*How Millennials Kill Everything*
Judul tulisan ini adalah bakal judul buku yang kini idenya terus bergentanyangan di otak saya, yang membikin tiap malam saya kesulitan tidur. Mudah-mudah buku ini bisa keluar dalam 2-3 bulan ke depan. Kalau tidak, saya akan terus tersiksa insomnia hebat.
Coba googling dengan kata kunci “millennials kill”, maka Anda akan mendapati betapa milenial adalah “pembunuh berdarah dingin” yang membunuh apapun.
Di halaman pertama hasil pencarian Google saya menemui judul-judul menyeramkan seperti ini:
“RIP: Here Are 70 Things Millennials Have Killed”
“Things Millennials Are Killing in 2018”
“Millennials Kill Again. The Latest Victim? American Cheese”
“Millennials Are Killing the Beer Industry”
“How Millennials Will Kill 9 to 5 Job?”
Bahkan ada situs yang menulis:
“The Official Ranking of Everything Millennials Have Killed.”
Di dalamnya peringkat produk dan layanan yang paling cepat “dibunuh” oleh milenial. Ada dalam urutan peringkat itu produk-produk seperti: berlian di urutan 29; golf di urutan 23; department store di urutan 20; sabun batang di urutan 15; kartu kredit di urutan 10; dan bir di urutan 5.
Millennials Kill Everything New
Kenapa milenial bisa menjadi “pembunuh berdarah dingin” bagi begitu banyak produk dan layanan? Karena perilaku dan preferensi mereka berubah begitu drastis sehingga produk dan layanan tersebut menjadi tidak relevan lagi, alias punah ditelan zaman.
Contohnya golf. Tren dunia menunjukkan, sepuluh tahun terakhir viewership ajang-ajang turnamen golf bergengsi turun drastis setelah mencapai puncaknya di tahun 2015. Tahun lalu bahkan turun drastis 75%. Porsi kalangan milenial yang menekuni olahraga ini juga sangat kecil hanya 5%.
Olahraga elit ini memang digemari kalangan Baby Boomers dan Gen-X, namun tidak demikian halnya dengan milenial. Celakanya, semakin surut populasi Baby Boomers dan Gen-X, maka semakin tidak populer pula olahraga yang lahir sejak abad 15 ini. Dan bisa jadi suatu saat akan puhah.
Yang sudah kejadian sekarang adalah departement store. Tahun lalu kita menyaksikan departement store di seluruh dunia termasuk di Indonesia (Matahari, Ramayana, Lotus) pelan tapi pasti mulai berguguran.
Sumber penyebabnya adalah milenial yang bergeser perilaku dan preferensinya. Pertama karena mereka mulai berbelanja via online. Kedua, milenial kini tak lagi heboh berbelanja barang (goods), mereka mulai banyak mengonsumsi pengalaman (experience/leisure). Mereka ke mal bukan untuk berbelanja barang, tapi cuci mata, nongkrong dan dine-out mencari pengalaman penghilang stress.
Pasar properti beberapa tahun terakhir seperti diam di tempat. Alih-alih semua pelaku berharap ini hanya siklus “bullish-bearish” biasa yang nanti akan naik dengan sendirinya, saya curiga ini adalah kondisi “bearish berkelanjutan” sebagai dampak terbentuknya “new normal” perekonomian kita yang melesu dalam jangka panjang.
Mungkin biangnya bisa berasal dari pergeseran perilaku dan preferensi milenial. Beberapa kemungkinannya: Milenial mulai menunda nikah, menunda punya rumah, dan menunda punya anak. Belum lagi minimalist lifestyle yang kini banyak diadopsi milenial mendorong mereka memilih rumah ukuran mini.
Program KB yang sukses membuat late Baby Boomers dan Gen-X membentuk keluarga kecil dengan dua anak. Dengan jumlah anggota keluarga yang kecil, maka anak-anak mereka (milenial) cenderung menempati rumah orang tua dan sharing dengan sesama saudara. So, tak perlu beli rumah baru lagi. Ini yang menjadi biang kenapa market size properti cenderung mandek.
Tak hanya itu, tempat kerja pun nantinya pelan tapi pasti bisa “dibunuh” oleh milenial. Bagi Baby Boomers dan Gen-X bekerja rutin tiap hari masuk kantor dari jam 8 pagi sampai 5 sore (“8-to-5”) adalah sesuatu yang lumrah. Namun tak demikian halnya dengan milenial.
Milenial mulai menuntut fleksibilitas dalam bekerja. Bekerja di manapun dan kapanpun bisa asal kinerja yang dikehendaki tetap tercapai. Kini mereka mulai menuntut pola kerja: “remote working”, “flexible working schedule”, atau “flexi job”. Survei Deloitte menunjukkan, 92% milenial menempatkan fleksibilitas kerja sebagai prioritas utama.
Tren ke arah “freelancer”, “digital nomad” atau “gig economy” kini kian menguat. Kerja bisa berpindah-pindah: tiga bulan di Ubud, empat bulan di Raja Ampat, tiga bulan berikutnya lagi di Chiang May. Istilah kerennya: workcation (kerja sambil liburan).
Apa dampak dari millennial shifting tersebut terhadap kantor-kantor yang masih menerapkan working style ala Baby Boomers dan Gen-X? So pasti kantor-kantor jadul itu akan ditinggalkan angkatan kerja yang nantinya bakal didominasi milenial. Kantor itu akan punah dan melapuk.
Millennials will kill everything!!! So, hati-hati jangan sampai Anda sasarannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar