How Millennials Kill Kitchen
by yuswohady
Pertengahan tahun 2018 UBS, bank investasi asal Swiss, mengeluarkan studi yang sangat mencengangkan dengan judul menyengat: “Is the Kitchen Dead?”
Dari studi tersebut UBS memunculkan skenario bahwa di tahun 2030 hampir seluruh makanan yang kini dimasak di rumah akan dipesan secara online oleh perusahaan semacam UberEats (Go Food kalau di sini) dan dikirimkan melalui restoran atau dapur terpusat (central kitchen) terdekat.
Kalau demikian adanya, simpul UBS, ini adalah pertanda “kematian” dapur dan aktivitas memasak di rumah.
Dan biang dari itu semua, simpul UBS lagi, adalah: milenial.
Cover Millennials Kill Everything
Milenial adalah lazy generation alias generasi termalas dalam sejarah umat manusia karena dimanjakan oleh beragam apps yang memudahkan kehidupan mereka, termasuk dalam hal memesan makanan melalui online delivery. Mereka adalah generasi yang convenience-seeker.
Mereka paling hobi nonton HBO atau sepak bola Premiere Leaque di rumah via Netflix sambil memesan makanan via GoFood. Dan faktanya milenial tiga kali lebih sering dalam memesan makanan via online delivery ketimbang orangtuanya. Tak hanya itu, food delivery apps adalah 40 besar apps yang paling banyak diunduh oleh milenial saat ini.
Baca juga: Bagaimana Milenial Mendisrupsi Tempat Kerja?
Ramalan UBS penjualan online food delivery akan naik pesat dengan pertumbuhan lebih dari 20% setiap tahunnya sehingga menjadi $365 miliar (lebih dari Rp 5000 triliun) di tahun 2030 dari sekitar $35 milar tahun lalu.
Ada empat faktor yang mendorong terjadinya online food delivery boom ini di masa-masa mendatang. Pertama adalah murahnya upah koki sebagai akibat munculnya tren gig economy atau freelancer economy.
Kedua, bermunculannya apa yang disebut “dark kitchen” yaitu restoran yang beralih fungsi hanya sebagai dapur untuk layanan online food delivery seperti gerai Pizza Hut Delivery (PHD). Operasi dark kitchen ini jauh lebih efisien dari full service restaurant.
Ketiga, kemajuan teknologi artificial intelligence (AI) dan robotic memungkinkan burger atau salad diolah secara otomasi oleh robot. Penggunaan robot untuk memasak tak hanya menekan biaya serendah mungkin tapi juga memangkas tajam waktu memasak dan penyajian makanan.
Keempat, food delivery dengan menggunakan drone bakal mencapai critical mass digunakan oleh perusahaan online food delivery. Dampaknya, biaya dan waktu pengiriman akan kian terpangkas lagi.
Kalau keempat hal itu terjadi, maka hitung-hitungan keekonomiannya sederhana: ketika memasak di rumah menjadi lebih mahal, lebih lama, dan lebih ribet dibanding memesannya via online, maka bisa ditebak bahwa dapur dan aktivitas memasak di rumah pada akhirnya akan punah “dibunuh” oleh milenial.
Tren ini menarik kalau ditambah hasil survei dari porch.com yang menemukan bahwa milenial adalah generasi yang paling tidak konfiden di dapur. Menurut survei tersebut, kemampuan memasak milenial adalah yang terendah dibandingkan Gen-X dan Baby Boomers.
Hanya 5% milenial yang memiliki kualifikasi kemampuan memasak “sangat bagus” dibandingkan Baby Boomers yang mencapai 12,5%.
Mereka adalah generasi yang paling rendah dalam hal kemampuan memasak sederhana seperti memasak ayam, brokoli, atau telur. Tak sampai separuh dari mereka yang bisa memasak sayur dan daging.
Dalam survei tersebut porch.com melakukan “tes IQ memasak” untuk mengukur “kecerdasan memasak” seseorang. Hasilnya, Baby Boomers memiliki skor IQ memasak 10% lebih tinggi dari milenial.
Apa yang terjadi kalau dapur sudah tidak dibutuhkan lagi?
Yang jelas nantinya akan banyak rumah didesain tanpa dapur atau rumah dengan dapur minimalis. Tak hanya itu, produsen peralatan dapur seperti Maspion dan home appliances seperti lemari es Sharp akan terkena dampaknya. Produsen makanan dan bumbu seperti Royco, Kecap ABC, margarin Blue Band, atau minyak goreng Bimoli juga akan terimbas.
Apakah betul dapur dan memasak di rumah akan punah dibunuh milenial seperti prediksi UBS, mari kita tunggu datangnya tahun 2030.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar