Minggu, 19 Agustus 2018

Surat dari Seorang Warga di Lombok Utara

Kepada bpk presiden RI
Saya bukan pendukungmu, bahkan sy pembencimu. Sy tak rela engkau kembali jadi presiden.
Bukan karna harga2 pada mahal spt kata orang, toh kami masih pada mampu untuk belanja, padahal kami bukan orang mampu.
Sy menolakmu karna masalah idiologi, masalah kapasitasmu dan semua predikat tentangmu spt yg sy yakini selama ini.
Maka ketika gempa menimpa kami, dan engkau datang berkunjung. Sy tetap tdk respek. Toh itu tugasmu pak presiden.
Maka ketika engkau datang ke Lombok Utara dan masyarakat pada menyambutmu, sy diam saja dan hanya melihatmu dari jauh dgn rasa sinis. Bahkan sy melarang anak istri untuk ikut larut dlm euforia kegembiraan menyambutmu. Padahal sy lihat istri sy pengen juga mendekat, ikut salaman bahkan berfoto2 spt yg dilakukan masyarakat lainnya.
Sampai datang waktu sholat. Kulihat bapak presiden tetap ingin sholat jamaah bersama kami walau diingatkan sarana yg tdk memungkinkan.
Dgn tenang bpk presiden menuju gentong biru tempat penampungan air untuk berwudhu. Sangat hati2 dan memakai air sedikit sekali, mungkin karna tahu air bersih sulit kami dapatkan. Dan agar jamaah lainnya tetap kebagian air untuk berwudhu.  Lalu menyilahkan orang lain berwudhu di tempat itu.
Sampai pada saat sholat sy masih mencari2 kesalahannya. Bacaannya standar2 saja spt imam lainnya.
Orang2pun bersalaman dgn bpk presiden  tanpa canggung. Tapi sy tetap menjauh dan tdk peduli.
Ketika bapak presiden ikut tidur di tenda, sy diam2 mulai memperhatikannya. Sosok yg mungkin sudah letih malam itu, tetap tampil penuh perhatian, menyapa rakyatnya dan berdiskusi pendek entah apa yg ditanyakan.
Tubuh pemimpin itu rela merebahkan tubuhnya di bawa tenda beralaskan karpet di lapangan sepak bola ini dgn kondisi yg sangat memprihatinkan.
Sejak tidur ditenda ini. Sy tdk pernah pulas, selalu was was dan terbangun begitu mendengar bunyi apapun. Khawatir dgn gempa susulan, khawatir dgn semua kemungkinan buruk yg siap menimpa kami.
Tapi malam ini,  alampun seperti diam memberi kenyamanan untuk kami beristirahat. Begitu syahdu, begitu damai perasaan keluarga sy.
Baru kali ini sy pulas tertidur seperti ada seseorang yg melindungi kami, menjaga istirahat kami, berada ditengah2 kami seperti rakyat lainnya.
Sebelum tertidur, sy masih melihat dari jauh sosok pemimpin itu terbangun duduk. Mengitari pandangannya melihat dgn seksama pada rakyatnya yg bergelimpangan diatas tikar.
Bapak presiden ikut merebahkan badannya, ikut bersama kami merasakan dinginnya malam,.
Malam ini begitu damai dan tenang. Bahkan suara tangis anak2 yg biasanya berisik malam ini tdk terdengar. Anak sy juga tidak rewel. Malam yg begitu tenang. Seakan tidur kami di nina bobokkan oleh seorang ayah pada anak2nya.
Ya, seorang presiden pada rakyatnya.
Sewaktu bapak presiden pamit untuk melanjutkan perjalanannya, barulah sy  mendekat untuk ikut menjabat tangan itu.
Dgn lirih sy ucapkan terimakasih dan kata maaf yg mungkin tdk dimengerti oleh bapak presiden.
Dalam hati sy memohon pada sang khalik, maafkan hambamu yg sangat kejam membenci pemimpinnya ini.
Kulihat ketulusan pada wajah kurusnya, kulihat keteduhan pada matanya. Kulihat senyum tipisnya yg ikhlas sambil menjabat tangan sy. Ingin rasanya memeluk tubuh kurus yg keletihan itu sambil memohon maaf, ampun atas kesalahan2 yg kulakukan.
Tapi sy hanya bisa berkata pelan " maafkan sy pak."
Hanya itu yg keluar dari mulut sy, karna bapak presiden dgn cepat menjabat tangan2 yg lain.
Sy melihat punggung itu menjauh ditemani bapak gubernur kami TGB.
Sosok pemimpin2 yg baru saja memperlihatkan jatidirinya, tabiat dan karakternya, bukan pencitraan spt yg selama ini sy tuduhkan...
Maafkan sy bapak presiden. Maafkan rakyatmu yg tdk tahu diri, yg hanya mengenalmu dari opini2 dan sosial media.
Walau sy masih bersyukur, masih sempat meminta maaf sebelum ajal menjemput dan mempertanggung jawabkan semua dosa2 sy terhadap sang ulil amry kepada sang Khalik Allah SWT...
   
Tanjung, Lombok Utara. Agustus 2018
Muh. K. Anwar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar