Sabtu, 13 Oktober 2018

MAKE ADVERTISING GREAT AGAIN

MAKE ADVERTISING GREAT AGAIN

Ini pernah menjadi tema malam anugerah Citra Pariwara, sebuah ajang penghargaan di industri iklan yang setiap tahun diadakan oleh Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia. Tema ini dipakai di tahun yang sama setelah Trump memenangkan Pilpres di Amrik sono. Materi promo acara pun dibuat dengan nuansa kampanye Trump. Pertama melihat tema acara ini, saya sempat tercengon (tercenung sampai jidat mengkerut mirip Klingon).

Secara refleks selera, saya tentu saja menolak. Bukan karena saya suka sama Miley Cyrus yang kerap mengkampanyekan Hillary. Tapi lebih karena saya tidak suka Trump. Dan di salah satu video musik RATM tahun 90an, secara satire digambarkan bahwa majunya Trump sebagai presiden adalah contoh dari kebobrokan Amerika, yang sayangnya justru menjadi kenyataan. RATM kurang hati-hati, mereka lupa bahwa karya adalah doa.
 
Pasca reflex, sejenak kemudian saya tidak lagi meladeni keterkaitan tema tersebut dengan kampanye Trump. Saya sisihkan Trump dan coba memahami maksud tim kreatif di balik tema acara ini. Apa yang ingin disampaikan mereka? Karena saya yakin mereka tidak membuatnya asal-asalan. Pasti mereka beride dari insight tertentu yang mereka percayai. Lagipula kita mengetahui bahwa membuat tema dan materi komunikasi malam anugerah Citra Pariwara adalah sebuah kehormatan yang diberikan pada agency yang menjadi juara umum di tahun sebelumnya. Dan saya menebak, di agency tersebut tugas mulia ini akan diberikan pada tim yang paling banyak memenangkan piala di tahun sebelumnya. Jadi seharusnya tema ini bukan tema asal buat, ada pesan yang mau disampaikan.

Selanjutnya beberapa pertanyaan juga muncul, apakah saat ini advertising sudah tidak great? Kalau iya, memangnya kira-kira kapan yang mereka maksud sebagai great? Saya bayangkan, mungkin yang dianggap era advertising great adalah bersamaan dengan era boom televisi swasta. Seiring dengan tumbuhnya TV Swasta, tumbuh pula kebutuhan iklan TV, baik bagi stasiun tv untuk billing mereka, maupun bagi produk/brand untuk sarana marketing. Seiring dengan itu, industri iklan pun mengalami pertumbuhan pesat, diikuti dengan industri-industri terkait. Mendadak kuenya begitu besar, dengan pemain yang berebut, tidak sebesar itu.

Ini bayangan saya, karena di masa ini saya masih kuliah dan masih bercita-cita kerja di media massa, tidak begitu memperhatikan iklan. Saya hanya merasakan ujungnya, karena saya mulai magang di 96, menjadi karyawan di pertengahan 97, memenangkan pitching pertama saya untuk produk sepatu bola lokal dengan tagline “Lebih Nendang”, dan gagal dieksekusi di akhir 97, karena mendadak dollar naik berkali lipat. Jangankan untuk shooting iklan TV, sang klien bahkan kesulitan produksi sepatu karena harga bahan baku naik berlipat ganda. Selamat datang era krisis. Ini krisis yang sebenarnya, bukan krisis-krisisan ala narasi oposisi. Yang pasti kalaupun era advertising great adalah seiring booming TV swasta, di sinilah era tersebut berakhir.

Di masa krisis, kue yang diperebutkan mendadak menyusut setipis tempe Cap Uno. Berbagai jenis industri menghentikan promosi. Misalnya, siapa yang mau beli mobil, rumah, atau baju bermerk di masa itu, kalau bukan hanya segelintir orang yang kebal secara finansial. Saya mengalami berbulan-bulan kerjaannya hanya pitching. Sekali pitching pun satu brand diperebutkan oleh 10 agency. Produk yang dipitch pun itu-itu saja, beberapa kali saya pitching produk obat sakit kepala atau krim pegal linu. Tampaknya inilah produk hits masa itu, yang jadi penanda jaman.

Selain era boom tv swasta dan era krisis, era mana lagi yang bisa dianggap sebagai era advertising great? Kenapa lihatnya jauh-jauh Goy, malah lo jadi ketahuan tua-nya. Slogan itu menyiratkan saat tidak great adalah sekarang, dan saat great adalah satu fase sebelumnya. Ok mari kita liat satu fase sebelum saat ini (atau saat itu di tahun kemenangan Trump)
Sebut saja dekade 2000an sampai 2010an, kondisi kembali “normal” dampak krisis sudah tidak terasa. Semua jenis produk kembali berlomba beriklan. Iklan TV kembali jadi primadona. Iklan Radio, Cetak, dan OOH pun masih punya gigi dan khalayaknya masing-masing. Kolektif memori masyarakat masih relatif mudah diseragamkan, dan dampaknya masih terasa sampai sekarang.

Di masa itu kolektif memori yang seragam banyak terbentuk karena iklan. Ketemu mbak-mbak kece di jalan tol, oom-oom masteng akan becanda “Vitamin Ce-nya mana?” Ketemu AE yang mengubah-ubah brief, tim kreatif rebel akan berteriak, “Tiap kali gue kasih jawabannya, lo ganti pertanyaannya.” Kita sama-sama tau, bagaimana Ikang Fawzi berhasil mengatasi gangguan on-nya. Bahkan seorang kandidat capres memakai jingle mie instan untuk menggambarkan betapa ia doyan makan, eh maksud saya untuk menggambarkan bahwa ia untuk seluruh Indonesia, dan (sayangnya) ia menang Pemilu.

Sampai kini dampaknya masih membekas. Anak-anak muda hari ini, menghindari minum yang manis-manis. Setelah ditelusuri, ternyata akibat sejak kecil mereka mereguk iklan pemanis non sugar yang bersahabat bagi pengidap diabetis. Kriminalisasi perokok terus meningkat, akibat berbagai iklan layanan masyarakat anti rokok. Bukan tidak mungkin bangkitnya brand lokal anak muda, diilhami nasihat seorag kakek yg didengar berulang-ulang, “Cintailah ploduk-ploduk Indonesia.” Berbagai bahasa slang yang dipopulerkan iklan, terus diserap sampai menjadi bahasa sehari-hari, tanya kenapa? 

Mungkin inilah era di mana advertising dianggap great. Era di mana kolektif memori masyarakat dengan mudah kita rangkai lewat iklan. Era di mana, media digital belum mencuri adegan. Karena di masa setelah itu, ceritanya jadi berbeda. 

Di era media digital, media untuk menyampaikan pesan menjadi sangat rumit dan beragam. Tak mudah membuat kolektif memori. Dialektika tidak berjalan linear. Thesis antithesis berjalan bersamaan di kelompok yang berbeda, di kanal yang berbeda, di ekspresi yang berbeda. Kebenaran di satu kelompok, adalah tabu di kelompok lain. Yang haram bagi kelompok tertentu, hukumnya wajib bagi kelompok lain. Yang populer pagi ini, sudah basi sore nanti.

Aliran bisnis advertising pun tidak lagi berjalan linear. Klien tak lagi hanya memanggil agency untuk membuat iklan atau menayangkannya di media massa. Klien bisa saja brainstorm langsung dengan tim kreatif stasiun tv, radio, atau media cetak, memanggil langsung sang sutradara iklan terkenal, mengontrak langsung sang vlogger usia sekolah, memotret langsung celebgram jelita, berkolaborasi langsung seniman ngehits, mensupport langsung komunitas-komunitas populer, membentuk sendiri tim marketing dalam rumah, membrief para ronin yang bekerja di rumah, memogram artificial intelligence yang berjualan sesuai algoritma, dan menayangkan serta membuat perencanaan media sendiri di media-medianya sendiri. Pendeknya, klien bisa ngebrief sendiri, bikin sendiri, tayangin sendiri, nge-like sendiri. Apakah era macam inilah yang dianggap advertising tidak great again?

Insight yang bisa dipahami. Namun saya beg to differ. Boleh dong. Kan ini jamannya bhineka kolektif memory, namun sama-sama anak iklan juga. Bagi saya hakekat the greatness of advertising tidak pernah pergi. Justru di saat inilah ia menjadi sangat penting. Di masa pasca kebenaran, ketika orang-orang bebas mencari informasi sesuai kebenaran yang diinginkan, di masa ketika tak ada saringan, di masa ketika orang-orang tanpa ragu menyebarkan kebohongan tanpa kemaluan dan menyebarkan kemaluan tanpa kebohongan.

Di masa inilah, justru ilmu advertising harus hadir ke tengah, meluruskan yang perlu diluruskan. Di masa ini, adalah masa nadir ketika orang benar-benar memilih tidak lagi berdasarkan informasi valid dan rasionalitas, di masa ini orang memilih berdasarkan emosi dan perasaan. Dan memang orang-orang memang memilih untuk menjadi seperti itu!

Orang memilih mendengar orang yang ia percayai, orang memilih media yang sesuai keinginannya, orang memilih narasi atau prophecy yang sesuai kepentingannya, dan orang ikut menyebarkan kebohongan yang ia harapkan memberi keuntungan. Di masa inilah ilmu iklan harus menunjukkan kebesarannya.

Bahwa kita dibiasakan untuk berkompetisi secara sehat, lewat pitching, lewat festival, ataupun lewat konsumen melalui mekanisme pasar. Bahwa kita ditabukan untuk menjelekkan brand pesaing kita. Bahwa kita dilarang membuat apapun yang dapat menyinggung SARA siapapun. Bahwa kita terbiasa lembur berkarya, daripada mengomentari karya orang di ranah publik (nggak kaya si Yoga ini yang membuat tulisan panjang banget, ngomenin kerjaan orang). Bahwa kita diajarkan untuk membuat narasi yang konsisten, dengan keunggulan ataupun kekurangan yang kita miliki. Bahwa kita dibiasakan menghargai kekayaan intelektual orang, mengejar orisinalitas, merancang inovasi, mencari solusi, dan lain-lain.

Bahwa sesungguhnya, kita diajarkan untuk menyampaikan kebenaran. Truth well told kata kantor lama saya. Truthfullness yang berakar, kata kantor saya sekarang yang udah cukup lama ada. Bahwa semenarik apapun dongeng yang kita sampaikan, harus ada reason to believe. Bahwa seindah apapun janji yang kita sampaikan, tak boleh berlebih, dan harus mampu ditepati. Bahwa batasan singkat durasi ataupun sempit bidang, tak menghalangi ide besar yang kita sampaikan.

Justru di saat inilah ilmu-ilmu iklan sangat diperlukan. Agar orang tidak mempercayai narasi falasi. Agar rasa optimis tetap bergelora. Agar rasa empati tetap hangat. Agar kebersamaan tetap terjaga. Agar rasa syukur tidak diingkari. Agar demokrasi tidak dicemari. Agar orang tidak memilih mempahlawankan para pencuri.

Justru di saat seperti inilah kita dibutuhkan untuk lantang bersuara dan berkarya, dengan gagasan-gagasan raksasa, menenggelamkan narasi-narasi yang mengecilkan bangsa! Bukankah skill dan alat produksi revolusi ada di tangan kita?

Setelah dipikir panjang, Make advertising great again, saya bisa terima sebagai ajakan untuk menunjukkan kebesaran gagasan anak-anak iklan di masa winter is coming ini. Lain cerita dengan Make Indonesia Great Again, inilah narasi yang mengecilkan bangsa sendiri, tak memiliki orisinalitas, ide besar, reason to believe, konsistensi dan argumen yang masuk akal.

Saat Trump berkata Make America Great Again, ini berkait dengan pertarungan antara Partai Republik dan Demokrat di sana. Era great, pasti dikonotasikan kepada era presiden-presiden dari Partai Republik. Era gak great, terutama ditujukan pada Era Obama atau presiden dari Demokrat yang lain.

Kampanye ini pun sudah mengadaptasi hasil revisi kampanye era Ronald Reagan yang berkata Make America Great, dan setelah dikritik bahwa Amerika selalu great, kemudian direvisi menjadi great again, dengan mengarahkan serangan pada era Carter.

Kini, kalau ada yang bilang "make Indonesia great again", era great mana yang diacu? Era Bung Karno? Yang greatnessnya dikecilkan setelah kudeta oleh mertuanya. Atau justru era mertuanya? Yang tampak indah di permukaan, namun berujung pada krisis multidimensi akibat KKN gila-gilaan dan rancangan ekonomi ayahnya yang pro barat? Atau era Gus Dur, yang dijatuhkan antara lain oleh Ketua MPR waktu itu yang sekarang jadi bolonya? Era SBY, ya gak mungkinlaah, anyway apa udah beres soal drama kardus?

Saya sendiri tak habis pikir, narasi ini muncul justru di saat kita punya a great president, dengan big ideas yang dieksekusi secara konsisten sesuai strategic planning yang dibuat berdasarkan dna Indonesia yang bhinneka, progresif dan jaya. Di saat my great president dengan gagasan besar menjadi inspirasi mendamaikan perang dagang melalui pidato Thanos dan Game Of Thrones, oposisi justru memuja-muja perang dagang dan men-copas slogan kampanye lawas.

Sepertinya ide besar memang akan sulit muncul dan berkembang di tengah kerumunan para pengeluh, pembohong, pencuri gagasan, pengumbar janji, pemalas, pemarah, penggertak, atau penculik.

Karya adalah doa, God bless great advertising!

Yoga Adhitrisna diilhami oleh komunitas iklan yang saya cintai.

“Kau yang sejati,
berjuang dengan hati.”
(Jingle Sejati Emang Bikin Bangga / You know who you are)

#KaryaAdalahDoa #Advertising #CitraPariwara #JokowiLagi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar