Jumat, 25 Desember 2015

Pelajaran dari CEO yang Bangkrut tapi Bahagia

http://www.satujam.com/kunci-kebahagiaan/

Ubah Mindsetmu, Inilah Kunci Kebahagiaan Saat Bangkrut dari Ketua Yaokikai, Asosiasi CEO Perusahaan yang Pernah Bangkrut di Jepang

Arus entrepreneurship sedang bergejolak di negeri ini. Banyak start up yang dibangun. Semakin banyak orang, terutama pemuda, yang mengambil risiko memulai bisnis.

Namun, tak pelak lagi, sebagian besar perusahaan akan gagal. Ditambah lagi, kebangkrutan bisa menjadi satu momen tergelap dalam hidup. Dalam banyak kasus, kebangkrutan bisa berakhir bunuh diri, perceraian, dan terpisahnya anggota keluarga.

Tampaknya menjadi sangat alami bagi orang-orang yang belum pernah mengalami bangkrut untuk mencoba berbagai cara agar tidak memikirkan tentang orang-orang yang bangkrut dan juga kehidupan mereka.

Padahal, banyak orang yang pernah bangkrut bilang kalau mereka sudah mendapat pelajaran penting dari kegagalan mereka. Berbagai kegagalan telah sepenuhnya mengubah cara mereka memandang hidup. Kegagalan membuat mereka bisa merasakan kebahagiaan yang dulu tidak pernah mereka alami.

Seiichi Noguchi adalah salah satu pengusaha yang mengalami hal ini. Bukan hanya itu, Noguchi juga mendirikan Yaokikai, asosiasi CEO yang pernah bangkrut. Pengusaha berusia 85 tahun ini mengungkapkan kalau sekarang ini, “saya senang saya pernah bangkrut, karena kebangkrutan itu memberiku kesempatan untuk mengubah caraku memandang hidup.”

5 kunci kebahagiaan untuk orang-orang yang bangkrut.

Pada kartu namanya, Noguchi menuliskan 5 hal  menarik. Lima poin ini dia gantungkan juga di dinding kantornya.

Inilah 5 kunci kebahagiaan Noguchi, yang ia pelajari dengan sangat mahal, yakni saat ia bangkrut.

1. “Bangun pagi. Tersenyum. Jujur. Berterima kasih. Habiskan waktu bersama orang-orang baik.”

Noguchi menyebut slogan ini “Yaoki Gosoku,” artinya 5 prinsip Yaokikai.

“Inspirasi 5 prinsip ini datang hanya dalam 2 menit,” kenang Noguchi. “Aku menyadari 5 hal ini tidak pernah kulakukan sebelum bangkrut. Aku tidak pernah berterima kasih pada orang-orang di sekitarku sebelum aku bangkrut. Aku dulu berpikir justru semua orang yang seharusnya berterima kasih padaku setiap waktu karena akulah presiden perusahaan.   Pada akhirnya, aku benar-benar senang bisnisku gagal, karena dengan itulah aku mendapat kesempatan untuk mengubah mentalitasku.”

Mendirikan Yaokikai

Noguchi mendirikan Yaokikai pada tahun 1978. Waktu itu usianya 48 tahun. Pada tahun itu pula, perusahaan mainan Noguchi, yang sudah ia rintis sejak usianya baru 25 tahun, bangkrut.

Menengok lagi ke belakang, Noguchi menjelaskan alasan bangkrutnya adalah “sikapku ke orang-orang di manajemen itu sangat buruk.” Dulu dia menggunakan keuntungan perusahaan untuk kesenangannya sendiri, misalnya saja mabuk-mabukan dan berjudi.

Namun saat bisnisnya ambruk, hidup Noguchi berubah drastis. Ia harus pindah ke apartemen kecil bersama keluarganya. Istrinya jadi bekerja dan tulang punggung keluarga.

Titik balik dalam hidupnya terjadi saat ia membaca satu koran. Dalam edisi itu, ia membaca artikel tentang orang yang bunuh diri setelah bangkrut. Ada komentar seorang psikiater yang langsung menempel di benaknya.

Orang-orang yang bunuh diri seringkali tidak punya orang yang bisa diajak bicara.”

Kenyataan ini terus terngiang-ngiang di kepalanya. Dia mulai berpikir kalau saja dia bisa membuat asosiasi untuk CEO yang gagal, orang-orang yang bangkrut akan punya teman curhat. Sebagai dampaknya bisa jadi orang-orang ini terhindar dari tindakan bunuh diri.

Selain itu, ia juga merasa kalau semua eks-CEO, termasuk dirinya sendiri, bisa berkumpul bersama dan membagikan pengalamannya, masing-masing dari mereka bisa merefleksikan pada dirinya sendiri. Setelah itu mereka juga bisa saling menolong untuk mempersiapkan diri memasuki usaha berikutnya.

Didorong oleh niat ini, Noguchi mendirikan Yaokikai pada Agustus 1978. Nama ini diambil dari frase Jepang, “nanakarobi yaoki.” Artinya “7 kali terjatuh, 8 kali bangkit.”

Setelah mengumumkan pendiriannya, berbagai koran dan majalah menyebutkan Yaokikai sebagai asosiasi pertama di dunia untuk orang-orang bangkrut. Tidak lama setelah itu, foto Noguchi muncul di media massa.

Dia mulai mendapat tawaran pekerjaan dari berbagai perusahaan. Tawaran itu tidak sembarangan pula, banyak pengusaha yang menawarkan Noguchi untuk memimpin pabrik dan tokonya.

Namun, Noguchi merasa kalau dia belum sepenuhnya menuntaskan pertumbuhan mental dan evaluasi dirinya. Dia pun menawarkan lowongan itu ke beberapa teman “bangkrutnya.” Salah seorang temannya sampai menangis tersedu-sedu saat Noguchi menawarkan lowongan pekerjaan yang sebenarnya hak Noguchi.

“Saat kulihat temanku ini menangis, pertama kalinya dalam hidup aku merasa benar-benar tersentuh dari lubuk hatiku yang terdalam. Dalam 48 tahun masa hidupku, aku tidak pernah sekali pun merasa seperti itu. Momen itu mengajarkanku kalau kamu harus membuat orang lain bahagia kalau kamu memang benar-benar ingin merasakan kebahagiaan yang sejati.”

Pengalaman ini menguatkan komitmen Noguchi untuk melanjutkan aktivitas volunter Yaokikai, tanpa peduli akan uang. Sejak saat itu, Yaokikai membuat jalur telepon “hotline kebangkrutan.” Di hotline itu, Noguchi mendengarkan curhatan pengalaman orang-orang yang baru bangkrut.

Noguchi menyadari kalau aktivitasnya di Yaokikai hanya bisa tercapai karena adanya dukungan dari keluarganya. Istri dan anak-anaknya tetap menunjukkan sikap bahagia dan mendukung selama hari-hari paling gelap dalam hidupnya ini.

Istrinya tidak pernah mengomel sekali pun tentang perubahan mendadak dalam keuangan keluarga. Putri tertuanya membayarkan uang sekolah adiknya. Anak laki-lakinya membiayai sendiri uang kuliahnya dengan cara bekerja paruh waktu. Uang pendidikan ketiga anaknya tidak menjadi tambahan beban stres sang ayah.

2. CEO perlu berpikir lebih dari sekadar keuntungan. CEO perlu  fokus membuat kontribusi ke masyarakat

Sekarang ini, Noguchi memprioritaskan prinsip manajemen berikut ini: jika kamu menjadi pimpinan perusahaan, kamu harus berpikir lebih dari sekadar keuntungan dan fokus pada berkontribusi ke masyarakat.

Sebelum ia bangkrut, Noguchi mengungkapkan kalau fokusnya hanya pada membuat lebih banyak, dan lebih banyak lagi, uang. Tanpa akhir, tanpa pernah merasa puas.

“Seorang CEO jangan menghabiskan waktunya dengan teman-teman ‘rendahan’ yang tidak pernah memikirkan kebahagiaan orang lain. Hal itulah yang kulakukan sebelum bangkrut. Kamu harus membaca buku dan mengambil kelas untuk belajar hal-hal baru serta menemui orang-orang positif.”

10 penyebab seseorang bangkrut

Ada survei penyebab kebangkrutan yang dilakukan terhadap anggota Yaokikai. Hasilnya ternyata sebagian besar kebangkrutan itu disebabkan oleh 10 penyebab ini:

1. Manajemen yang arogan, terlalu percaya diri pada kemampuan manajemen yang dimiliki

2. Kurangnya pelatihan karyawan

3. Kurangnya visi, tujuan, dan perencanaan bisnis

4. Gagal mengikuti perkembangan industri yang baru, kurangnya fleksibilitas atau kemauan untuk mengubah lingkungan kerja

5. Kurangnya produk baru, menunda peningkatan teknologi

6. Efek negatif dari ketidakharmonisan keluarga dan berbagai masalah emosional di bisnis keluarga

7. Mencampuradukkan bisnis dengan urusan pribadi, kurangnya filosofi manajemen

8. Tidak mampu membuat keputusan, gagal menjalankan keputusan atau melaksanakan rencana

9. Tidak mau mempelajari angka-angka di perusahaan, akhirnya membuat keputusan manajemen yang minim informasi

10. Cara pikir “One-Man Company,” tidak mau mengevaluasi diri

Noguchi mengungkapkan kalau media biasanya mengalamatkan kegagalan usaha pada berbagai penyebab di luar perusahaan. Misalnya saja persaingan tidak sehat, krisis ekonomi. Namun Yaokikai percaya kalau sebagian besar kegagalan itu ada pada kepribadian pemimpinnya.

“Kupikir hal terpenting yang perlu CEO ingat adalah menghindari kesalahan nomor 1,” kata Noguchi, “Seorang pemimpin harus sangat hati-hati jangan sampai jadi arogan dan terlalu percaya diri.

Pada akhirnya, orang-orang yang pernah bangkrut jadi lebih bahagia daripada orang-orang yang menghindari kebangkrutan

Noguchi mengungkapkan 3 tipe kebangkrutan yang berbeda.

Orang level atas: orang yang menghadapi kegagalan bisnis dengan masih adanya tabungan dan tanpa hutang. Tipe ini adalah yang terbaik

Orang level menengah: orang yang tidak punya apa-apa lagi setelah menjual rumahnya

Orang level terendah: orang yang bahkan masih berhutang setelah menjual semua asetnya

Tidak mengejutkan, orang di level atas biasanya paling cepat berbisnis kembali. Namun ternyata orang-orang di level terendahlah yang paling berpotensi menemukan kebahagiaan.

“Kalau kamu sudah jatuh ke titik terendah, kamu tidak punya pilihan selain mengubah caramu berpikir dan mengubah gaya hidupmu. Orang level atas tidak pernah perlu melakukan hal itu,” kata Noguchi. Orang-orang di kondisi terburuklah yang belajar menemukan kebahagiaan di kehidupan barunya, lebih cepat dari orang-orang yang masih “nyaman” secara finansial.

Baru-baru saja,  Yaokikai membuat survei ke anggota-anggotanya untuk menilai level kebahagiaannya. Semuanya menjawab kalau mereka sedang bahagia.

“Jika kamu bangkrut,” kata Noguchi, “hidupmu benar-benar berubah secara fundamental. Tidak ada cara untuk mengatasinya kecuali dengan memilih untuk merasakan kebahagiaan di situasimu sekarang ini. Selain itu, kita semua tahu kalau tidak semua orang kaya itu bahagia.”

Pada akhirnya, cerita Noguchi mengarahkan kita ke jawaban dari pertanyaan mendasar: bagaimana bisa seseorang hidup bahagia di dunia yang terus berubah? Itulah yang membuat kata-katanya layak didengar hari ini, bahkan bagi orang-orang yang tidak pernah bangkrut.

Penulis: Mohammad Ferandy

2 komentar:

  1. Thanks infonya. Oiya ngomongin bangkrut, ternyata banyak loh orang yang mengalaminya saat bulan puasa. Penyebabnya sih bermacam-macam, ada yang karna sering bukber hingga kerap beli makanan mahal pas buka puasa. Nah, untuk menghindari hal itu, saya nemu artikel menarik nih yang bisa jadi referensi. Cek di sini ya man teman: Bulan puasa anti bangkrut

    BalasHapus