Ini satu lagi buat pembelajaran politik.
*MEMBONGKAR BERBAGAI TUDINGAN TERHADAP PSI*
Belum lama ini, ada tulisan WA yang disebar secara masif berjudul *PSI, teganya engkau* yang sebagian isinya diambil dari situs https://www.law-justice.co/membedah-isi-jeroan-partai-solidaritas-indonesia. Saya ingin membahas satu demi satu tudingan dalam tulisan tersebut. Tulisan ini diawali dengan pembahasan mengenai Ketua Dewan Pembina PSI, Jeffrie Geovani (JG), sebagai ‘politikus oportunis kutu loncat yang suka gonta-ganti partai’.
Pertanyaannya; apa masalahnya dengan orang yang pernah berpindah-pindah partai ? Secara hukum, tentu tidak ada larangan. Secara moral, tunggu dulu. Label oportunis dan kutu loncat bagi JG adalah hal yang terburu-buru. Dalam jagad perpolitikan Indonesia, politisi kutu locat dan oportunis biasanya disematkan pada seseorang yang berpindah-pindah partai karena ingin menduduki jabatan publik tertentu.
Faktanya, JG hanya sekali menduduki jabatan publik yang berkaitan dengan parpol. Yaitu menjadi Anggota DPR periode 2009 – 2014. Kemudian mengundurkan diri di tahun 2012. Kemudian, JG terpilih sebagai anggota DPD periode 2014 – 2019. Lalu mengundurkan diri di tahun 2018 karena ingin berkonsentrasi merawat istrinya yang menderita kanker paru dan tumor otak. Tentunya, anggota DPD adalah jabatan perseorangan, tidak ada hubungannya dengan parpol. Oleh karena itu, vonis oportunis dan kutu loncat tidak pantas disematkan pada dirinya. *Belum lagi, rekam jejaknya sebagai politisi jelas bersih*
Jika ditelisik lebih dalam, karir JG justru lebih sebagai aktivis kemanusiaan. Pada tahun 2002, JG mendirikan Maarif Institute, sebuah NGO yang aktif mengkaji masalah kebudayaan dan kemanusiaan. Selain itu, beliau juga mendirikan The Indonesian Institute di tahun 2004, sebuah lembaga riset kebijakan publik. Belum lagi, beliau juga adalah salah satu dewan penasehat di CSIS dan Wakil Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik PP Muhammdiyah. Namun, deretan peran JG sebagai aktivis kemanusiaan ini dinihilkan sama sekali. Berganti sekadar ‘politikus kutu loncat yang suka gonta-ganti partai’.
Silahkan cek berbagai fakta ini dalam link berikut:
http://maarifinstitute.org/profil/#toggle-id-3
https://www.theindonesianinstitute.com/dewan-penasehat/
https://id.wikipedia.org/wiki/Jeffrie_Geovanie
Selain itu, tulisan ini juga menuding bahwa JG adalah pemilik SMRC, lembaga survey dan konsultan politik, di mana Ketua Umum PSI, Grace Natalie, pernah menjadi CEO lembaga itu. Jadi, lanjut tulisan itu, Grace adalah buruh JG di SMRC. Kemudian, entah dengan logika apa, tulisan ini membahas kekalahan Ahok – Djarot yang dituding menggunakan konsultan SMRC, lalu lompat ke Elektabilitas Jokowi – MA yang unggul pada Survei SMRC untuk meninabobokan pendukung 01, lompat lagi ke perolehan suara Jokowi – JK di Sumbar yang jeblok pada pemilu 2014. Selain ini adalah sebuah tudingan ‘cocokologi’ yang dipaksakan, penulisnya lah yang sebenar-benarnya kutu loncat. Setidaknya, dalam berpikir.
Pertama, JG bukanlah pemilik SMRC. Jadi, Grace jelas bukanlah buruh JG. Kedua, yang memperidiksi kemenangan Ahok-Djarot di DKI bukan hanya SMRC, namun hampir semua lembaga survey. Jawaban yang sama untuk elektabilitas Jokowi-JK yang unggul, bukan hanya pada Survey SMRC. Ketiga, suara Jokowi yang jeblok di Sumbar bukan karena JG, karena secara kultur politik dan sejarah memang demikian. Bahkan, survey-survey terakhir mengenai kepuasan kinerja dan elektabilitas Jokowi sampai dengan hari ini beliau belum unggul. Memangnya punya kesaktian apa seorang JG bisa memobilisasi orang minang untuk tidak memilih Jokowi ? Bupati bukan, Walikota bukan, Gubernur apalagi.
Kemudian, tulisan itu juga membahas mengenai Sunny Tanuwidjaja, Sekretaris Dewan Pembina PSI. Dengan ilmu cocokologi seadanya yang sama, tulisan ini memframing mantan staf Basuki Tjahaja Purnama itu sebagai jembatan PSI mendapatkan pundi-pundi dana untuk mendirikan partai. Sunny memang sudah ada sejak awal pembentukan PSI, jauh sebelum dirinya dipanggil berkali-kali oleh KPK sebagai saksi dan pada akhirnya tidak terbukti sebagai aktor dalam kasus suap reklamasi.
Penulis WA tersebut menganggap masyarakat Indonesia mudah dibodohi. Dengan logika serampangan, penulis menframing seolah dipanggil sebagai saksi oleh KPK sama dengan ikut melakukan tindak pidana korupsi. Jika demikian, apa kabar dengan Pak JK, Pak Boediono, Mahfud MD, serta tokoh lainnya yang pernah bersaksi di KPK ?
Selain itu, sebagaimana juga JG, nama Sunny sudah beredar sejak lama dalam dokumen pendirian PSI ke suluruh Indonesia. PSI pun tidak pernah menutupi keberadaan Sunny dan JG. Mengapa baru dipermasalahkan sekarang ? Jelas ini adalah ulah politisi lama yang mungkin resah dengan keberadaan PSI.
Silahkan cek berbagai fakta ini dalam link berikut:
https://psi.id/dewan-pembina/
ttps://www.cnnindonesia.com/nasional/20180228144555-32-279421/kontroversi-sunny-staf-ahok-yang-jadi-petinggi-psi
https://nasional.tempo.co/read/1066080/grace-natalie-bicara-soal-sunny-tanuwidjaja-di-dewan-pembina-psi/full&view=ok
https://www.merdeka.com/khas/peran-sunny-di-tubuh-psi.html
https://news.detik.com/berita/d-3889743/psi-kasus-sunny-tidak-menghentikan-sikap-antikorupsi-kami
https://nasional.tempo.co/read/809825/kpk-akhirnya-cabut-status-cegah-sunny-dan-anak-aguan
Terakhir, tulisan WA itu juga berupaya memframing bahwa PSI sedang memecah suara pendukung 01. Karena dalam pidato Ketua Umum PSI, Grace Natalie di Medan (11/03), yang mempertanyakan komitmen partai nasionalis yang irit berbicara, bahkan bungkam terhadap berbagai kasus dan praktik intoleransi di Indonesia.
Buat saya, Pidato Grace Natalie, Ketua Umum PSI, pada Festival 11 sungguh spektakuler. Pidato itu jelas menggugat beberapa hal yang selama ini absen dalam keriuhan pemilu 2019. Pertama, PSI menggugat kesadaran publik bahwa sebenarnya peserta pemilu bukan hanya pasangan capres dan cawapres, namun juga partai politik. Untuk itu, penting bagi kita mengetahui seperti apa ide, gagasan dan program tiap-tiap parpol untuk Indonesia ? Siapa caleg-calegnya ? Bagaimana latar belakangnya ?
Partai politik jangan hanya sekadar tempat kumpul-kumpul dukung presiden, bikin ramai surat suara, bahkan mengotori ruang publik dengan spanduk, baliho, poster dan berbagai alat peraga kampanye lainnya.
Buktinya, dalam masa kampanye yang tinggal menghitung hari. Namun, saya belum pernah tuh mendengar seperti apa ide, gagasan dan program partai-partai lain. Maka, wajar jika Grace menuntut adanya Debat Partai Politik.
Kedua, gugatan PSI ditujukan secara khusus kepada partai - partai yang mengaku nasionalis lainnya. Fakta menohok pada studi Michael Buehler, The Politics of Shari'a Law, menyatakan bahwa ternyata PDIP dan Golkar adalah partai politik yang paling getol mengadopsi perda syariah.
Sungguh fakta, yang bagi saya setidaknya, sangat mengejutkan. Bukan hanya karena ketidaktahuan saya selama ini, namun juga keberanian luar biasa dari sebuah partai baru yang lantang menggugat kebisuan partai mapan, sekaligus menegaskan posisinya terhadap isu intoleransi.
Di berbagai grup WA saya, ada beberapa orang yang bilang bahwa pidato Grace ini dianggap MEMBAHAYAKAN KOALISI JOKOWI. Lho, bukankah membiarkan parpol, sebagai peserta pemilu, bersembunyi tanpa gagasan di balik bisingnya dukungan pilpres justru membahayakan kualitas demokrasi kita ? Selain itu, PSI adalah partai yang justru dinyatakan paling loyal dan konsistenm dalam mendukung Jokowi, dengan mudah kita dapat melihatnya di berbagai media sosial PSI.
Silahkan cek berbagai fakta ini dalam link berikut:
https://nasional.kompas.com/read/2019/03/14/15405961/psi-tanggapi-reaksi-sejumlah-parpol-terhadap-pidato-grace-natalie
https://www.jpnn.com/news/survei-index-pdip-psi-paling-loyal-ke-jokowi-prabowo
http://poskotanews.com/2019/02/13/pdi-p-dan-psi-paling-loyal-kepada-jokowi-amin/
Silahkan cek link berikut untuk pidato Ketua Umum PSI :
https://psi.id/berita/2019/03/11/beda-kami-psi-dengan-partai-lain/
Terakhir, saya bukanlah kader PSI. Namun, saya pernah datang dua kali ke kantor DPP PSI pada acara diskusi. Pertama, diskusi dengan tema ‘Meninjau Ulang Kembali Pasal Penodaan Agama’ dalam merespons kasus yang menimpa Meilana di Tanjung Balai. Kedua, mengenai “Sekolah Minggu di RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan”.
Saya terkesan karena mereka begitu berani mengambil risiko menggelar diskusi dengan tema-tema tersebut. Sementara, partai-partai lain yang mengklaim diri mereka sebagai partai nasionalis jangankan menggelar diskusi, berkomentar pun irit.
Untuk itu, saya merasa semakin yakin bahwa di DPR nanti perlu ada banyak kursi bagi partai nasionalis yang dengan sungguh-sungguh memperjuangkan kepentingan berbagai elemen bangsa, bukan hanya demi efek elektoral. PSI bisa diharapkan.
*Adhicandra Agustinus*
*Pemerhati Sosial dan Aktivis Keberagaman*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar