Analisis teman dari ITS ttg Freeport. Layak baca
*DIVESTASI FREEPORT, ANTARA HOAXS DAN REALITAS*
Urusan divestasi Freeport (cq Rio Tinto) menjadi topik seksi minggu-minggu ini, baik dari sisi pemerintah sebagai pelaku yang berjuang, maupun dari sisi oposisi yang merasa kalah lima langkah.
Pemerintah merasa selangkah didepan, meskipun divestasi 51% ini belum benar-benar terjadi. Dengan kata lain, saham pemerintah melalui PT.INALUM (Holding BUMN Pertambangan) masih 9,36 persen, dan belum terjadi transaksi jual beli saham.
Meskipun demikian, kesepakatan tertanggal 12 Juli 2018 dalam bentuk *HoA (Head of Agreement)* itu perlu diapresiasi, setelah 3,5 tahun perjuangan menegosiasikan kontrak karya Freeport agar bisa dinikmati secara dominan oleh bangsa Indonesia, khususnya masyarakat Papua.
Banyak *hoaks berbungkus analisis* yang berkembang disekitar permasalahan divestasi ini, antara lain *2 hal utama* berikut: (1) menganalogkan kontrak karya ini dengan kontrak sewa tanah/kos yang akan habis 3 (tiga) tahun kedepan, tetapi kenapa harus diperpanjang sejak sekarang tidak menunggu 2021 untuk dikelola sendiri?, (2) Kenapa harus *diperpanjang dan divaluasi* nilainya hingga 20 tahun kedepan (2014) untuk divestasi 51% yang nilainya 55,4 Trilyun rupiah (USD 3,85 M)?
Permasalahan pertama lebih mudah dijawab, karena mengelola bisnis pertambangan, khususnya yang berkaitan dengan perjanjian dengan pihak internasional, tidaklah bisa disamakan dengan sewa tanah ataupun kos – kosan yang tidak begitu kompleks.
Ibarat orang sakit kepala kronis, maka diagnosa dokter tidak harus sakitnya itu berasal dari kepala dan harus diobati area kepalanya. Tetapi sakit kepala bisa disebabkan karena tekanan mental, tekanan fisik, gangguan organ dalam seperti limpa, kemampuan ginjal menyaring, tekanan jantung dll, hingga masalah hormonal dan kualitas darah.
Bisnis merupakan sistem kompleks sebagaimana kesehatan tubuh manusia. Ada *saling keterkaitan*, sehingga solusinya tidak bisa bersifat parsial/sebagian-sebagian. Semakin besar nilai perputaran uangnya, solusi bisnisnya makin holistik dan sistemik sebagaimana sakit kepala kronis tersebut. Ada aspek hukum, aspek investasi, aspek kepercayaan, aspek pasar dll.
Oleh karena itu, menganalogkan antara sewa tanah/kos kosan dengan kasus Freeport ini sangatlah naif.
Dari sisi hukum, kontrak karya ke 5 yang ditandatangani pada 30 Desember 1991 dan berakhir pada 2021 ada klausul yang menyatakan bahwa Freeport berhak memohon 2 kali perpanjangan masing-masing 10 tahun secara berturut-turut, dimana pemerintah tidak akan menahan atau menunda perpanjangan tersebut secara tidak wajar (pasal 31). Dalam pasal 22 tentang berakhirnya KK disebutkan bahwa semua asset milik Freeport baik yang bergerak maupun tidak bergerak adalah bukan milik negara, tetapi milik Freeport.
Konsekwensi aspek hukum ini saja akan mengganggu perekonomian Indonesia bila kita pakai logika sewa tanah/kos-kosan. Penghuni kos-kosan lama bisa dihentikan dengan mudah, dan digantikan penghuni kos baru tanpa mengganti perlengkapan kamar (lemari, tempat tidur dll).
Penghentian dan penarikan asset operasi tambang Freeport berarti pengelola baru dalam hal ini pemerintah harus mulai dari awal, menyusun ulang konstruksi, set up produksi, hingga menguasai teknologi tambang bawah tanah yang bukan merupakan perkara yang mudah. Sebagaimana diketahui, teknologi tambang bawah tanah Freeport sudah mencapai 600 KM, dan akan menjadi 1000 KM ( *NOTE*: ini akan menjadi teknologi tambang bawah tanah *terpanjang di dunia*).
Permasalahan penghentian ini juga akan berdampak pada berhentinya ribuan karyawan akibat peralihan pengelola.
Permasalahan kedua untuk menjawab pertanyaan: (a) kenapa harus dibeli dengan nilai valuasi 20 tahun kedepan? Dan (b) kenapa harus ada sindikasi 11 bank, dengan 4 bank asing diantaranya?
Kita bahas pertanyaan masalah bank dulu. Meminjam uang untuk mendanai akuisisi perusahaan adalah praktek bisnis yang jamak (lumrah) dimanapun. Peminjam (pemberi kredit) pasti melakukan Due Dilligent (DD) sebelum memutuskan membiayai atau tidak. Justru adanya kepercayaan 4 bank asing ini menunjukkan bahwa divestasi 51% saham Freeport secara bisnis adalah layak. *TITIK*.
Kenapa harus dibeli dengan nilai valuasi 20 tahun kedepan? Inilah yang disebut *Financial Engineering* (rekayasa finansial), *NOTE*: bukan rekayasa dalam kontasi negative lho…hehe. Kunci dari financial engineering adalah valuasi asset, baik yang sifatnya *tangiable* (alat, mesin, dll asset fisik) maupun *intangiable* (teknologi, knowledge, pengalaman, jaringan pasar dll).
Menurut data *S&P 500*, telah terjadi pergeseran yang signifikan antara dominasi kepentingan tangiable asset versus intangiable asset (asumsikan kapasitas SDM) terhadap perusahaan. Bila tahun 1975 aset yang sifatnya tangiable adalah 83% ( *sisanya 17% SDM*), ternyata 30 tahun kemudian (2005) komposisinya berubah menjadi *80% intangiable (SDM)*, sedangkan yang tangiable tersisa hanya 20%.
Secara akuntansi, nilai pentingnya intangiable ini tidak tercatat sebagai asset. Meskipun demikian, secara *financial engineering* nilai inilah juga diperhitungkan pada valuasi. *Coba bayangkan*, seandainya nilai intangiable seperti kompetensi teknologi dan manajemen pada bisnis yang kompleks tidak divaluasi, maka bisnis tersebut akan ambruk karena masalah ketidak mampuan operasional (pekerjaan molor, biaya satuan membengkak dll).
Semoga HoA ini akan segera tuntas dalam sebulan/dua bulan kedepan sebagai kado manis *HUT kemerdekaan RI tercinta yang ke-73*.
Sebagaimana jargon salah satu bank terkemuka yang menyatakan: *“The Hardest Currency in The World is TRUST”*, maka sebaiknya kita berikan kepercayaan kepada pemerintah untuk menuntaskan transaksi divestasi saham 51% persen ini.
Jangan ada prasangka buruk, meskipun masyarakat tetap harus mengawal implementasinya dengan cermat. Freeport sebagai perusahaan yang terdaftar di bursa saham AS sangatlah diawasi melalui *UU Anti Korupsi AS* bagi peusahaan yang beroperasi di luar negeri. Tata kelola *(GCG) dan compliant* perusahaan multi nasional sangatlah ketat, sebagai contoh salah satu perusahaan Oil dan Gas yang beroperasi di Indonesia menerapkan aturan GCG tidak boleh mentraktir makan pejabat melebihi 4 kali biaya makan siangnya mahasiswa di AS. Dengan kata lain, mentraktir 2 orang pejabat tidak boleh lebih dari 1,2 juta rupiah (asumsi sekali makan siang mahasiswa di AS USD 10).
Semoga divestasi Freeport yang secara teknis dikomandoi oleh Dirut INALUM Budi Gunadi Sadikin dan Deputy PISM Fajar Hari Sampoerno akan berjalan dengan lancer dan sesuai jadwal.
Secara pribadi, saya mengenal keduanya. Budi Gunadi Sadikin *(BGS)* adalah jenius lulusan fisika ITB dengan spesialisasi nuklir, yang di usia 47 tahun telah menduduki jabatan Dirut Bank Mandiri (BUMN) selama 2 periode berturut-turut.
Dia pernah mengatakan kepada saya: “Sebagai mantan CEO bank terkemuka, saya bisa saja menerima lamaran kerja di luar negeri dengan gaji ratusan juta perbulan. Tetapi saya memilih untuk membesarkan holding pertambangan/INALUM (termasuk akuisisi Freeport ternyata…hehe)”. Fajar Hari Sampoerno *(FHS)* telah lama berkarir di BUMN dan sangat menguasai konsep *Industri Strategis*, matanya selalu berkaca-kaca saat menceritakan bagaimana industri strategis berusaha dikebiri oleh pemain-pemain dalam negeri yang disetir kepentingan luar.
Diluar kedua aktor diatas, tentunya peran 3 (tiga) srikandi kabinet Jokowi JK, yaitu: meneg BUMN *Rini Soemarno*, menkeu *Sri Mulyani*, dan mentri LH *Siti Nurbaya*, plus mentri ESDM *Jonan* sangat berperan besar dalam menterjemahkan kehendak presiden untuk menggunakan sumber daya alam Indonesia untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
*SALAM PERSATUAN*
Dr.Ir. Arman Hakim Nasution, M.Eng
*MANAJEMEN BISNIS ITS*
*WA*: 081331468839
Tidak ada komentar:
Posting Komentar