Jumat, 30 November 2018

PIALA BERGILIR BISNIS KULINER

PIALA BERGILIR BISNIS KULINER
Yuyun Anwar, praktisi kuliner dan olahan pangan

UKM berbisnis kuliner dengan level entry barrier rendah. Era 4.1 ditandai dengan kreatifitas yg luar biasa. Kreatif membuat model bisnis, lalu di besar kan dengan traffic, setelah itu disajikan makanannya. Yang memiliki kemampuan mendatangkan massa dengan menggunakan tehnologi IT, tentu saja akan menjadi pemenangnya.

Duplikasi lebih cepat karena value bisnis bisa dijadikan modal. Tidak perlu mengundang bank dengan aturan njelimetnya atau masuk bursa saham dengan rigid standar nya. Kerja sama, bagi hasil, kemitraan, crowd funding, ala ala franchise dan seterusnya tetiba jadi begitu populer di kalangan mereka.

Berlari cepat, meniup balon, bergantung di gelembung udara bisnis yg disebut traffic atau ramai alias byk penggemar, menjadi kan bisnis kuliner mereka ibarat jamur. Tumbuh dengan cepat dan membesar. Taraaa, muncul lah jawara pebisnis kuliner dengan piala berderet di tangan nya. Semua seolah melihat this is best resto. Model bisnis nya layak di contoh. Latah semua ikutan. Dengan claim kekinian, milenial atau leasure experience yg kebanyakan not talking about food. Bahkan ada yg bilang, makanan cuma media, yg penting model bisnis dan traffic nya.

PIALA BERGILIR, Fenomena yg sama hampir mirip dengan bisnis exportir yg tukang jahit yg tdk punya brand. Hanya tukang jahit. Buyer akan meninggalkan saat bertemu yg lebih efisien. Tidak ada loyalist.
Bedanya, di bisnis kuliner, konsumen akan pelan pelan meninggalkan jika tidak menemukan makanan yg dicari. Lidah dan traffic dua hal yg berbeda, traffic bisa ditiup kapan pun, lidah tidak bisa bohong.

Traffic bisa didatangkan dalam semenit, sementara konsistensi kwalitas makanan tidak bisa disulap dalam semenit. Membentuk team work yg peduli food quality butuh waktu, tidak secepat meniup balon traffic.

Kita akan melihat piala itu BERGILIR dari satu pemain ke pemain lainnya jika tidak mampu menjaga lidah konsumen.
Bikin model bisnis yang unik agar mudah mendatangkan konsumen, sajikan good kwalitas food yg di janji kan, pelan dan pasti tumbuhnya, maka piala tetap di tangan, meski butuh waktu lama.
Jangan terburu meniup balon gede karena napsu.

Rabu, 28 November 2018

PWMBANGUNAN INFRASTRUKTUR MANUSIA INDONESIA

Peter Gontha di FB:

Seperti yang saya janjikan ini tulisan saya mengenai apa yang saya tangkap dari pembicaraan saya dengan pak Luhut Binsar Panjaitan, Menko Maritim.

Petang lalu (27/11/2018) saya berkesempatan berbincang dengan LBP, panggilan akrab Menteri Koordinator Maritim Luhut Binsar Panjaitan. Perbicangan yang berlangsung dalam perjalanan singkat dari kantornya menuju stasiun TvOne untuk sebuah acara talkshow. Namun perbincangan itu begitu menggetarkan nurani saya, sehingga perlu saya sampaikan segera kepada Anda semua.

Presiden Jokowi segera menerapkan “Shifting Strategy”, menggunakan terminologi pakar manajemen tersohor Rhenald Kasali,   pergeseran kebijakan pembangunan Indonesia.

Perbincangan bermula ketika kami mengungkap ekspor Indonesia yang tak kunjung mendukung neraca perdagangan ke angka neraca pembayaran yang positip.

Ia pun mengakui industri pariwisata kita belum dapat memberi pendapatan devisa memadai. Padahal itu diperlukan untuk menutup neraca pembayaran yang makin membengkak.

Yang memprihatinkan, ekspor barang Indonesia kini tak dapat diandalkan, karena mayoritas barang ekspor Indonesia adalah hasil kekayaan alam seperti tembaga, minyak bumi dan gas alam, maupun hasil pertanian seperti kelapa sawit, karet, dan kopi harganya yaterus menurun di pasar internasional.

Alih-alih terus meningkatnya impor BBM, lifting (produksi) minyak mentah kita terus menurun. Pada waktu yang sama, kebutuhan bahan pangan seperti beras dan  gandum belum dapat dicukupi sepenuhnya dari dalam negeri alias masih harus diimpor dalam jumlah yang semakin menggila. Ditambah nilai tukar rupiah terhadap mata uang dollar AS cenderung menurun drastis. Lengkap sudah kesulitan yang dihadapi bangsa ini.

“Apa yang dilakukan Pemerintah mengatasi kesulitan berlipat-lipat ini?” saya bertanya.

LBP bercerita  bahwa  praktis produk Indonesia tidak mempunyai nilai yang dapat diandalkan dan diharapkan konsumen pasar dunia. Bagaimana Indonesia dapat bersaing dengan barang dari Cina, Korea, dan Jepang, kalau yang diekspor hanya produk seperti INDOMIE, TOLAK ANGIN atau bahkan KOPIKO? Mengapa barang produksi Indonesia tidak mempunyai muatan teknologi sama sekali di pasaran dunia?

Alih-alih kita mendapat bonus demografi malah yang didapat petaka demografi ! “ ujarnya.

Saya tanya lebih jauh. Mengapa?

“Karena SISTEM PENDIDIKAN kita selama dua generasi (2 X 25 tahun) itu MISKIN akan pendidikan SCIENCE dan TECHNOLOGY menghasilkan lebih banyak ahli di bidang ilmu sosial yang justru terus-menerus menabrak hukum kita.”

Terus saya tanya lagi; “siapa yang salah?”
“Semua yang tidak memperhatikan pembangunan Infrastruktur manusia Indonesia selama 50 tahun ini!” Jawab LBP geram.

Saya tertegun. Saya teringat kisah bagaimana bangsa Korea bisa maju seperti ini. Pada tahun 1969 orang Korea masih saling bertanya: “Apakah anda sudah makan nasi hari ini?” Namun pada tahun tersebut Presiden Park Chung Hee membuat ikrar bersama rakyatnya. Tekadnya bahwa segenap elemen bangsa Korea akan bekerja sekuat tenaga mendidik dan mempersiapkan generasi mendatang yang mampu memenangi perubahan jaman. Hasilnya?  Sekarang kita melihat bahwa IKRAR tersebut membuahkan hasil.

“Setelah pemerintah selama 4 tahun jor-jor-an membangun Infrastruktur fisik yang sangat diperlukan di negeri kita,” ucapan LBP mengalihkan ingatan saya,” pada tahun-tahun mendatang Presiden Joko Widodo, apa bila terpilih kembali, akan mengenjot pembangunan INFRASTRUKTUR  MANUSIA Indonesia.” Lebih lanjut dijelaskan LBP bahwa Presiden Jokowi bertekad mengirim sebanyak mungkin kaum muda Indonesia ke luar negeri untuk mengikuti pendidikan di bidang sains dan teknologi.

Presiden telah menginstruksikan menteri keuangan untuk mempersiapkan semua itu. Bukan mengirim ribuan atau puluhan ribu tapi ratusan ribu bahkan jutaan anak muda yang mau dikirim keluar negeri.

Yang menarik, Presiden Jokowi juga menghendaki agar mereka yang dikirim sekolah bukan hanya yang pintar-pintar tetapi juga yang kurang pintar. “Masa anak yang kurang pintar tidak boleh mendapat beasiswa, kapan pintarnya?” kata Presiden dengan kesal, seperti dituturkan LBP.

Masa kita cuman bisa bangun gedung, jembatan dan jalan, Bikin jalanan kereta api atau MRT saja harus dibangun orang asing. Teknologi farmasi dan kedokteran saja kita impor semua, Terus saya tanya siapa yang salah. LBP dengan geram menjawab: “Semua yang tidak memperhatikan pembangunan Infrastruktur manusia Indonesia selama 50 tahun ini!”

Pendek kata, ke depan penggunaan mayoritas anggaran negara akan dipindahkan dari pembangunan infrastruktur fisik kepada pembangunan infrastruktur manusia Indonesia yang berkualitas! Meski ini akan memakan waktu hingga 2 generasi, seperti Korea, kita tidak lagi dapat menunggu. Siapa pun Presiden RI untuk 50 tahun mendatang harus fokus membangun Infrastruktur Manusia Indonesia. Inilah Shifting Strategy yang akan mengantarkan bangsa Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan yang dicita-citakan para pendiri bangsanya.

Kita tidak mau mengumbar janji2 yang Tidak masuk akal tapi hanya yang rieel yang bisa dicapai kata LBP.

SEMOGA INFRASTUKTUR MANUSIA INDONESIA DAPAT DIBANGUN 50 TAHUN MENDATANG INI!!!

Meski saya, yang sudah usur, tidak akan mengalami nya! 😩😥.

KADIN INDONESIA: DUKUNG UMKM

https://asatunews.co.id/bamsoet-apresiasi-jokowi-yang-cabut-relaksasi-umkm/

Ketua DPR RI Bambang Soesatyo mengapresiasi ketegasan presiden yang langsung mencabut ketentuan relaksasi UMKM dari Paket Kebijakan Ekonomi XVI yang mengancam sektor UMKM.

“Kita patut memberikan acungan jempol kepada Presiden yang telah menunjukan keberpihakannya kepada sektor UMKM.” ujar Bamsoet saat penutupan Rapat Pimpinan Nasional Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia di Solo, Rabu (28/11/2018).

Bamsoet yang juga Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia, menegaskan salah satu cara mendorong terciptanya pembangunan ekonomi yang berkeadilan adalah dengan memperkuat UMKM serta mendorong ekspor nasional dan mendorong pembangunan industri yang berdaya saing. Meningkatnya ekspor khususnya dari sektor UMKM akan menjadikan neraca perdagangan Indonesia surplus dan dalam waktu bersamaan akan memperkuat cadangan devisa negara.

Pemerintah harus bisa mendorong UMKM berorientasi ekspor dan menjadikan ekspor lebih atraktif, sehingga pelaku industri tertarik memasarkan produknya di luar negeri. Pemerintah bisa memberikan insentif yang menarik kepada para pelaku industri untuk meningkatkan ekspor,” ujar Bamsoet usai Presiden menyampaikan sambutannya kepada seluruh peserta Rapimnas Kadin yang mayoritas berasal dari UMKM.

Penutupan Rapimnas KADIN Indonesia ini dilakukan oleh Presiden Joko Widodo. Hadir pula antara lain Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto, Menteri Pertanian Amran Sulaiman, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, Akbar Tandjung, Ketua Umum KADIN Indonesia Rosan P Roeslani, serta Ketua KADIN Indonesia Provinsi se-Indonesia.

Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia ini menuturkan, salah satu insentif yang bisa diberikan adalah insentif fiskal. Insentif ini berupa pemotongan atau penghilangan pajak untuk produk barang dan jasa yang diekspor.

“Sesuai rekomendasi Rapimnas KADIN Indonesia, diharapkan dengan pemberian insentif fiskal maka ekspor menjadi lebih menarik bagi para pelaku industri. Sehingga, memacu mereka menghasilkan produk unggulan agar bisa bersaing di pasar dunia,” kata Bamsoet.

Tak hanya itu, Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila ini menambahkan, insentif berupa pemotongan bea masuk untuk produk yang sifatnya bahan baku, bahan penolong atau mesin-mesin untuk mendukung industri yang berorientasi ekspor perlu pula dilakukan. Insentif ini akan menarik minat pelaku industri yang awalnya berorientasi pasar dalam negeri menjadi pelaku industri yang berorientasi ekspor.

Masih tingginya bea masuk untuk barang-barang impor yang menjadi bahan baku dan bahan penolong industri, mengakibatkan biaya produksi dalam negeri meningkat. Ini membuat produk-produk yang berasal dari Indonesia menjadi lebih mahal dan sukar bersaing dengan produk negara lain,” urai Bamsoet.

Lebih lanjut politisi Partai Golkar ini berharap, pemerintah dan KADIN Indonesia juga mampu mendorong UMKM agar dapat bersaing di pasar global. Karenanya, para pelaku UMKM dan industri kreatif di daerah perlu didorong untuk lebih memanfaatkan kemajuan teknologi melalui e-commerce.

“Pemerintah perlu mendorong perusahaan-perusahaan telekomunikasi untuk membangun infrastruktur e-commerce di daerah. Untuk mempercepat program digitalisasi daerah tersebut, pemerintah bisa melibatkan KADIN Indonesia sehingga tercipta sistem e-commerce yang baik dan murah,” urai Bamsoet.

Langkah lain yang perlu dilakukan, lanjut mantan Ketua Komisi III DPR RI ini, pemerintah diminta mengambil kebijakan afirmatif dalam rangka memecahkan masalah kurangnya akses UMKM terhadap pasar keuangan, teknologi dan inovasi serta sumber daya manusia yang berkompeten. Pemerintah diharapkan dapat mendorong lembaga keuangan, baik bank maupun non bank, untuk membuka dan memberi akses keuangan kepada UMKM.

“Mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan juga perlu didukung dengan kualitas dan kompetensi SDM kompeten dengan kualifikasi yang dibutuhkan oleh dunia industri.

Dalam hubungan ini, pemerintah bersama KADIN Indonesia dapat mengembangkan program-program pendidikan dan pelatihan VOKASIONAL untuk menciptakan tenaga kerja yang dibutuhkan dunia industri,” papar Bamsoet.

Kepala Badan Bela Negara FKPPI yang juga Ketua Umum ARDIN Indonesia ini menegaskan DPR RI mendukung penuh langkah Presiden Jokowi mengenai 16 Paket Kebijakan Ekonomi guna meningkatkan upaya reformasi struktural, daya saing perekonomian serta menarik investasi dalam dan luar negeri. Sejak diluncurkan pada bulan September 2015 lalu, hasil dari 16 Paket Kebijakan Ekonomi tersebut dirasa cukup signifikan.

Data dari World Economic Forum menyebutkan daya saing Indonesia di level internasional pada tahun 2017, naik 5 peringkat dari peringkat 41 ke peringkat 36. ‘Easy of doing business’ di Indonesia juga mengalami peningkatan ke posisi 72 dari peringkat ke 91. Di tahun 2017, Indonesia mendapatkan peringkat layak investasi dari lembaga pemeringkat dunia Standard & Poor’s. Sebelumnya, Indonesia juga mendapat peringkat layak investasi dari dua lembaga pemeringkat dunia lainnya, Moody’s Investor dan Fitch Ratings.

“Capaian yang diraih pemerintahan Jokowi tersebut harus ditingkatkan lagi. DPR RI bersama pemerintah dan KADIN Indonesia akan terus berusaha meningkatkan ekspor dalam rangka menciptakan surplus neraca perdagangan yang berkesinambungan. Selain terus mendorong pembangunan industri yang berdaya saing, sehingga mampu mendukung peningkatan ekspor di pasar regional dan global,” pungkas Bamsoet. (*)

Minggu, 18 November 2018

PEMBANGUNAN INKLUSIF EKONOMI DIGITAL

*Presiden Tegaskan Pentingnya Bersikap Inklusif pada Era Digital dalam Forum ABAC*

Dalam pertemuan ABAC Dialog with Leaders dengan tema _Inclusion in the Age of Disruption: Charting a Common Future,_ Presiden Joko Widodo bersama Perdana Menteri Australia Scott Morrison, Perdana Menteri Vietnam Nguyễn Xuân Phúc, dan Utusan Khusus Cina Taipei Morris Chang membahas isu perdagangan, ekonomi global dan digital ekonomi.

Pertemuan yang dihelat di APEC Haus pada Sabtu, 17 November 2018 dihadiri pula oleh perwakilan ABAC dari keempat negara dan dimoderasi oleh Richard Cantor dari Amerika Serikat. Dari Indonesia hadir Ketua ABAC Indonesia Anindya Bakrie.

Dalam dialog tersebut, sebagaimana disampaikan Direktur Kerja Sama Intra Kawasan dan Antar Kawasan Asia Pasifik dan Afrika Kementerian Luar Negeri Andre Omer Siregar yang turut mendampingi Presiden Jokowi mengatakan bahwa Presiden Jokowi mengungkapkan bahwa pembangunan ekonomi yang inklusif dengan menggunakan platform digital adalah prioritas Pemerintah Indonesia sejak tahun 2014 dan Indonesia diperkirakan menjadi ekonomi DIGITAL terbesar di Asia Tenggara tahun 2020.

Sebagai gambaran, Presiden Jokowi menjelaskan bahwa di Indonesia pada tahun 2017 tercatat 132,7 juta pengguna internet dan 92 juta pengguna _smart phone_, sehingga pemerintah harus terus menyelesaikan pembangunan infrastruktur digital dengan penambahan serat optik Palapa Ring dan penataan spektrum frekuensi untuk menyediakan akses digital yang terjangkau bagi masyarakat.

Selain itu, Indonesia akan terus mengimplementasikan Peta Jalan Kebijakan E-Commerce untuk mendukung pengembangan e-commerce sebanyak 17 persen dan mencetak 1000 technopreneurs pada tahun 2020.

Lebih lanjut Presiden Jokowi menjelaskan bahwa Indonesia memberikan perhatian besar terhadap generasi muda untuk Revolusi 4.0 melalui pendidikan VOKASI, POLITEKNIK, dan BALAI LATIHAN KERJA. Oleh karena itu, pemerintah mendukung pemanfaatan teknologi di semua sektor misalnya Ruangguru di bidang pendidikan, atau GoJek di bidang transportasi. “Semua ini dilakukan untuk mendorong ekonomi yang inklusif,” kata Presiden Jokowi.

Untuk memastikan pembangunan yang inklusif di era digital, Presiden Jokowi mengingatkan agar ketimpangan digital harus diatasi melalui penyusunan peta jalan pengembangan _internet of things_, penyediaan _platform_ pemasaran digital bagi UMKM misalnya Tokopedia, Qlapa, serta pemanfaatan digital bagi daerah tertinggal melalui kerjasama dengan _marketplace_ dalam mengembangkan _platform e-commerce_ berbasis potensi daerah seperti pertanian dan perikanan, dan perbaikan kurikulum sekolah agar lebih siap menyambut era digital atau _digital-ready_.

“Di era digital ini, jangan sampai dilupakan aspek inklusifitas dimana manfaat pembangunan melibatkan dan dapat dinikmati semua orang. Dikhawatirkan bahwa mengabaikan inklusifitas dapat memperburuk kesenjangan. Dan kesenjangan akan menciptakan masalah sosial dan bahkan konflik,” ucap Presiden Jokowi.

Di akhir dialog tersebut, Presiden Jokowi secara tegas mengingatkan bahwa ketegangan antar negara besar dalam perdagangan dunia hanya akan merugikan masyarakat. “Dan ini pula yang juga dapat mendorong konflik sosial,” ujar Presiden Jokowi.

Port Moresby, 17 November 2018
Deputi Bidang Protokol, Pers, dan Media Sekretariat Presiden

Bey Machmudin

Jumat, 16 November 2018

54 Bisnis Investasi Asing Boleh Masuk

https://www.viva.co.id/berita/bisnis/1095059-dni-direlaksasi-asing-boleh-masuk-di-54-bidang-usaha-ini

Jumat, 16 November 2018 | 20:03 WIB

DNI Direlaksasi, Asing Boleh Masuk di 54 Bidang Usaha Ini

VIVA – Pemerintah memutuskan untuk membuka 54 bidang usaha agar bisa berkembang dengan diberikan kebebasan 100 persen mendapat investasi asing. Kebijakan itu terkandung dalam pembaruan paket kebijakan ekonomi ke-16 yang merelaksasi aturan daftar negatif investasi atau DNI.

Staf Khusus Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Edy Putra Irawady mengatakan, 54 bidang usaha tersebut dilepaskan dari daftar negatif investasi lantaran sudah empat tahun tidak mendapat ketertarikan untuk dikembangkan pelaku usaha domestik dalam konsep kemitraan.

"Yang dikeluarkan tidak ada permintaannya sejak 2016. Sudah empat tahun tidak ada yang minat," kata dia di Gedung Kementerian Koordinator bidang Perekonomian, Jakarta, Jumat 16 November 2018.

Kebijakan ini nantinya akan dipayungi oleh aturan hukum baru berbentuk peraturan presiden, yang merevisi revisi Perpres No 44 Tahun 2016 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Daftar Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal. Revisi tersebut ditargetkan akan keluar pada pekan depan sejak diumumkan pada hari ini.
Dengan semakin banyaknya jenis bidang usaha yang dilepaskan dari daftar negatif investasi, Edy mengungkapkan, pemerintah berharap investasi dalam negeri akan semakin terdorong, sehingga mampu menopang pertumbuhan ekonomi Indonesia.


"Sebenarnya kebijakan DNI itu sejalan dengan keinginan untuk meningkatkan investasi. Kalau ingin tingkatkan investasi mestinya yang dibatasi jumlahnya berkurang, daftar negatifnya itu berkurang supaya ada perluasan," katanya.
Adapun 54 bidang usaha yang dilepas dari daftar negatif investasi tersebut dimulai dari bidang usaha perdagangan eceran, warung internet, hingga industri rokok kretek, filter maupun rokok putih.
1. Industri pengupasan dan pembersihan umbi umbian
2. Industri percetakan kain
3. Industri kain rajut khususnya renda
4. Perdagangan eceran melalui pemesanan pos dan internet
5. Warung internet
6. Industri kayu gergajian dengan kapasitas produksi di atas 2.000 m3/tahun
7. Industri kayu veneer
8. Industri kayu lapis
9. Industri kayu laminated veneer lumber (LVL)
10. Industri kayu industri serpih kayu (wood chip)
11. Industri pelet kayu (wood pellet)
12. Pengusahaan pariwisata alam berupa pengusahaan sarana, kegiatan, dan jasa ekowisata di dalam kawasan hutan
13. Budidaya koral/karang hias
14. Jasa konstruksi migas: Platform
15. Jasa survei panas bumi
16. Jasa pemboran migas di laut
17. Jasa pemboran panas bumi
18. Jasa pengoperasian dan pemeliharaan panas bumi
19. Pembangkit listrik di atas 10 MW
20. Pemeriksaan dan pengujian instalasi tenaga listrik atau pemanfaatan tenaga listrik tegangan tinggi/ekstra tinggi
21. Industri rokok kretek
22. Industri rokok putih
23. Industri rokok lainnya
24. Industri bubur kertas pulp
25. Industri siklamat dan sakarin
26. Industri crumb rubber 
27. Jasa survei terhadap objek-objek pembiayaan atau pengawasan persediaan barang dan pergudangan
28. Jasa survei dengan atau tanpa merusak objek 
29. Jasa survei kuantitas
30. Jasa survei kualitas
31. Jasa survei pengawasan atas suatu proses kegiatan sesuai standar yang berlaku atau yang disepakati 
32. Jasa survei/jajak pendapat masyarakat dan penelitian pasar
33. Persewaan mesin konstruksi dan teknik sipil dan peralatannya
34. Persewaan mesin lainnya dan peralatannya yang tidak diklasifikasikan di tempat lain (pembangkit tenaga listrik, tekstil, pengolahan/pengerjaan logam/kayu, percetakan dan las listrik
35. Galeri seni
36. Gedung pertunjukan seni
37. Angkutan orang dengan moda darat tidak dalam trayek: angkutan pariwisata dan angkutan tujuan tertentu
38. Angkutan moda laut luar negeri untuk penumpang
39. Jasa sistem komunikasi data
40. Penyelenggaraan jaringan telekomunikasi tetap
41. Penyelenggaraan jaringan telekomunikasi bergerak
42. Penyelenggaraan jaringan telekomunikasi layanan konten (ringtone, sms premium, dsb)
43. Pusat layanan informasi dan jasa nilai tambah telepon lainnya
44. Jasa akses internet 
45. Jasa internet telepon untuk keperluan publik
46. Jasa interkoneki internet (NAP) dan jasa multimedia lainnya
47. Pelatihan kerja 
48. Industri farmasi obat jadi
49. Fasilitas pelayanan akupuntur
50. Pelayanan pest control atau fumigasi
51. Industri alat kesehatan: kelas B
52. Industri alat kesehatan: kelas C
53. Industri alat kesehatan: kelas D
54. Bank dan laboratorium jaringan dan sel
 

A Man Called Ahok by Ridwan Kamil

*Ridwal Kamil Gubernur Jawa Barat Bersama Istri Dan Anak2nya Nonton Film " A Man Called Ahok ".Inilah Pendapat Ridwal Kamil.*

Ketika anak dan istriku kuajak nonton bioskop A Man Called Ahok, istriku bergumam," Pa, yg nonton banyak orang Kristen kayaknya". Anakku menimpali," Banyak orang Cina juga Pa". Dgn santai kujawab," Ya wajar Ahok kan orang Cina dan juga beragama Kristen. Liat dibangku tengah dan belakang banyak juga yg pakai jilbab termasuk mama. Artinya banyak juga orang Islam yg nonton. Tp Papa yakin mereka datang ke Bioskop ini bukan krn Ahok orang Cina dan beragama Kristen, tp krn Ahok adalah tokoh bangsa yg sangat mencintai negerinya, sangat tegas dan berani melawan korupsi dan ketidakadilan. Beliau tokoh bangsa yg penuh inspirasi dan sangat dicintai pendukungnya"

Setelah nonton Bioskop, sambil menyeka air matanya, istriku berkata," Sangat dermawan ya Pa ayahnya Ahok, tetap menolong walau dlm keterbatasan, makanya sifat itu menurun pada anaknya".

Sambil mengusap air mataku, aku menjawab," Yang dia tolong itu mayoritas orang Islam di kampungnya. Makanya Ahok dan keluarganya sangat dihormati di kampungnya yg mayoritas beragama Islam. Ahok menjadi bupati non muslim di daerah yg 99% penduduknya muslim.
*Ini memberi pelajaran buat kita bahwa menilai orang jangan dilihat dari sukunya apa, agamanya apa dan perbedaan apapun, menilai orang lihatlah dari kebaikannya, kejujurannya dan rasa belas kasih pada orang lain."*

Anakku hanya mendengar perkataanku sambil tersenyum entah mengerti atau tidak. Dalam hati aku berkata," inilah tugas berat yg harus aku tanamkan kepadamu Nak, yaitu menanamkan jiwa toleransi dan menjauhkan dari rasa iri dengki pd orang yg berbeda dan lebih beruntung dari kita"

*Tugas maha besar generasi kita adalah mewariskan toleransi bukan kekerasan.*
(Ridwan Kamil /Gubernur Jawa Barat.)

Kamis, 15 November 2018

PROSPEK INDUSTRI KULINER INDONESIA

*Prospek Industri Kuliner di Indonesia Makin Moncer*

Industri berbasis kuliner di Indonesia diproyeksi semakin bagus tahun ini, ditopang oleh konsumsi masyarakat kelas menengah dan atas yang kian menguat.

Presiden Direktur Boga Group Kusnadi Rahardja mengatakan, perusahaannya menargetkan 15 pembukaan gerai pada 2018. Target tersebut sudah direalisasi dan ditetapkan target baru, yakni pembukaan 11 gerai tambahan. Pada awal 2018 Boga Group telah memiliki 154 unit gerai dan 13 merek. Beberapa di antaranya a.l. Bakerzin, Onokabe, Pepper Lunch, dan Kimakatsu.

Industri berbasis kuliner mendapat tekanan signifikan dari depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang mencapai lebih dari 7% sepanjang tahun berjalan. Pasalnya, hampir 25% bahan baku yang digunakan oleh industri berasal dari luar negeri, seperti daging sapi dan ikan salmon.

Pemain lain, Cita Rasa Prima (CRP) Group juga telah mencapai target pembukaan 200 gerai baru tahun ini. Sebagai informasi, CRP memiliki 9 merek bisnis kuliner, beberapa di antaranya Nasi Goreng Rempah, Warung Up Normal, dan Bakso Boedjangan.

Berdasarkan data Badan Ekonomi Kreatif, kontribusi ekonomi kreatif terhadap produk domestik bruto (PDB) selalu meningkat, yakni Rp 708,27 triliun pada 2013, Rp 784,87 triliun pada 2014, Rp 852,56 triliun pada 2016, dan Rp 922,59 triliun pada 2017.

Peningkatan tersebut didorong dari bisnis kuliner yang memberikan kontribusi sebesar 41,40% dengan penyerapan tenaga kerja 34% dari total penyerapan 16,91 juta pada tahun lalu.

Sumber: http://industri.bisnis.com/read/20180828/12/832411/prospek-industri-kuliner-di-indonesia-makin-moncer

Selasa, 13 November 2018

MILLENIALS KILL EVERYTHING

*How Millennials Kill Everything*

Judul tulisan ini adalah bakal judul buku yang kini idenya terus bergentanyangan di otak saya, yang membikin tiap malam saya kesulitan tidur. Mudah-mudah buku ini bisa keluar dalam 2-3 bulan ke depan. Kalau tidak, saya akan terus tersiksa insomnia hebat.

Coba googling dengan kata kunci “millennials kill”, maka Anda akan mendapati betapa milenial adalah “pembunuh berdarah dingin” yang membunuh apapun.

Di halaman pertama hasil pencarian Google saya menemui judul-judul menyeramkan seperti ini:
“RIP: Here Are 70 Things Millennials Have Killed”
“Things Millennials Are Killing in 2018”
“Millennials Kill Again. The Latest Victim? American Cheese”
“Millennials Are Killing the Beer Industry”
“How Millennials Will Kill 9 to 5 Job?”

Bahkan ada situs yang menulis:
“The Official Ranking of Everything Millennials Have Killed.”

Di dalamnya peringkat produk dan layanan yang paling cepat “dibunuh” oleh milenial. Ada dalam urutan peringkat itu produk-produk seperti: berlian di urutan 29; golf di urutan 23; department store di urutan 20; sabun batang di urutan 15; kartu kredit di urutan 10; dan bir di urutan 5.

Millennials Kill Everything New

Kenapa milenial bisa menjadi “pembunuh berdarah dingin” bagi begitu banyak produk dan layanan? Karena perilaku dan preferensi mereka berubah begitu drastis sehingga produk dan layanan tersebut menjadi tidak relevan lagi, alias punah ditelan zaman.

Contohnya golf. Tren dunia menunjukkan, sepuluh tahun terakhir viewership ajang-ajang turnamen golf bergengsi turun drastis setelah mencapai puncaknya di tahun 2015. Tahun lalu bahkan turun drastis 75%. Porsi kalangan milenial yang menekuni olahraga ini juga sangat kecil hanya 5%.

Olahraga elit ini memang digemari kalangan Baby Boomers dan Gen-X, namun tidak demikian halnya dengan milenial. Celakanya, semakin surut populasi Baby Boomers dan Gen-X, maka semakin tidak populer pula olahraga yang lahir sejak abad 15 ini. Dan bisa jadi suatu saat akan puhah.

Yang sudah kejadian sekarang adalah departement store. Tahun lalu kita menyaksikan departement store di seluruh dunia termasuk di Indonesia (Matahari, Ramayana, Lotus) pelan tapi pasti mulai berguguran.

Sumber penyebabnya adalah milenial yang bergeser perilaku dan preferensinya. Pertama karena mereka mulai berbelanja via online. Kedua, milenial kini tak lagi heboh berbelanja barang (goods), mereka mulai banyak mengonsumsi pengalaman (experience/leisure). Mereka ke mal bukan untuk berbelanja barang, tapi cuci mata, nongkrong dan dine-out mencari pengalaman penghilang stress.

Pasar properti beberapa tahun terakhir seperti diam di tempat. Alih-alih semua pelaku berharap ini hanya siklus “bullish-bearish” biasa yang nanti akan naik dengan sendirinya, saya curiga ini adalah kondisi “bearish berkelanjutan” sebagai dampak terbentuknya “new normal” perekonomian kita yang melesu dalam jangka panjang.

Mungkin biangnya bisa berasal dari pergeseran perilaku dan preferensi milenial. Beberapa kemungkinannya: Milenial mulai menunda nikah, menunda punya rumah, dan menunda punya anak. Belum lagi minimalist lifestyle yang kini banyak diadopsi milenial mendorong mereka memilih rumah ukuran mini.

Program KB yang sukses membuat late Baby Boomers dan Gen-X membentuk keluarga kecil dengan dua anak. Dengan jumlah anggota keluarga yang kecil, maka anak-anak mereka (milenial) cenderung menempati rumah orang tua dan sharing dengan sesama saudara. So, tak perlu beli rumah baru lagi. Ini yang menjadi biang kenapa market size properti cenderung mandek.

Tak hanya itu, tempat kerja pun nantinya pelan tapi pasti bisa “dibunuh” oleh milenial. Bagi Baby Boomers dan Gen-X bekerja rutin tiap hari masuk kantor dari jam 8 pagi sampai 5 sore (“8-to-5”) adalah sesuatu yang lumrah. Namun tak demikian halnya dengan milenial.

Milenial mulai menuntut fleksibilitas dalam bekerja. Bekerja di manapun dan kapanpun bisa asal kinerja yang dikehendaki tetap tercapai. Kini mereka mulai menuntut pola kerja: “remote working”, “flexible working schedule”, atau “flexi job”. Survei Deloitte menunjukkan, 92% milenial menempatkan fleksibilitas kerja sebagai prioritas utama.

Tren ke arah “freelancer”, “digital nomad” atau “gig economy” kini kian menguat. Kerja bisa berpindah-pindah: tiga bulan di Ubud, empat bulan di Raja Ampat, tiga bulan berikutnya lagi di Chiang May. Istilah kerennya: workcation (kerja sambil liburan).

Apa dampak dari millennial shifting tersebut terhadap kantor-kantor yang masih menerapkan working style ala Baby Boomers dan Gen-X? So pasti kantor-kantor jadul itu akan ditinggalkan angkatan kerja yang nantinya bakal didominasi milenial. Kantor itu akan punah dan melapuk.

Millennials will kill everything!!! So, hati-hati jangan sampai Anda sasarannya.

Minggu, 11 November 2018

TREND SHIFTING KONSUMSI

Membaca Trend konsumsi (Bisnis).*

Ketika Pendapatan per kapita di China tembus USD 5000 per tahun, sahabat saya yang juga pemimpin Venture Capital di China mengatakan bahwa akan terjadi perubahan gaya hidup orang china.

Ketika pendapatan dibawah USD 1000 , orang cenderung mengutamakan konsumsi makanan. Produksi pangan menjadi primadona. Makan tujuannya kenyang biar bisa kerja keras.

Ketika Pendapatan per kapita naik jadi USD 3000, orang sudah mulai memperhatikan penampilan pakaian. Kalau tadi beli baju baru dan aksesori pakaian setahun sekali berubah jadi sebulan sekali.

Dan ketika Pendapatan per kapita tembus USD 5000 per tahun, maka orang tidak lagi mikirkan pakain bermerek dan sesuai trend model. Yang di utamakan nyaman dipakai. Tidak lagi mikirkan makan asal kenyang tapi makan untuk sehat sambil menikmati waktu santai.

Apa yang terjadi di China juga terjadi di negara manapun. Karena trend gaya hidup sesuai dengan penghasilan. Kini terjadi di Indonesia.

Dimana bisnis retail yang menjual pakaian, mainan anak , eletronic sudah kehilangan daya beli. Itu bukan karena orang tidak ada uang untuk belanja. Tapi meningkatnya kelompok menengah di era Jokowi telah mengubah trend belanja. Orang hanya datang ke Mall dengan tujuan utama menikmati waktu santainya. Makan di Pujasera dulu terasa mewah walau berdesak ramai tapi kini orang lebih memilih restoran yang menawarkan kenyaman sambil bersantap. Harga, engga penting.

Apa yang terjadi ?
Orang tidak mau makan kenyang karena takut gemuk. Akibatnya konsumsi beras turun. Orang males beli baju bermerek karena di era sosial media, orang tidak harus ketemu tiap hari. Dengan fake show lewat sosmed orang sudah merasa seperti atis tenar. Dan lagi Mark Zuckerberg dan Priscilla Chan yang dikenal the best couple on the world selalu tampil sederhana, tapi kayanya ampun.

Sekarang anak usia 3 tahun sudah mahir gunakan smartphone untuk main game, akibatnya penjualan mainan anak anak juga turun. Orang juga sudah engga tertarik untuk beli kebutuhan hari hari datang ke Supermarket. Itu urusan ART, akibatnya buy by order tanpa ada kemampuan menjebak belanja lebih. Dengan adanya smartphone , udah pasti memangkas konsumsi tape recorder, video game, video, radio, kamera, dan buku serta majalah.

Lantas kemana uang berlebih dari adanya peningkatkan income masyarakat ?

uang itu lebih banyak mengalir ke sektor personal investasi seperti reksadana dan cicilan Property. Kalaupun ada uang sisa maka konsumsi untuk kebutuhan leisure time. Dulu orang suka datang ke dunia hiburan malam karena alasan prostitusi tapi kini orang lebih suka ke cafe berkelas sambil melakukan networking siapa tau mendapat kesempatan usaha baru. Bukan lagi orientasi dugem tapi touching friendship saling berdiskusi dalam satu visi dan minat. Makanya Orientasi berubah menjadi lebih kepada sikap terbuka dan modern yang gemar piknik didalam maupun luar negeri. Jangan kaget ditengah daya beli menurun malah Pariwisata menyumbang pendapatan nomor dua terbesar di Negeri ini, mengalahkan migas.

Bagaimana kita menyikapi ini ?

kalau anda tetap ingin berbisnis tradisional maka jangan tinggal dikota besar yang middle class nya terus tumbuh tapi pindah kedaerah lain yang middle class nya masih rendah.

Kalau anda ingin sukses mendapatkan potensi pasar dari tumbuhnya middle class di kota besar di Indonesia maka ciptakanlah “business model “ yang sesuai dengan trend konsumsi mereka.

Hanya itu. Pilihan ada pada anda. Ingat perubahan terjadi dengan sendirinya. Tidak ada gunanya mengeluh karena itu semakin mununjukan anda lemah dan mudah tersingkir.

Apalagi menyalahkan pemerintah dengan berkembangnya business digital/online.

Mari bersikap kritis & hidup cerdas and jangan main politik politikan.

Sabtu, 10 November 2018

INDUSTRI 4.0 INDONESIA JANGAN HANYA JARGON

MAJALAH TEMPO-OPINI
*GEGAP-GEMPITA REVOLUSI KEEMPAT*

Edisi : 11 November 2018

Mustahil negara kita mampu memanfaatkan revolusi industri gelombang keempat hanya dengan berbekal slogan.

Kita mesti MENYESUAIKAN cara berpikir dan bertindak untuk menangkap berbagai peluang kemajuan supercepat teknologi ini. Jika tidak, Indonesia akan makin kedodoran: hanya menanggung dampak buruk atau sekadar menjadi pemandu sorak perubahan zaman.

Revolusi industri gelombang keempat—juga disebut Industry 4.0—secara fundamental mengubah peradaban manusia.

Kemajuan teknologi ini memungkinkan OTOMATISASI di hampir semua bidang.

Penjualan produk dan jasa menjadi jauh lebih cepat dan efisien. Perkembangan ini setara dengan revolusi industri sebelumnya: penemuan mesin uap, penggunaan listrik untuk produksi massal, serta kekuatan elektronik dan teknologi informasi dalam otomatisasi proses produksi.

Perubahan besar itu berpotensi menaikkan pendapatan per kapita dunia, memperbaiki kualitas hidup, dan pada gilirannya memperpanjang harapan hidup manusia.

Sebagian besar hal itu ditopang meluasnya penyebaran gawai—terutama telepon pintar—ke berbagai belahan bumi. Dengan peranti ini, teknologi menyentuh ranah personal: menjelma menjadi
- SEKRETARIS pribadi,
- pengatur kesehatan,
- penasihat keuangan dan investasi,
- asisten pembeli makanan,
- serta banyak urusan lain.

Semua bisa dilakukan dalam satu gawai karena pelbagai data sudah tersimpan di dalam “awan” yang bisa diakses dari mana pun.

Di dunia industri, Internet of things juga mengubah total proses produksi.

- Penerimaan pesanan,
- pembuatan desain,
- perkiraan tren dan permintaan,
- pembuatan barang,
- pengemasan,
- pengiriman ke konsumen

bisa dilakukan robot. Kecerdasan buatan ini menjadi kunci efisiensi. Teorinya, harga berbagai produk menjadi jauh lebih murah. Konsumen pun diuntungkan.

Sayangnya, setiap revolusi menyimpan jebakan yang tak kalah dahsyat. Hasil riset McKinsey & Company memperkirakan 47 persen pekerjaan akan menghilang dalam seperempat abad ke depan. Robot dan kecerdasan buatan bahkan menyingkirkan pekerjaan 800 juta tenaga kerja di seluruh dunia pada 2030.

Berbagai profesi juga akan menghilang, digantikan oleh kegesitan mesin. Teknologi canggih ini juga bisa menyebabkan marginalisasi bagi sejumlah kelompok, memperbesar kesenjangan ekonomi, memunculkan risiko keamanan, dan merusak hubungan antarmanusia. Tanpa persiapan matang, efek negatif itu bisa sangat merusak optimisme Indonesia yang akan mendapat “bonus demografi”.
Perkembangan ini tentu saja memerlukan respons yang tepat dari berbagai pihak.

Sejauh ini, pemerintah baru mengeluarkan peta jalan yang dinamai Making Indonesia 4.0. Konsep ini menyebutkan lima sektor utama yang pada tahap awal akan menggunakan teknologi, yaitu
- MAKANAN MINUMAN OTOMATISASI
- tekstil dan pakaian,
- otomotif,
- kimia, dan
- elektronik.

Dalam cetak biru yang disusun Kementerian Perindustrian juga disebutkan sepuluh prioritas nasional, di antaranya
- desain ulang ZONA INDUSTRI,
- pembangunan INFRASTRUKTUR DIGITAL,
- peningkatan KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA ADVANCE TEKNOLOGI, dan
- insentif untuk investasi teknologi.

Cetak biru tersebut terkesan belum menunjukkan tingkat kegentingan menghadapi sisi negatif revolusi industri keempat. Apalagi industri Indonesia pun tertinggal dari sejumlah negara tetangga, terutama Vietnam. Kontribusi industri manufaktur terhadap produk domestik bruto Indonesia terus menurun dalam beberapa tahun terakhir: dari 26 persen pada 2001 menjadi 22 persen pada 2016.

Ekspor pun kembali mengandalkan komoditas.
:((

Sebagai jargon, Making Indonesia 4.0 memang gagah. Namun jauh lebih penting memulai pembenahan agar industri manufaktur kita segera membaik. Pemerintah mesti berfokus menyelesaikan masalah yang menyebabkan manufaktur tak berkembang. Tak salah kalau kita belajar dari Vietnam, yang pertumbuhan industri manufakturnya maju pesat. Pemerintah negara itu menciptakan berbagai INVESTASI berteknologi tinggi. Hasilnya, pertumbuhan sektor manufaktur memberikan kontribusi besar bagi perkembangan ekonomi negara itu.

Pemerintah sudah selayaknya melanjutkan perbaikan iklim investasi, yang telah dimulai pada September 2015, ketika Paket Kebijakan Ekonomi dikeluarkan. Upaya deregulasi, penegakan hukum, dan kepastian usaha demi mendorong daya saing industri nasional harus dijalankan dengan konsisten. Tak boleh ada lagi kontrak bisnis internasional yang diubah-ubah demi mengejar kepentingan politik jangka pendek.

Making Indonesia 4.0 tak boleh berhenti menjadi jargon—apalagi alat kampanye—agar kita tidak menjadi sekadar pemberi sorak perkembangan kilat teknologi.

Kamis, 08 November 2018

HASIL KONFERENSI EKONOMI KREATIF

https://m.detik.com/finance/berita-ekonomi-bisnis/d-4292832/ini-hasil-konferensi-ekonomi-kreatif-dunia-pertama-di-bali


Kamis, 08 Nov 2018 12:56 WIB


Ini Hasil Konferensi Ekonomi Kreatif Dunia Pertama di Bali

Eduardo Simorangkir - detikFinance

Foto: Eduardo Simorangkir

Nusa Dua - Konferensi Ekonomi Kreatif Dunia atau World Conference on Creative Economy (WCCE) pertama telah selesai digelar di Bali pada Kamis (8/11/2018). Dari berbagai pertemuan tingkat menteri dan Friends of Creative Economy (FCC), telah dirumuskan 21 poin yang disepakati oleh para delegasi dari 36 negara.

Setidaknya ada empat faktor yang melandasi 21 poin tersebut.

Pertama, KOLABORASI dan kolektifitas dari forum Friend on Creative Economy.

Kedua, mendukung pembangunan EKOSISTEM ekonomi kreatif. 

Ketiga, EVENT PERAYAAN, PROMOSI, pemberdayaan pembangunan berkelanjutan, warisan Kebudayaan, dan keberagaman dan juga menangani pertemuan WCCE berikutnya.

Direncanakan 21 poin yang dirangkum dalam Bali Agenda for Creative Economy ini akan dibawa ke rapat Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun depan.

"Ini akan jadi guide ke depan dalam berkolaborasi dengan berbagai pihak dalam pengembangan ekonomi kreatif dunia," kata Wakil Kepala Bekraf Ricky Pesik dalam konferensi pers di Nusa Dua, Bali, Kamis (8/11/2018).

Berikut 21 poin Bali Agenda for Creative Economy:

Mempromosikan komitmen politik internasional yang lebih kuat untuk mengatasi tantangan dan merebut peluang ekonomi kreatif.


Mempromosikan keterlibatan organisasi internasional yang relevan termasuk tetapi tidak terbatas pada PBB, WIPO, WTO, IDB, ASEAN serta organisasi internasional dan regional lainnya untuk mengatasi tantangan ekonomi kreatif.


Mendukung dan mengembangkan lingkungan yang mendukung dan memudahkan untuk mengakomodasi pertumbuhan pasar lokal dan internasional dan merek lokal di sektor kreatif.


Berkomitmen untuk memperkuat peran pemerintah, sektor swasta, media, masyarakat sipil, business council, dan akademisi dalam ekonomi kreatif.


Memperhatikan hasil Preparatoy Meeting pertama dan kedua World Conference on Creative Economy sebagaimana terlampir.


Menyambut inisiatif Indonesia untuk menetapkan, pada saat yang tepat, pusat virtual dan/atau fisik yang mempromosikan pertukaran, kolaborasi, dan kerja sama internasional dalam bidang Ekonomi Kreatif di Indonesia yang akan membantu kemajuan tujuan ekonomi kreatif di tingkat global dan pencapaian Sustainable Development Goals.


Melakukan berbagai kegiatan untuk memfasilitasi usaha dan proyek baru, seperti studi kelayakan, untuk mendorong kolaborasi start-up di tingkat nasional dan internasional.


Mempromosikan partisipasi penuh dari sektor swasta dalam semua aspek perencanaan dan implementasi ekonomi kreatif, dengan kesadaran bahwa kemitraan publik-swasta adalah unsur penting dalam mencapai nilai sosial dan manfaat penuh dari ekonomi kreatif.


Meningkatkan kolaborasi di antara berbagai pemangku kepentingan termasuk sektor swasta, pencipta, lembaga pemerintahan dan pendidikan, tidak hanya untuk manfaat ekonomi tetapi juga untuk meningkatkan ketahanan budaya dan membangun identitas nasional.


Melanjutkan promosi diskusi dan pertukaran di antara berbagai pemangku kepentingan di berbagai forum dan level, seperti dalam forum Friends of the Creative Economy, mendukung pengembangan ekosistem.


Membina perkembangan e-commerce dan kekayaan intelektual sebagai alat untuk mendorong pertumbuhan, untuk mengurangi kesenjangan digital dan menghasilkan solusi digital untuk negara berkembang dan kurang berkembang.


Mempromosikan peran perempuan dan pemuda dalam ekonomi kreatif dan partisipasi mereka dalam pengembangan, antara lain, UKM, start-up, dan industri hiburan, yang membantu meningkatkan kohesi sosial dan dampak sosial.


Mendukung peraturan yang diperlukan untuk menciptakan lingkungan yang memungkinkan, aman dan terlindungi untuk ekonomi kreatif, terutama untuk menjamin inklusifitas ekonomi kreatif dan untuk mendukung UKM.


Mendukung lingkungan yang memudahkan yang mempromosikan inovasi, komersialisasi dan perlindungan kekayaan intelektual serta program untuk meningkatkan kesadaran publik dalam konteks ekonomi kreatif.


Mendorong regulasi di sektor kreatif untuk menyediakan data yang tanpa batas sekaligus menangani masalah privasi data. Regulasi tersebut juga harus mempertimbangkan kepentingan nasional tanpa mengabaikan kebutuhan untuk menstimulasi ekonomi kreatif.


Mendukung dan mengembangkan kebijakan untuk meningkatkan pendidikan dan pelatihan kejuruan, akses terhadap informasi, teknologi, pembiayaan, dan lingkungan yang memudahkan jalannya usaha dalam sektor UKM bidang ekonomi kreatif untuk menciptakan nilai tambah dalam produk dan layanan.


Mendukung Ekonomi Kreatif sebagai sarana penting untuk mencapai Sustainable Development Goals (SDGs) dan Agenda 2030.


Melakukan kegiatan untuk memperkuat akar budaya warga melalui keterlibatan dan kerja sama pemerintah dan organisasi internasional untuk menyediakan bantuan teknis dan pembangunan kapasitas.


Mempromosikan kreativitas sebagai 'mata uang baru', sekaligus mengakui pentingnya peran budaya bagi kreativitas seniman dalam mengembangkan ekonomi lokal dan pedesaan dan memanfaatkan warisan dan keragamannya yang kaya.


Memanfaatkan keberadaan ruang pasar global, termasuk munculnya pasar jejaring sosial, untuk mempromosikan pemasaran produk dan layanan kreatif.


Didorong oleh hasil WCCE Pertama, setuju untuk merencanakan dan mendukung pelaksanaan WCCE berikutnya pada tahun 2020 di Uni Emirat Arab.


Sabtu, 03 November 2018

FOUR GLOBAL FORCES Breaking All Trends

https://www.mckinsey.com/business-functions/strategy-and-corporate-finance/our-insights/the-four-global-forces-breaking-all-the-trends

The four global forces breaking all the trends


By Richard Dobbs, James Manyika, and Jonathan Woetzel


The world economy’s operating system is being rewritten. In this exclusive excerpt from the new book No Ordinary Disruption, its authors explain the trends reshaping the world and why leaders must adjust to a new reality.

In the Industrial Revolution of the late 18th and early 19th centuries, one new force changed everything. Today our world is undergoing an even more dramatic transition due to the confluence of four fundamental disruptive forces—any of which would rank among the greatest changes the global economy has ever seen. Compared with the Industrial Revolution, we estimate that this change is happening ten times faster and at 300 times the scale, or roughly 3,000 times the impact. Although we all know that these disruptions are happening, most of us fail to comprehend their full magnitude and the second- and third-order effects that will result. Much as waves can amplify one another, these trends are gaining strength, magnitude, and influence as they interact with, coincide with, and feed upon one another. Together, these four fundamental disruptive trends are producing monumental change.

1. Beyond Shanghai: The age of urbanization

The first trend is the shifting of the locus of economic activity and dynamism to emerging markets like China and to cities within those markets. These emerging markets are going through simultaneous industrial and urban revolutions, shifting the center of the world economy east and south at a speed never before witnessed. As recently as 2000, 95 percent of the Fortune Global 500—the world’s largest international companies including Airbus, IBM, Nestlé, Shell, and The Coca-Cola Company, to name a few—were headquartered in developed economies.

By 2025, when China will be home to more large companies than either the United States or Europe, we expect nearly half of the world’s large companies—defined as those with revenue of $1 billion or more—to be headquartered in emerging markets. “Over the years, people in our headquarters, in Frankfurt, started complaining to me, ‘We don’t see you much around here anymore,’” said Josef Ackermann, the former chief executive officer of Deutsche Bank. “Well, there was a reason why: growth has moved elsewhere—to Asia, Latin America, the Middle East.”

Perhaps equally important, the locus of economic activity is shifting within these markets. The global urban population has been rising by an average of 65 million people annually during the past three decades, the equivalent of adding seven Chicagos a year, every year.

Nearly half of global GDP growth between 2010 and 2025 will come from 440 cities in emerging markets—95 percent of them small- and medium-size cities that many Western executives may not even have heard of and couldn’t point to on a map.

Yes, Mumbai, Dubai, and Shanghai are familiar. But what about Hsinchu, in northern Taiwan? Brazil’s Santa Catarina state, halfway between São Paulo and the Uruguayan border? Or Tianjin, a city that lies around 120 kilometers southeast of Beijing? In 2010, we estimated that the GDP of Tianjin was around $130 billion, making it around the same size as Stockholm, the capital of Sweden. By 2025, we estimate that the GDP of Tianjin will be around $625 billion—approximately that of all of Sweden.

2. The tip of the iceberg: Accelerating technological change

The second disruptive force is the acceleration in the scope, scale, and economic impact of technology. Technology—from the printing press to the steam engine and the Internet—has always been a great force in overturning the status quo. The difference today is the sheer ubiquity of technology in our lives and the speed of change. It took more than 50 years after the telephone was invented until half of American homes had one. It took radio 38 years to attract 50 million listeners. But Facebook attracted 6 million users in its first year and that number multiplied 100 times over the next five years. China’s mobile text- and voice-messaging service WeChat has 300 million users, more than the entire adult population of the United States. Accelerated adoption invites accelerated innovation. In 2009, two years after the iPhone’s launch, developers had created around 150,000 applications. By 2014, that number had hit 1.2 million, and users had downloaded more than 75 billion total apps, more than ten for every person on the planet. As fast as innovation has multiplied and spread in recent years, it is poised to change and grow at an exponential speed beyond the power of human intuition to anticipate.
Processing power and connectivity are only part of the story. Their impact is multiplied by the concomitant data revolution, which places unprecedented amounts of information in the hands of consumers and businesses alike, and the proliferation of technology-enabled business models, from online retail platforms like Alibaba to car-hailing apps like Uber. Thanks to these mutually amplifying forces, more and more people will enjoy a golden age of gadgetry, of instant communication, and of apparently boundless information. Technology offers the promise of economic progress for billions in emerging economies at a speed that would have been unimaginable without the mobile Internet. Twenty years ago, less than 3 percent of the world’s population had a mobile phone; now two-thirds of the world’s population has one, and one-third of all humans are able to communicate on the Internet.2Technology allows businesses such as WhatsApp to start and gain scale with stunning speed while using little capital. Entrepreneurs and start-ups now frequently enjoy advantages over large, established businesses. The furious pace of technological adoption and innovation is shortening the life cycle of companies and forcing executives to make decisions and commit resources much more quickly.

3. Getting old isn’t what it used to be: Responding to the challenges of an aging world

The human population is getting older. Fertility is falling, and the world’s population is graying dramatically. While aging has been evident in developed economies for some time—Japan and Russia have seen their populations decline over the past few years—the demographic deficit is now spreading to China and soon will reach Latin America. For the first time in human history, aging could mean that the planet’s population will plateau in most of the world. Thirty years ago, only a small share of the global population lived in the few countries with fertility rates substantially below those needed to replace each generation—2.1 children per woman. But by 2013, about 60 percent of the world’s population lived in countries with fertility rates below the replacement rate. This is a sea change. The European Commission expects that by 2060, Germany’s population will shrink by one-fifth, and the number of people of working age will fall from 54 million in 2010 to 36 million in 2060, a level that is forecast to be less than France’s. China’s labor force peaked in 2012, due to income-driven demographic trends. In Thailand, the fertility rate has fallen from 5 in the 1970s to 1.4 today. A smaller workforce will place a greater onus on productivity for driving growth and may cause us to rethink the economy’s potential. Caring for large numbers of elderly people will put severe pressure on government finances.

Have you explored our latest insights on the nine global forces business leaders must be aware of today?

Read “The global forces inspiring a new narrative of progress” (April 2017)

4. Trade, people, finance, and data: Greater global connections

The final disruptive force is the degree to which the world is much more connected through trade and through movements in capital, people, and information (data and communication)—what we call “flows.” Trade and finance have long been part of the globalization story but, in recent decades, there’s been a significant shift. Instead of a series of lines connecting major trading hubs in Europe and North America, the global trading system has expanded into a complex, intricate, sprawling web. Asia is becoming the world’s largest trading region. “South–south” flows between emerging markets have doubled their share of global trade over the past decade. The volume of trade between China and Africa rose from $9 billion in 2000 to $211 billion in 2012. Global capital flows expanded 25 times between 1980 and 2007. More than one billion people crossed borders in 2009, over five times the number in 1980. These three types of connections all paused during the global recession of 2008 and have recovered only slowly since. But the links forged by technology have marched on uninterrupted and with increasing speed, ushering in a dynamic new phase of globalization, creating unmatched opportunities, and fomenting unexpected volatility.

Resetting intuition

These four disruptions gathered pace, grew in scale, and started collectively to have a material impact on the world economy around the turn of the 21st century. Today, they are disrupting long-established patterns in virtually every market and every sector of the world economy—indeed, in every aspect of our lives. Everywhere we look, they are causing trends to break down, to break up, or simply to break. The fact that all four are happening at the same time means that our world is changing radically from the one in which many of us grew up, prospered, and formed the intuitions that are so vital to our decision making.
This can play havoc with forecasts and pro forma plans that were made simply by extrapolating recent experience into the near and distant future. Many of the assumptions, tendencies, and habits that had long proved so reliable have suddenly lost much of their resonance. We’ve never had more data and advice at our fingertips—literally. The iPhone or the Samsung Galaxy contains far more information and processing power than the original supercomputer. Yet we work in a world in which even, perhaps especially, professional forecasters are routinely caught unawares. That’s partly because intuition still underpins much of our decision making.
Our intuition has been formed by a set of experiences and ideas about how things worked during a time when changes were incremental and somewhat predictable. Globalization benefited the well established and well connected, opening up new markets with relative ease. Labor markets functioned quite reliably. Resource prices fell. But that’s not how things are working now—and it’s not how they are likely to work in the future. If we look at the world through a rearview mirror and make decisions on the basis of the intuition built on our experience, we could well be wrong. In the new world, executives, policy makers, and individuals all need to scrutinize their intuitions from first principles and boldly reset them if necessary. This is especially true for organizations that have enjoyed great success.
While it is full of opportunities, this era is deeply unsettling. And there is a great deal of work to be done. We need to realize that much of what we think we know about how the world works is wrong; to get a handle on the disruptive forces transforming the global economy; to identify the long-standing trends that are breaking; to develop the courage and foresight to clear the intellectual decks and prepare to respond. These lessons apply as much to policy makers as to business executives, and the process of resetting your internal navigation system can’t begin soon enough.
There is an urgent imperative to adjust to these new realities. Yet, for all the ingenuity, inventiveness, and imagination of the human race, we tend to be slow to adapt to change. There is a powerful human tendency to want the future to look much like the recent past. On these shoals, huge corporate vessels have repeatedly foundered. Revisiting our assumptions about the world we live in—and doing nothing—will leave many of us highly vulnerable. Gaining a clear-eyed perspective on how to negotiate the changing landscape will help us prepare to succeed.
This article is an edited excerpt from No Ordinary Disruption: The Four Global Forces Breaking All the Trends, (Public Affairs, May 2015). To learn more about it and order copies, please visit AmazonBarnes & Noble, or other leading bookstores.

About the author(s)