Senin, 30 Mei 2022

Doctot Strange Multiverse Learning

[Catatan Saya Belajar Psikologi & Neurosains #2]

*SPOILER ALERT*

Pada saat artikel ini ditulis, saya baru saja menonton film Dr. Strange 2 seminggu sebelumnya. Teman saya mengatakan bahwa film ini kurang berkesan superhero dan kurang memenuhi ekspektasinya, tetapi bagi saya film ini justru sangat menyenangkan untuk ditonton, terutama banyak sekali unsur-unsur absurd yang memantik imajinasi.

Dari film ini saya mendapatkan beberapa pembelajaran yang sangat relevan dalam kehidupan, terutama dari perspektif psikologi (sesuai dengan bidang keahlian saya), berikut ini beberapa pembelajaran yang saya temukan dalam film ini:

*1. Menolak kenyataan dapat menjerumuskan hidupmu.*

Masalah utama dalam film ini adalah Wanda yang tidak dapat menerima kenyataan bahwa Vision sudah meninggal dan ia tidak hidup bersama anak-anaknya. Hal ini membuat Wanda menggunakan kitab Darkhold yang meminta pengorbanan: jiwanya sendiri. Akhirnya Wanda berubah menjadi Scarlet Witch dan berusaha untuk mengambil kekuatan America Chavez (yang akan membunuh Chavez), supaya dapat berpindah ke universe lain dan hidup bersama anak-anaknya.

Gara-gara ini, Scarlet Witch telah membunuh banyak orang, bahkan para superhero di semesta lain pun dibunuh olehnya.

Lain cerita bila Scarlet Witch dapat menerima kenyataan sehingga tidak berusaha untuk berpindah ke semesta lain, mungkin huru-hara multiverse ini tidak perlu terjadi (tapi nanti Marvel Studio gagal dapat profit dong, hehehe).

Penerimaan terhadap kehidupan merupakan salah satu sikap yang penting untuk hidup bahagia dan sehat secara mental. Penerimaan (acceptance) seringkali dipahami membiarkan diri sendiri menderita, padahal bukan itu esensinya; sebaliknya, penerimaan justru mengakui bahwa pengalaman yang tidak menyenangkan itu ada tanpa berusaha untuk menyangkal atau mengubahnya.

Mengapa penerimaan ini penting?

Kita tidak mungkin bisa memiliki hidup yang 100% sesuai keinginan kita, dan bagaimanapun kita berusaha mencegahnya, akan selalu ada pengalaman yang tidak diharapkan yang hadir dalam hidup kita. Jika kita tidak dapat menerima pengalaman-pengalaman yang tidak diharapkan itu, maka dipastikan kita akan selalu terombang-ambing dengan kemarahan dan kecemasan. Masalahnya, memikirkan atau mencemaskan pengalaman yang tidak menyenangkan itu tidak akan mengubah kenyataan, sebab hal itu sudah terjadi.

Daripada kita menghabiskan energi untuk menolak kenyataan itu, lebih baik kita mencoba berdamai dengan situasi dan mengambil pembelajaran dari pengalaman ini.

Dalam psikologi, penerimaan merupakan strategi untuk meregulasi emosi kita ketika menghadapi masalah (Wojnarowska et al., 2020). Ketika kita berbicara tentang penerimaan, maka yang dimaksud adalah penerimaan seutuhnya, termasuk menerima emosi dan pemikiran kita sendiri terhadap pengalaman eksternal itu (Williams & Lynn, 2010).

Ada kenalan saya yang mengeluhkan kepada saya bahwa dia sudah belajar menerima, tetapi ia berkata bahwa kesedihan yang ia alami tetap terjadi. Saya katakan bahwa itu bukan menerima, sebab ketika kita mengharapkan emosi kita berubah dari sedih menjadi senang, maka itu sudah bukan penerimaan. Belajar menerima berarti menyadari emosi negatif kita yang muncul dan tidak berusaha untuk mengubahnya. Cukup kita sadari bahwa emosi negatif ini muncul karena kita belum mampu untuk menerima kenyataan, dan emosi negatif ini pun akan menghilang nantinya - sebab bukankah baik emosi positif maupun emosi negatif sesungguhnya hanya datang dan pergi?

Berharap emosi negatif untuk pergi dengan berusaha menerima, justru membuat kita semakin tidak menerima.

Penerimaan ini kemudian diadopsi menjadi sebuah terapi yang bernama "Acceptance and Commitment Therapy" (ACT) yang menggabungkan penerimaan dengan berkesadaran penuh (midnfulness). Misalnya kita bisa menyadari dan merenungkan tiga hal ini:

- Pemikiran ini muncul karena adanya sebab, maka dari itu ia juga akan berlalu,
- Perasaan ini muncul karena adanya sebab, maka dari itu ia juga akan berlalu,
- Sensasi ini muncul karena adanya sebab, maka dari itu ia juga akan berlalu.

Penerimaan juga bukan berarti bersikap toxic positivity, sebab kita tidak diminta untuk berpikir positif; kita hanya perlu menyadarinya apa adanya tanpa berusaha mengubahnya. Sadari sebagaimana adanya. Penerimaan juga bukan berarti menyerah dengan hidup. Sebaliknya, karena kita tahu ada situasi-situasi yang tidak dapat kita paksakan agar sesuai dengan keinginan kita, kita justru berusaha menyesuaikan diri untuk berdamai dengan kejadian itu agar tetap bisa melanjutkan hidup.

*2. Melarikan diri dari perasaan negatif juga bisa menjerumuskan hidupmu*

Ketika Dr.Strange berpindah ke semesta lain, ia bertemu dengan versinya di semesta itu, yang secara tidak formal disebut sebagai "Sinister Strange". Nah, Dr.Strange versi jahat ini ternyata juga sama seperti Wanda, ia menggunakan darkhold untuk mewujudkan keinginannya sehingga harus merugikan banyak orang.

Tetapi, untuk apa Dr.Strange versi semesta itu menggunakan darkhold?

Jika kita masih ingat di awal film, mantan kekasih Dr.Strange, yaitu Christine, akan menikah dengan pria lain. Strange nampaknya belum move on dan belum bisa menerima pernikahan itu, meskipun ia berusaha untuk tegar. Pada hari pernikahan Christine, ia bertanya kepada Strange, "Apakah kamu bahagia?"

Strange berusaha menjawab bahwa ia bahagia - yang ternyata hanyalah sebuah kebohongan. Di semesta lain, Strange akhirnya berusaha untuk memunculkan Christine dari versi yang lain agar dapat hidup bersamanya, yang akhirnya membuat ia harus menggunakan darkhold. Sialnya, hal itu justru menyebabkan incursion dan semestanya secara perlahan mengalami kemusnahan.

Mungkin kondisi semesta itu akan lain bila Strange bisa mengakui perasaan sedihnya dan menerima itu.

Dalam psikologi, kita tidak pernah diminta untuk menghindari emosi negatif secara total. Emosi negatif memang lebih banyak rugi daripada untungnya, tetapi bukan berarti tidak ada manfaatnya sama sekali; misalnya, emosi negatif justru bisa membantu kita untuk menjauhi hal-hal yang berpotensi merugikan kita (bayangkan kalau kita tidak bisa merasakan takut atau cemas, kita bisa saja melompat dari atas gedung tinggi hanya karena merasa penasaran dengan rasanya terbang).

Emosi negatif adalah hal yang alami terjadi dalam sistem psikologis kita. Berusaha mati-matian untuk menolak / melarikan diri dari emosi negatif justru hanya akan membuat kita berpikir pendek dan menggunakan cara-cara yang merugikan diri. Misalnya, meminum alkohol dalam jumlah besar sebagai pelarian dari perasaan sedih.

Menariknya, kemampuan untuk menerima emosi negatif justru membuat mental kita semakin sehat (Campbell-Sills et al., 2006). Berusaha untuk terus-menerus menolak emosi negatif justru akan membuat kita semakin frustrasi, karena hal itu adalah hal yang tidak mungkin; dan alih-alih membuat kita merasa semakin baik, justru usaha ini hanya membuat kita semakin merasa buruk.

Lalu apa yang harus kita lakukan ketika mengalami emosi negatif?

Menerima dan menyadarinya. Jika kita sedang merasa sedih, kita perlu mengakui dan menerima bahwa kita memang sedang merasa sedih. Setelah bisa menerimanya, maka kita bisa bertanya kepada diri sendiri, apa pesan yang hendak disampaikan oleh emosi negatif ini?

Sebagai contoh:
- emosi takut memberi tahu kita bahwa ada bahaya di depan mata yang harus dihindari,
- emosi cemas memberi tahu kita bahwa ada kemungkinan bahaya muncul di masa depan sehingga harus diantisipasi,
- emosi sedih memberi tahu kita bahwa ada hal yang berjalan tidak sesuai keinginan dan kita perlu menerimanya,
- emosi marah memberi tahu kita bahwa kita perlu melindungi diri, dan sebagainya.

(NB: meskipun marah atau cemas itu mengandung pesan, tetapi bukan berarti kita harus membiarkan diri marah-marah atau cemas secara berlebihan).

Lagi-lagi, bayangkan kalau Dr.Strange bisa menerima kenyataan bahwa Christine lebih memilih laki-laki lain untuk dinikahi, mungkin semestanya tidak perlu hancur. Lagipula, di Marvel versi komik, Strange akan menemukan kekasih lain setelah Christine menikah. Ternyata tidak seburuk yang dibayangkan, toh?

*3. Mensyukuri kondisi saat ini adalah yang terbaik.*

Bagian favorit saya dari film ini adalah bagian terakhir, ketika Dr.Strange bertanya kepada Wong, "Apakah kau bahagia?"

Dan pertanyaan ini dijawab Wong dengan begitu baik, "Kadangkala aku memikirkan tentang diriku di semesta lain, tetapi aku tetap bersyukur dengan semesta ini. Bahkan dengan kesulitannya sekalipun."

Jawaban dari Wong ini memberi pesan bahwa kita perlu belajar untuk menerima dan mensyukuri kondisi kita saat ini.

Bersyukur dapat diartikan sebagai sikap menghargai hal-hal baik yang sudah terjadi dalam hidup kita. Hal ini diperlukan sebab kita kerap lebih mengingat kejadian-kejadian buruk daripada yang baik. Neurosains menemukan bahwa emosi negatif seperti rasa takut dan cemas memicu peningkatan aktivitas di bagian otak yang berkaitan dengan ingatan. Adalah Elizabeth Kensinger (2007) dari Boston College yang melakukan pemindaian menggunakan functional magnetic resonance imaging (fMRI) dan menemukan bahwa ketika seseorang mengalami emosi negatif, aktivitas di otak bagian pemrosesan emosi seperti orbitofrontal cortex dan amigdala memiliki korelasi yang lebih kuat dengan hipokampus - bagian otak yang mengatur ingatan - daripada ketika seseorang sedang mengalami emosi positif atau netral. Penelitian ini menyimpulkan bahwa kita akan lebih mudah merekam dan mengingat kembali kejadian negatif dengan detil yang lebih baik, dibandingkan dengan kejadian yang menyenangkan atau netral.

Penelitian Ini menunjukkan fakta bahwa kita ternyata lebih mudah menderita daripada bahagia. Jika ada dua hal yang terjadi secara seimbang, yaitu kejadian menyenangkan dan tidak menyenangkan, maka otak kita akan lebih memilih untuk mengingat kejadian yang tidak menyenangkan itu. Bukankah ini menjadi tidak adil?

Hal inilah yang kemudian membuat kita membutuhkan rasa syukur. Bersyukur bukan berarti menipu diri merasa seolah-olah bahagia, karena memang bukan itu definisi dari bersyukur. Bersyukur artinya menyadari bahwa ada hal baik yang muncul dalam hidup ini, dan dengan demikian menyeimbangkan pikiran kita yang lebih mudah menyadari konten-konten bermuatan emosi negatif.

Maka tidak heran bahwa psikologi menyarankan kita untuk bersyukur. Seligman dan koleganya (2005) memberi tugas pada sekitar 400 orang partisipan untuk mencatat 3 hal baik yang terjadi setiap hari selama 15 hari. Percobaan ini menemukan bahwa 94% dari partisipan mengalami peningkatan emosi positif setelah melakukan praktik tersebut. Praktik ini kemudian dinamakan sebagai "three good things" (tiga hal baik). Kita dapat melakukannya juga dengan langkah-langkah berikut:

1. Pikirkan tiga hal yang berjalan baik hari ini,
2. Catat dalam kertas (atau diketik di ponsel), lalu
3. Renungkan mengapa hal baik ini bisa terjadi.

Praktik ini merupakan praktik untuk melatih rasa syukur kita, yakni dengan mengingat kembali hal baik yang sudah terjadi (sesuatu yang seringkali kita abaikan begitu saja).

Bersyukur sama sekali tidak sama dengan toxic positivity. Bersyukur tidak memaksa kita untuk menolak emosi negatif. Kita hanya perlu mengingat hal-hal baik, tanpa mengabaikan bahwa hal buruk memang terjadi; kita hanya memilih untuk fokus pada hal baik saja. Selain itu, kita harus mensyukuri hal baik yang benar-benar terjadi, bukan memaksakan diri untuk pura-pura positif. Dan ada satu catatan yang selalu saya ajarkan kepada mahasiswa saya di kelas: bersyukurlah terhadap hal baik yang memang terjadi, dan jika kamu memang sedang benar-benar sedih, jangan dipaksakan untuk mencari sisi positifnya. Terima dan sadari saja dulu.

Maka di sini Wong mengajarkan meskipun terdapat kesulitan dan ketidakpuasan dalam semestanya ini, ia tetap mensyukurinya. Jadilah seperti Wong.

*Penutup*

Dari film ini, kita bisa belajar bagaimana penerimaan atas hidup dan emosi bisa berperan besar terhadap hidup kita. Jika di film Dr.Strange ketidakmampuan untuk menerima dapat mendorong seseorang untuk mencari semesta lain, di dunia nyata mungkin tidak seperti itu; alih-alih memunculkan semesta lain, jangan-jangan justru memicu kita untuk berhalusinasi atau berdelusi?

Apa yang sudah terjadi tidak dapat diubah kembali. Jika kita tidak sengaja menanak nasi terlalu lama sehingga menjadi bubur, jangan menangisinya; beri saja daun seledri, suwiran daging ayam, dan kecap manis - rasanya tetap enak meskipun bukan nasi.

Sekian.

Jakarta, 29 Mei 2022

Referensi:
1. Wojnarowska, A., Kobylinska, D., & Lewczuk, K. (2020). Acceptance as an emotion regulation strategy in experimental psychological research: What we know and how we can improve that knowledge. Frontiers in Psychology, 11:242.
2. Williams J.C., & Lynn S.J. (2010). Acceptance: an historical and conceptual review. Imagination Cognition and Personality, 30(1), pp.5–56. 10.2190/IC.30.1.c 
3. Campbell-Sills, L., Barlow, D. H., Brown, T. A., & Hofmann, S. G. (2006). Effects of suppression and acceptance on emotional responses of individuals with anxiety and mood disorders. Behaviour Research and Therapy, 44, 1251–1263. http://dx.doi.org/10.1016/j.brat.2005.10.001.
4. Kensinger, E.A. (2007). Negative emotion enhances memory accuracy: Behavioral and neuroimaging evidence. Current Directions in Psychological Science, 16(4), pp.213-218.
5. Seligman, M. E., Steen, T. A., Park, N., & Peterson, C. (2005). Positive psychology progress: Empirical validation of interventions. American Psychologist, 60(5), 410-421.

Selasa, 17 Mei 2022

15 Jobs You Eill Be Recruiting in 2030

15 Jobs You’ll Be Recruiting for in 2030

Authored byBruce M. Anderson (he-him)

Content Marketer / Editor / Writer

May 16, 2022

Many of the jobs that today’s students will be doing in 2030 haven’t been invented yet. The big question for talent acquisition teams everywhere: What will those jobs be?

It turns out that many of these jobs will spin off from technologies that are emerging today — drones, alternative energy, autonomous cars, and cryptocurrencies and blockchain developments, for starters.

We looked into our crystal ball — and around the web — and here are 15 of the most intriguing (and perhaps far-fetched) jobs you may be recruiting for in the not-so-distant future:

1. Organ creator

The New Zealand–based website Crimson Education speculates that the shortage of transplantable organs will, eventually, lead scientists to create organs and body parts from stem cells and other materials, including some that may not even exist yet. Recruiters will be searching for candidates with a background in molecular biology, tissue engineering, or biomedical engineering.

2. Augmented-reality journey builder

Starting with notions developed in Total Recall (memory implants of vacations) and Westworld (an android-staffed amusement park), AR journey builders will allow customers to experience virtually anything they wish. The AR journey builders will, according to Cognizant’s 21 Jobs of the Future, “design, write, create, calibrate, gamify, build, and — most importantly — personalize the next generation of mind-blowing stories and in-the-moment vignettes” for well-heeled clients. The position will demand a film school degree as well as experience with massively multiplayer online role-playing games.

3. Metaverse planner

Ironically, some of the first jobs created by the metaverse are brick-and-mortar retail jobs — Meta opened a California store in early May to hawk VR and AR gear. Down the road, of course, the metaverse will not only augment reality, it will augment the LinkedIn list of in-demand jobs. And one of those roles will be metaverse planner. 

4. Biofilm installer

Biofilms — collections of microbial cells attached to wet surfaces — are icky, sticky, and tricky. They are literally slime and pond scum and the source of 80% of microbial infections. But they are also a remarkable tool for sewage treatment, oil spill cleanup, and generating power. “By coating certain surfaces in the bathroom and kitchen of homes, they will become key tools for environmentally friendly buildings,” says the Canadian Scholarship Trust (CST), which also sees a big role for biofilm installers in “retrofitting smart, energy-efficient buildings.” It’s possible that biofilm installers will fit showers with microbes that attack bathroom mildew or, more broadly, equip homes with a living organism to process the garbage.

5. Earthquake forecaster

Many of the jobs on this list would have been inconceivable even a few years ago, but the role of earthquake predictor has been a job of the future for at least 50 years. In the 1970s, many scientists said that accurate, timely earthquake prediction was just around the corner. Five decades later, that’s where it remains — just around the corner. But an acceleration of machine learning applied to seismology in recent years has also accelerated hopes that businesses and governments might be hiring forecasters soon. Clearly, a background in geology and geophysics will come in handy, but so might a little abracadabra.

6. Makeshift structure engineer

The days (not so long ago) of using 3D printing to create keychains and Yoda heads have been replaced by the technology being employed to produce prosthetic hands and prototypes of jet engines. In the future, makeshift structure engineers will deploy 3D printing to construct temporary buildings for those in need after natural disasters or armed conflict (can’t we manage to get rid of that by 2030?). “3D printing will be able to print the parts needed to create small housing units, similar to trailers, in several hours or days, so that they can be assembled quickly for those in need,” CST says. Makeshift structure engineers will have a background in industrial design and structural engineering.

7. Algorithm bias auditor

Algorithms drive much of 21st-century life, from the musical choices put forth by Spotify to the dating options offered by Tinder. The contemporary hiring process — from which postings are teed up to job seekers to which candidates an ATS serves up to recruiters — is also powered by them. “[G]iven the increasing statutory scrutiny on data,” says the World Economic Forum, “it’s a near certainty that when it comes to how they’re built, verification through audits will help ensure the future workforce is also the fair workforce.” Algorithm bias auditors will have a background in computer science or data analytics.

8. Rewilder

These are the radical transformers who will potentially turn a concrete jungle into a green belt. Rewilders will focus on undoing the blight of two centuries of industrial revolution, replacing aging factories and unneeded buildings, roads, and fences with forests and native species. Rewilders will likely have a background in agriculture, wildlife management, and environmental science.

9. Human-machine teaming manager

There may be no other position that puts its occupant in the middle of the future of work quite the way the role of human-machine interface manager does. “As a man-machine teaming manager,” Cognizant says, “you will identify tasks, processes, systems, and experiences that can be upgraded by newly available technologies and imagine new approaches, skills, interactions, and constructs. You will define roles and responsibilities and set the rules for how machines and workers should coordinate to accomplish a task.” Requirements? Recruiters will be searching for candidates with a background in experimental psychology or neuroscience paired with work in computer science, engineering, or HR.

10. Digital currency advisor

With the soaring interest in cryptocurrencies such as Bitcoin, Litecoin, and Ethereum, investors now have enormous opportunities — and potential exposure — in unregulated financial instruments. “Digital currency advisors,” CST says, “specialize in these currencies and show people how to manage their wealth by using the right balance of systems.” Digital currency advisors will have backgrounds in accounting, financial management, and data security — but probably not professional basketball (as called out in this TV ad with Stephen Curry).

11. Drone traffic optimizer

Once a novelty, drones today are filming our movies and fighting our wars, policing our neighborhoods, and delivering our packages (well, that’s the plan anyway). In another decade or so, they will be everywhere. And someone will need to oversee their flight paths so they don’t begin to wreak complete havoc. In the United States, NASA and the FAA are working on this issue at a national level. The drone traffic optimizers will handle at a local level.

12. Autonomous car mechanic

The coming lines of autonomous cars from companies such as Tesla, Waymo, GM, Hyundai, Cruise, Pony.ai, and Ford will drive themselves. But they won’t repair themselves. And the mechanics who will care for cars will combine an old-fashioned love of tinkering with a cutting-edge understanding of technology. Mr. Goodwrench meets Watson.

13. Smart home design manager

The Home of Tomorrow was once a world’s fair staple. But now that future has arrived and current homes can control their own lighting, temperature, and security. “The rise of smart home design managers,” says the World Economic Forum, “will boom as homes are built — or retrofitted — with dedicated home office spaces, replete with routers in the right place, soundproofing, separate voice-driven entrances.” These managers will be “home-schooled” with advanced degrees in AI, robotics, and residential architecture.

14. Agile supply chain worker

In a global and online economy, businesses will increasingly need to respond in real time to fluctuations in both supply (where can I get parts faster, cheaper, of better quality?) and demand (why the sudden interest for our product in Southeast Asia?). “[C]ompanies need people who constantly scout out new sources for materials and components and connect company supply lines on the fly to keep costs low and turnaround fast,” says CST. Recruiters will look for candidates who’ve studied supply chain management and logistics at business school. Military veterans with experience in SCM will also be high in demand.

15. Trash engineer (aka, Garbage designer)

Humans, according to the United Nations, produce over 2 billion tons of garbage each year. And we’re running out of places to stash our trash. But to those who say there’s no way out of this mess, our future trash engineers say, “Rubbish!” The Thrillist weighs in: “Garbage designers . . . will be charged with coming up with clever methods to upcycle trash on a large scale, and manufacturers of everything from toys to clothes to furniture will hire them to find more efficient ways to use and reuse their byproducts.” A background in materials science and industrial design will be needed for those who dream of nothing less than cleaning up the world.

Final thoughts: Jobs of the future have never looked so good