Balasan Trump, Dollar Meroket, Rupiah Anjilok, Jokowi Salah?
- Asaaro Lahagu -
Saya lihat Menteri Mulyani berbusa-busa mulutnya menjelaskan mengapa dollar meroket. Berulang kali Mulyani mengatakan bahwa dollar naik karena naiknya suku bunga di Amerika, perang dagang AS-China dan imbas krisis di Turki dan Argentina. Mulyani sudah menjelaskannya hingga jungkir-balik. Anehnya tetap saja banyak masyarakat yang tidak mempercayainya.
Masyarakat kita tetap meyakini bahwa dollar naik karena salahnya Jokowi. Bahkan sekaliber Jenderal Prabowopun tetap menyalahkan Jokowi. Katanya karena sistem ekonomi kita yang rapuh, tergantung impor dan sebagainya. Pokoknya di linima facebook saya, kaum sebelah tetap menyalahkan Jokowi. Bahkan harga karetpun di daerah saya yang harganya terpuruk, Jokowipun disalahkan.
Saya sedikit mengapresiasi pernyataan Sandiaga Uno. Cawapres ini meminta agar semua pihak tidak menyalahkan pemerintah soal anjiloknya Rupiah. Sebagai seorang businessman, Sandiaga paham benar soal seluk-beluk dollar dan terutama kawannya si Trump. Dia paham soal faktor eksternal melemahnya Rupiah. Tetapi yang lain? Tidak banyak pihak yang pola pikirnya seperti Sandiaga.
Saya sendiri dikit-dikit belajar soal mata uang karena sesekali melakukan jual-beli valas. Sekali lagi hanya dikit-dikit. Beli dollar saat harga murah dan jual saat harga mahal. Selisih harganya jualnya menjadi untung. Lumayan bagi warga biasa seperti saya. Karena bermain sesekali di valas, maka mau tidak mau saya harus memperhatikan situasi politik di luar negeri, termasuk sepak terjang ompung kita Donald Trump.
Saat dia Donald Trump menang Pilpres AS 2016 lalu, saya bilang kepada teman saya, Pak Jokowi bisa tertekan. “Karena Freeportkah? Apakah Trump akan melengserkan Jokowi terkait Freeport?”, tanya teman saya itu. Saya jawab tidak. Donald Trump paham soal business to business. Dia adalah konglamerat, dia businessman. Sama seperti Jokowi. Dia tahu posisi Jokowi di Freeport. “Lalu apa masalahnya?”, tanyanya lagi tak sabaran.
Begini teman, sambil seruput kopi ala Denny Siregar. Saat kampanye Pilpres AS, kita perlu garis bawahi janji-janji kampanye Donald Trump, terutama di bidang ekonomi. Sekali lagi kita garis bawahi janji-janji kampanye ekonomi Trump. Kalau nanti Trump benar-benar melakukan janjinya, maka saya rasa akan sangat painful (menyakitkan).
Saya yakin jika Trump akan merealisasikan janji kampanyenya maka yang terjadi adalah perang dagang antar negara yang akan berdampak bagi perekonomian Indonesia. Dan itu bisa membuat Pak Jokowi tertekan. Janji Trump yang perlu kita garis bawahi adalah soal janji kebijakan ekonominya terkait pengenaan tarif impor produk asal Cina, Eropa, Meksiko dan negara lain.
Bayangkan. Trump berjanji akan menaikkan 40 persen tarif impor produk asal China, Meksiko 30 persen. Jadi barang China yang murah itu menjadi mahal karena kena pajak 40 persen. China bisa menjerit. Dan jika Trump benar-benar melakukan itu, maka China dan Meksiko juga akan membalas. Dan jika produk dari China dan Meksiko dikenakan tarif impor yang cukup tinggi, maka negara lain juga akan dikenakan. Masalahnya Amerika adalah pasar ekspor terbesar kita. Jika Trump melaksanakan janjinya itu, maka justru akan membebani dan merugikan Indonesia.
Tentu saja untuk menghindari tarif impor selangit ala Trump, maka negara-negara lain akan kembali membangun pabriknya di Amerika. Jadi produk dibuat di Amerika karena pasarnya di sana. Jika hal itu terjadi maka dollar yang tersebar di penjuri dunia kembali terkumpul atau kembali ke tuannya Amerika. Konsekuensinya dollar di negara lain akan kering-kerontang yang membuat harga dollar meroket. Sementara mata uang negara yang bersangkutan, yang selama ini membutuhkan dollar dalam transaksi impornya akan anjilok.
Setelah dua tahun cerita saya itu kepada teman, ternyata Trump benar-benar melaksanakan janji kampanyenya itu sejak akhir 2017. Memasuki tahun 2018, Trump semakoin mengganas. Trump benar-benar jengkel atas perilaku orang Eropa di negaranya. Bayangkan besi AS yang masuk ke Eropa dipajak 25% sehingga harga besi AS di seluruh Eropa mahal dan kurang laku. Sebaliknya jika besi Eropa masuk ke AS hanya dipajak 5%. Trump yang paham soal bisnis, jengkel luar biasa. Maka ia pun melaksanakan janji kampanyenya.
Trump menaikkan pajak impor besi Eropa sampai 25%. Negara-negara Eropa kaget dan terkencing-kencing di celana. Dengan tarif pajak impor naik 25 persen, besi mereka yang masuk AS tidak laku. Sementara besi produk AS sendiri lebih laku. Ini hanya salah satu contoh. Ada beberapa produk impor lain yang dinaikkan pajaknya oleh Trump. Contohnya mobil.
Mobil Eropa termasuk Jepang masuk ke AS, pajaknya hanya lima persen. Lalu kemudian Trump menaikkan pajak mobil Eropa dan Jepang di atas 25%. Menjeritlah Jepang dan Eropa. Demi menghindari kebangkrutan, perusahaan mobil Jepang dan Eropa kembali ramai-ramai membangun, memindahkan suku cadang atau pabrik mobilnya ke AS. Hasilnya, pengangguran di AS berkurang. Tenaga kerja terserap. Dimana-mana ada pembangunan pabrik baru.
Jadilah perekonomian AS mulai menggeliat. Produk-produk AS menjadi tuan di negeri sendiri. Itu bisa dilihat dari besi. Dan tidak perlu diekspor ke Eropa. Cukup dijual di dalam negeri. Karena perusahaan-perusahaan di AS sendiri mulai giat mengembangkan pabrik, maka mereka butuh modal. Demi menghimpun modal besar dan agar masyarakat mendepositokan uangnya di bank-bank AS dan kemudian bisa meminjamkannya, Trump menaikkan suku bunga acuan. Akibatnya dollar mengalir ke AS. Orang kaya memindahkan uangnya termasuk dari Indonesia ke AS.
Eropa gigit jari. China melongo. Indonesia tertekan. Trump bangga. Toh dia hanya melaksankanan janji kampanyenya dan melakukan keadilan bisnis. Apanya yang salah? Trump hanya melaksanakan janji kampanyenya. Lalu China? Trump sudah lama muak dengan gaya bisnis China yang pongah seolah-olah sudah hebat dan sudah bisa menandingi Amerika. Padahal sekali batuk, China termehek-mehek.
Trump habisi China. Barang-barang China di AS murah dan membanjiri pasaran AS. Bagi Trump ini sebuah lelucon. Mengapa pajak barang China yang masuk AS sangat murah. Trump kemudian menaikkan pajak barang impor dari China hingga 25 %. Hasilnya? Barang-barang China kurang laku di AS karena sudah mahal. Barang-barang China kemudian menumpuk. Pabrik China di negeri China banyak yang berhenti beroperasi. Sampai di sini, apakah Trump salah? Oh tidak. Ia hanya melaksanakan janji kampanyenya.
Lalu dengan Indonesia? Sudah lama produk Indonesia itu mendapat perlindungan di AS. Barang-barang Indonesia yang masuk di AS, pajaknya hanya 5 persen. Sementara produk AS yang masuk ke Indonesia dipajak tinggi-tinggi. Contohnya mobil Amerika itu lho. Nah, ini tidak fair menurut Trump.
Maka Trump sudah mulai mengambil ancang-ancang untuk menaikkan tarif impor produk Indonesia atau istilah kerennya mencabut ‘tarif khusus’ produk Indonesia yang diberikan Amerika. Tak tanggung-tanggung. Ada 124 produk Indonesia yang masuk ke AS akan dinaikkan tarif impornya.
Kebayang nggak, jika nantinya Trump menaikkan tarif impor ke-124 produk Indonesia itu? Barang-barang Indonesia tidak laku di AS. Akibatnya, produk Indonesia akan berhenti berproduksi karena menumpuk di gudang. Konsekuensinya, pabrik berhenti dan pengangguran bertambah.
Saya sendiri hanya berharap agar Trump mau mengurungkan niatnya dan tidak mencabut ‘tarif khusus’ produk Indonesia. Alasannya karena Indonesia masih negara berkembang. Tidak seperti China, Jepang, Eropa, Kanada.
Lalu apa hubungannya dengan naiknya dollar dengan Jokowi? Tidak ada. Jokowi tidak salah soal anjiloknya Rupiah. Trump hanya melaksanakan janji kampanyenya doang. Trump jelas tidak salah. Ia benar. Jadi kesimpulannya, ketika Trump melakukan pembalasan atas negara lain agar seimbang, maka dollar naik, Rupiah Anjilok.
Yang bisa dilakukan Jokowi hanya mengeluarkan 10 kebijakan yang dicetuskan hari ini 5 September 2018. Silahkan cari sendiri di media 10 kebijakan Jokowi untuk menangkal anjiloknya Rupiah. Yang jelas, tidak ada hubungannya antara naiknya dollar dengan Jokowi. Pahamkan?
Salam Seword, Asaaro Lahagu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar