisten dan selaras,
4. memperkuat kerjasama antar pemerintah melawan korupsi, dan
5. mempromosikan kondisi bisnis yang lebih transparan untuk mendorong kompetisi.

Ketiga, mendorong investasi dan perdagangan internasional yang kuat.

Sejumlah rekomendasi yang diusulkan adalah

1. memperkuat sistem perdagangan multilateral dan mengurangi usaha-usaha yang bersifat proteksionis, eratifikasi dan mengimplementasi Perjanjian Fasilitasi Perdagagangan (TFA) pada akhir 2016,

2. mendukung e-commerce melalui Electronic World Trade Platform (eWTP),

3. Mendukung usaha untuk memfasilitasi partisipasi UKM dalam rantai nilai global, dan

4. meningkatkan kebijakan kondisi investasi global.

Adapun, poin keempat adalah

1. mempromosikan pembangunan yang inklusif dan saling berhubungan. Rekomendasi yang diberikan adalah menghapus hambatan struktural yang menurunkan rasio partisipasi masyarakat muda dan wanita dalam angkatan kerja, mengembangkan program untuk mengurangi ketidaksesuaian antara keahlian yang dibutuhkan dan yang tersedia, dan meningkatkan kondisi regulasi yang mendorong pertumbuhan UKM.
Kemudian, dengan cara mempromosikan pendekatan yang inovatif untuk infrastruktur masa depan  dan membangun konektivitas infrastruktur bagi semua sektor.
“Melalui rekomendasi yang diberikan, B20 percaya bahwa G20 akan membentuk sebuah kondisi yang membantu komunitas bisnis internasional dalam perdagangan dan investasi, mengembangkan model bisnis yang baru, dan membuat lapangan pekerjaan baru,” paparnya.

Menurutnya, hal ini sangat penting untuk mencapai tujuan G20 yaitu membangun ekonomi dunia yang innovative, invigorated, interconnected, and inclusive serta memastikan pertumbuhan yang seimbang dan berkelanjutan.

Sebagai catatan bahwa pada pertemuan KTT tahun lalu,  G20 menekankan ambisinya untuk meningkatkan GDP G20 sebesar 2% secara kolektif pada 2018, sebagaimana disetujui pada KTT Brisbane 2014. Rencana aksi antara lain terkait dengan strategi pertumbuhan yang sudah disesuaikan dan jadwal implementasi. Untuk itu B20 setuju untuk terus mendorong G20 untuk mengambil tindakan yang kuat dan konsisten dengan seluruh rencana dan komitmen tersebut.
Editor : Gita Arwana Cakti