https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20180829212832-532-326026/faisal-basri-sebut-ekonomi-jokowi-macam-parkir-bus-mourinho
Untuk memulihkan defisit transaksi berjalan, pemerintah mengeluarkan beberapa strategi pertahanan. Mulai dari membatasi impor 900 komoditas, meningkatkan produksi biodiesel 20 persen (B20), meminta eksportir memulangkan devisa hasil ekspor, menumbuhkan ekspor, hingga menggenjot sektor pariwisata.
Sayang, menurut Faisal, strategi pemerintah kurang tepat karena lebih banyak bertahan, sedangkan strategi menyerang melalui upaya peningkatan ekspor tidak dipersiapkan dengan matang.
Menurutnya, bila pemerintah kekeh menggunakan strategi bertahan, maka pemerintah hanya akan mampu menahan defisit transaksi berjalan agar tak kian lebar, tetapi tak mampu menurunkan defisit tersebut. Apalagi, tingkat kebobolan ekonomi Tanah Air itu sudah kian besar.
"Tidak ada klub sepak bola yang juara kalau kebobolannya paling banyak. Liga Spanyol, yang juara bukan Atletico Madrid, tapi Barcelona. Liga Inggris, juaranya bukan Tottenham Hotspurs, tapi Manchester City. Jadi tidak akan menang kalau defense terus," katanya mengibaratkan.
Di sisi lain, strategi pertahanan dengan membatasi impor kurang tepat karena berpotensi mendapat balasan dari negara lain, misalnya sanksi retaliasi atau balasan serupa. "Lagipula masa menentukan apa yang boleh dipakai dan tidak, ini bukan negara komunis. Sedangkan subtitusi produk impor ke dalam negeri, itu butuh waktu," jelasnya.
Faisal menilai langkah jor-joran meningkatkan ekspor jauh lebih berdampak pada pemulihan defisit transaksi berjalan, ketimbang membatasi impor. Pasalnya, pembatasan impor hanya mengurangi devisa yang dibutuhkan untuk pembayaran. Namun, ekspor mendatangkan devisa baru bagi Tanah Air.
Menurutnya, pemerintah dapat meningkatkan ekspor dengan mencari industri baru sebagai penyerang utama atau striker, misalnya memaksimalkan industri makanan dan minuman (mamin) dan farmasi. Sebab, sektor industri andalan yang dulu, misalnya yang berorientasi sumber daya alam, seperti perkebunan dan pertambangan sedang melemah.
Selain mencari opsi baru industri yang bisa diandalkan untuk meningkatkan ekspor, pemerintah juga harus ambisius menggenggam pasar ekspor baru, misalnya negara-negara non tradisional, seperti Afrika Selatan dan Asia.
Caranya, dengan tidak hanya terpaku pada pandangan untuk menjual, namun membeli hasil industri dari negara lain yang bisa dijual kembali ke negara lain. Ia menyontohkan, misalnya dengan meningkatkan penetrasi pasar farmasi ke Kamboja.
Ia bilang, Kamboja kerap menyerap hasil produksi farmasi dari Indonesia. Namun, mungkin kalau ditingkatkan, Kamboja tidak punya uang yang cukup. Hanya saja, hal ini bisa disiasati dengan menukar produk farmasi Indonesia dengan produk lain dari Kamboja.
"Misalnya mereka punya apa, itu bisa diambil. Kalau pun Indonesia tidak butuh produk itu, tinggal instruksikan PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) untuk ambil dan jual lagi ke negara lain," katanya.
Cara lain, dengan memaksimalkan para atase perdagangan dan Duta Besar (Dubes) Indonesia di luar negeri. "Seingat saya, diawal pemerintahannya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah perintahkan itu agar Dubes bekerja, tapi hasilnya mana?" pungkasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar