Selasa, 02 Oktober 2018

ARINI SUBIANTO dan PERSADA CAPITAL INVESTAMA

Nama PT Persada Capital Investama atau PCI mungkin jarang terdengar. Namun, perusahaan investasi ini ternyata memiliki banyak lini bisnis yang terus bertumbuh. Ada sosok perempuan yang menjadi salah satu tokoh sentral di balik kesuksesan lini bisnis PCI. Dia, yang melanjutkan bisnis dari Ayahnya, Benny Subianto, bahkan pada tahun lalu dinobatkan sebagai salah satu wanita terkaya di Tanah Air. Untuk menggali dan memahami visi dan strategi bisnis PCI, Bisnis mewawancarai sosok wanita istimewa ini. Dialah Arini Subianto, Presiden Direktur PT Persada Capital Investama. Berikut Petikannya:
Bolehkah Anda ceritakan secara singkat tentang PCI?
PCI didirikan bapak saya [Benny Subianto] pada 1995 sebagai holding company. Pada awalnya—setelah beliau pensiun dari Astra—belaiu ingin terjun ke bisnis yang beliau familiar. Pada saat di Astra, beliau begelut dengan alat berat, agribisnis, dan dengan sendirinya mengalir ke arah itu.
Core business kami sebenarnya non-operating. Kami membantu pada manajemen, legal, dan finansial karena operasional hariannya tetap dijalankan oleh profesional tim pada masing-masing perusahaan.
Lini bisnis yang kami geluti ialah ENERGI, PERTAMBANGAN, AGRIBISNIS, PROPERTY, HOSPITALITY dan baru saja masuk ke pelayanan KESEHATAN. Itu payung utamanya. Mungkin investasi atau bisnis kami yang lebih terdengar adalah Adaro, Triputra pada agribisnis, Kirana pada rubber.
Kalau kesehatan, mungkin belum terdengar karena sangat kecil. Kami ada rumah sakit di Malang, Persada Hospital, dan kami juga punya diagnosis laboratorium di Surabaya.
Bagaimana Anda memandang industri yang digeluti perusahaan saat ini?
Saya melihat ada banyak sekali peluang, kemudian ada reformasi birokrasi sehingga membuka banyak peluang. Kita tahu presiden sekarang ingin memajukan bangsa supaya lebih mandiri, dan kami melihat banyak peluang.
Core business kami [energi dan agribisnis] itu semuanya menyangkut kebutuhan hidup atau yang akan dibutuhkan oleh seluruh masyarakat Indonesia. Kita butuh energi, pangan, dan kami melihat itu sebagai peluang bisnis tapi juga giving back ke Indonesia jadi membangun bangsa.
Buat kami, walaupun challenging—karena kadang ganti pemerintahan ganti peraturan—kami selalu berpikir semua pasti ada positifnya. Dari segala tantangan pasti ada celahnya dan kalau bukan kita yang membangun siapa lagi?
Kami juga masuk ke agribisnis di luar Jawa yang dengan sendirinya membuka lapangan kerja. Melalui usaha kami, kami bisa membangun daerah tersebut. Kalau kami melihat seperti itu, Indonesia masih banyak kesempatan, masih banyak yang bisa dibangun di sini.
Ini bisa dikatakan masih cukup luas, tinggal pilih yang mana, dalam artian perlu diantisipasi juga pergantian politik. Kami hanya berpikir yang penting, kalau disiplinnya tetap, kami sudah membangun perusahaan dengan tata manajemen yang disiplin dan dengan value yang baik pula.
Insya Allah dengan segala tantangan, manajemen tim tetap kokoh, ditempa apapun akan lebih bisa tahan.
Apa saja nilai-nilai perusahaan dan bagaimana Anda mengimplementasikan itu?
Saya belajar dari ayah saya, juga dari partner keluarga kami Pak Teddy [Theodore Permadi Rachmat]. Dalam menjalankan bisnis, tentu manajemen akan melihat bottom line, tapi yang paling penting bukan itu.
Kalau dihitung kasih berapa sen dapat berapa sen, akhirnya semua hanya on service. Sebenarnya, dalam menjalankan bisnis terhadap karyawan dan mitra bisnis harus ada trust.
Kita jangan menghitung hari ini. [Kalau memikirkan] hari ini, [hanya sebatas] beli harga berapa atau jual berapa. Namun, [sebaiknya] lebih memikirkan beberapa tahun ke depan karena apapun yang kami kerjakan bukan untuk short term, apalagi kalau bukan untuk Indonesia.
Kami enggak mau 1 atau 2 tahun, kami mau kalau bisa 10 tahun atau sampai anak cucu. Jadi kalau tidak ada trust dan melulu semua hitungan saja, enggak akan lama umurnya.
Selanjutnya, partnership itu harus ada visi yang sama. Kalau visinya tidak sama, tidak akan berhasil. [Visi] harus sama mau dibawa ke mana nantinya, apakah ini buat diri sendiri. shareholder atau buat masyarakat banyak?
Nah, kalau di situ sudah sepaham, akan lebih mudah—tapi pasti ada perbedaan pikiran, perbedaan approach—yang pada akhirnya ekuilibrium [baru] tercapai.
Saya sendiri sudah mengalami, walaupun baru aktif sekitar 1,5 tahun di sini, saya sendiri mengalami perbedaan-perbedaan itu. Namun, karena didasari keyakinan yang sama, visi yang sama, dengan sendirinya push-nya menjadi enak.
Jadi bukan melulu bottom line. Itu one part of the whole. Saya belajar dari pengalaman bisnis pribadi, kalau berbeda pendapat tapi tujuan akhirnya apa? Kalau sama, ekuilibrium akan tercapai.
Apa sebenarnya nilai yang diwariskan Almarhum Pak Benny kepada Anda?
Banyak sekali, karena ini dimulai sejak saya kecil. 
Pertama, REPUTASI
Kedua, dia selalu bilang apa yang kau cari? Kau maunya apa? Percuma kamu grusa-grusu di sini ujung-ujungnya mau ke sana. Kamu mencari apa?
Kemudian Hukum Pareto. Beliau selalu bilang jangan kamu [ketika] berbisnis, itu BUSY-NESS. "Bisnis itu memang untuk menghasilkan uang tapi kalau hanya jalan di tempat itu namanya busyness, mencari kesibukan. [Kalau] mencari kesibukan bisa di tempat lain, enggak usah bikin usaha".
Dia juga selalu mengingatkan the approach always makes the difference. Buat kami itu challenging, apalagi saya orangnya blak-blakan yang di Indonesia [biasanya] tidak selalu diterima secara baik. Jadi, saya diingatkan the approach always makes the difference. Masih banyak lagi nilai lainnya.
Bagaimana dengan nilai-nilai pribadi atau prinsip yang ditanamkan?
Sewaktu itu libur sekolah, saya bangun siang sedikit, jam 09.00 baru keluar kamar, dia [sang ayah] lagi baca koran, cuma bilang apa hasilmu hari ini? Kalau orang lain sudah mikir hari ini dapat duit dari mana?
Setelah lulus, saya juga ingin main dulu. Dia juga bertanya apa hasilmu hari ini? Selalu pertanyaan itu dan dia selalu bilang always try for the best. Kalau tidak, kamu disalip orang.
Ironisnya, saya mulai SMP dipanggil secara reguler ke ruang kerja beliau, dan dia selalu menantang saya, kamu mau jadi apa? Dulu saya ingin jadi arsitek karena suka gambar, dan ilmu pastinya tetap dipakai.
Seiring dengan waktu, dia bertanya kamu mau punya karir atau enggak? Tentu ingin punya karir. Kamu mau punya keluarga enggak? Mau. Lalu nanti yang mengurus anakmu siapa? Lalu dia bilang kalau bapak tidak mau punya istri kaya. Jadi itu tantangan, kaget saya.
Kenapa? Karena bapak enggak mau istri bapak bekerja. Bapak mau istri bapak di rumah. Terus kalau kamu punya karier kamu harus ingat kodrat. Itu saja dan itu enggak bisa hilang dari kepala saya.
Sebelum terjun ke bisnis ini, Anda sempat memiliki toko buku Aksara. Bagaimana Anda membangun bisnis itu?
Saya punya toko buku Aksara. Itu MBA saya yang paling mahal. Aksara itu pembelajaran saya, karena saya mulai dari nothing, tidak tahu apa-apa. Pokoknya passion saja. Believe saya dengan partner saya. Kami ingin punya ini, ingin jualan buku, semua di-drive oleh keinginan dan mimpi.
Seiring dengan perjalan waktu, kami tahu, you pay peanuts, you get monkeys. Ingin good manajemen team, get good one, bukan dengan idealisme mendidik yang masih sekolah. Perjalanan panjang ada di situ, mahalnya di situ sehingga banyak value yang saya dapat dengan punya Aksara sejak 2000.
Bagaimana persiapan Anda sebelum terjun ke bisnis sekarang ini?
Kalau saya di sini [ruangan kerja] sebenarnya sudah lebih lama dari 1,5 tahun. Cuma karena almarhum suka kerja, dia bilang kalau saya masuk, bapak kerjanya apa nanti?
Jadi saya enggak berani ganggu dan beliau enggak ada tuh struktur yang review PCI secara teratur, agak berbeda approach-nya dengan Pak Teddy. Mendapat jawaban itu saya menghormati teritori beliau.
Kaget sih enggak, karena saya sudah tahu bisnis ini dan kami selalu review, walaupun review-nya enggak intens dan [saya tahu] PCI berinvestasi di mana saja. Tambah lagi setelah suami saya meninggal, saya lebih banyak ter-update dengan sendirinya, dengan bisnis yang mesti saya teruskan dari suami. Jadi, enggak terlalu kaget.
Apa sebenarnya visi dan misi serta strategi PCI ke depan?
Kami memilih bisnis yang—kalau bisa—tidak lepas dari kebutuhan sehari-hari manusia seperti PANGAN, ENERGI, dan KESEHATAN. Kami bergerak ke situ karena umurnya akan panjang mengingat tetap dibutuhkan selama manusia hidup.
Visi kami membangun perusahaan untuk apa? Kalau buat keluarga, saya rasa cukup. Kami kan menikmati hidup di Indonesia. Pemerintah enggak kuat kalau mengerjakan segala sesuatu sendirian sekarang dan yang kami sangat concern ialah PENDIDIKAN.
Kami harus bantu lewat jalur-jalur yang sudah kami kerjakan dengan [cara] kami berinvestasi di daerah. Dengan sendirinya, kehadiran kami bisa secara langsung membangun daerah sekitar.
Visi kami ialah selain menjadi the best industry, hopefully the biggest tapi bisa membantu mengedukasi anak bangsa juga. Jangka pendeknya, sekarang booming Internet of thing [IoT] dan kebetulan saya senang juga.
Jadi, kami sudah mulai mencari peluang di situ. Kami mulai masuk ke salah satu fintech startup tapi lebih ke sisi finansial. Kami juga melihat ada satu yang lebih ke e-commerce dan logistik.
Bukankah fintech identik dengan “membakar uang”?
Tapi begini, fintech yang kami masuki, selama itu memberikan solusi untuk pengguna dan menjadi bagian mempermudah kebutuhan hidup pengguna, subscriber bisa tambah banyak, hopefully kami bisa attract strategic partner lain yang bisa membawa masuk ilmu yang lain.
Tidak hanya di situ. Ini buat belajar karena sekarang kami melihat fintech peer-to-peer landing, kalau bisa dapat strategic partner bukan dari Indonesia misalnya, pengalaman mereka jauh lebih besar. Kami bisa belajar, wawasan kami bisa terbuka lebih luas, lebih ke arah situ.
Kalau sekarang, kami masuk sebagai shareholder tapi masih kecil. Kami belajar dan mengikuti perkembangannya. Makanya itu penting, based on trust juga kan? Kalau partner tidak mengizinkan kami untuk belajar, ya enggak akan tahu.
Balik lagi ke trust dan kebetulan, kami diberi kesempatan untuk belajar dalam pengembangan bisnis ini. Insya Allah kami bisa mendapatkan strategic partner dalam waktu dekat karena sudah masuk ke stage itu.
Forbes 2017 menempatkan Anda sebagai wanita terkaya di Indonesia. Bagaimana pendapat dan perasaan Anda?
Itu bikin saya deg-deg-an. Pertama, saya kurang nyaman disorot karena enggak biasa. Kami bukan terbiasa seperti itu. Kedua, pada saat mendapat predikat itu—yang orang tidak ketahui ialah—saya ini merepresentasi keluarga. Hanya karena berada pada puncuk pimpinan, dengan sendirinya nama saya yang keluar bukan seluruh shareholder.
Ketiga, untuk yang mengetahui bagaimana valuasi itu tercapai ya normal-normal saja, tergangung pasar modal seperti apa. Yang tidak tahu itu bagaimana? Banyak orang yang lebih awam yang mengganggp langsung cap dia adalah wanita terkaya, titik, dan di pikirannya mungkin tunai, bukan?
Terus terang hal itu membuat saya tidak mudah. Lebih tepatnya galau, karena banyak yang awam—yang tidak mengerti bagaimana valuasi itu tercapai. Sebetulnya, itu tergantung sentimen market. Saya justru lebih khawatir ada yang salah arti dari yang mereka baca. Orang kan selalu mengolok-olok saya bagaimana nih? Itu kan lu enggak tahu, tergantung harga batu bara berapa.
Sejauh ini, dalam memimpin PCI sebagai holding company, apakah Anda pernah membuat keputusan yang salah?
Sejauh ini belum tahu efeknya. Jadi, selama yang saya tahu efeknya, Insya Allah enggak. Mungkin begini salah mungkin juga enggak. Miss mungkin, dalam arti target, dalam bentang waktu sekian kami harapkan untuk balik modal, mungkin di situ meleset. So far alhamdulillah sampai detik ini, saya percaya, ini juga satu value yang bapak saya ajarkan kalau kerja musti pakai ROH / HATI.
Percaya atau enggak, untuk menjalani ini saya harus tahu dulu niatnya seperti apa, termasuk penyelesaiaan masalah-masalah pelik. Saya juga bilang ke shareholder lain, third party ya, saya selalu bilang saya yakin. Kalau kami mulai dengan niat baik, komunikasi baik, iktikad baik, pasti cepat atau lambat akan ada jalan keluarnya. Itu pegangan saya dan alhamdulillah ada hasilnya.
Tanpa tim, saya tidak akan bisa memberikan konstibusi apa-apa, bahkan di perusahaan-perusahaan yang kami terlibat karena setiap orang kontribusisnya berbeda-beda.
Mungkin kalau saya lebih, saya punya role, yaitu men-challenge dan men-slow down semua yang bergerak terlalu cepat. Saya selalu tekankan jangan ngoyo [terlalu berambisi], jangan buru-buru, kalau enggak, bisa enggak teliti. Kalau buru-buru, enggak enak di hati.
Adakah rencana bisnis lain yang sejauh ini tengah dilirik PCI ?
Kami tidak menutup mata pada peluang baru. Kami sedang mengembangkan AGRIBISNIS dan KESEHATAN. Kadang-kadang peluang itu datang sendirinya, tanpa diundang ada di depan mata. Mulai dari fintech dan kesehatan.
Kami sedang membikin sistem untuk standardisasi BPJS Kesehatan, bagaimana caranya merumuskannya, tapi pada saat bersamaan memudahkan ribuan cases. Jika sering ketemu teman, ngobrol, ada saja [peluang baru].
Bagaimana Anda melihat kompetitor?
Itu menjadi benchmark untuk menilai diri sendiri. Kalau kompetitor sukses, yang menjadi pertanyaan buat kami ialah bagaimana dia bisa sukses? Hal apa yang mereka kerjakan agar bisa mencapai itu? Apa yang belum kami kerjakan sehingga kami bisa belajar dari mereka? Saya melihatnya seperti itu.
Bagaimana gaya kepemimpinan Anda di sini dan apa yang membedakan Anda dengan Pak Benny?
Saya mendapat amanah dari keluarga untuk menjalankan perusahaan ini. Pada saat bapak masih ada, itu adalah milik beliau. Mau apa saja terserah beliau. Pada saat saya memegang kendali ini, saya enggak sebebas beliau dalam arti, saya mesti memikirkan shareholder yang lain, yaitu ibu dan adik-adik saya.
Perbedaannya ketika beliau masih aktif, his pace and his term, kalau dia mau review ya review saja. Kalau enggak ya enggak, sedangkan saya lebih mengedepankan struktur karena saya harus melapor. Artinya, saya harus mengikutsertakan juga kepentingan dan interest shareholder yang lain, lebih ke sistem.
Saya katakan, apapun yang terjadi kepada saya, sistemnya tetap jalan sehingga yang meneruskan enggak bingung karena saya sudah alami sendiri ditinggal mati suami. Saya kelabakan, banyak hal yang tidak terdokumentasi secara baik.
Itu pembelajaran buat keluarga kami. Kami diberi waktu hampir 5 tahun untuk berbenah, mendokumentasi dan lainnya. Jadi saat ayah meninggal, kami lebih siap menghadapinya dibandingkan dengan waktu itu.
Siapa tokoh panutan Anda?
Waktu ayah saya masih ada, tentu ayah saya. Sekarang mentor saya terus terang Pak Teddy. Saya belajar dari beliau karena enggak beda jauh dengan ayah saya. Persamaannya adalah mereka berdua melihat segala sesuatu itu balik lagi ke filosofi, esensinya apa? Apakah transkasi jual-beli? Apakah kami penjual, pembeli?
Dalam pemilihan orang atau penentuan posisi orang, beliau bahkan bolak-balik menekankan again yang namanya uang itu one part of the whole. Saya belajar itu.
Yang saya kagumi juga dari Pak Teddy adalah passion-nya terkait dengan operasional. Ayah saya lebih ke investing. Makanya, kedua orang itu saling mengisi. Saya banyak belajar operation dari Pak Teddy.
Pewawancara: Kurniawan A.Wicaksono & Thomas Mola
Sumber : Bisnis Indonesia
Editor: Yusuf Waluyo Jati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar