Sabtu, 11 Agustus 2018

Jokowi dan Ahok Teladan Politik Indonesia

Politik Rekonsiliasi Jokowi

Oleh: Birgaldo Sinaga

Suka tidak suka hasil pilpres 2014 telah membelah anak bangsa menjadi dua kutub.  Orang menyebutnya sebagai kutub kecebong dan kutub kampret. Pembelahan itu terus berlangsung hingga kini.  Diperkuat lagi dengan peristiwa kasus Ahok yang mendapat fatwa penista agama dari MUI. 

Energi permusuhan antara para pendukung Jokowi vs pendukung Prabowo semakin mengeras.  Di lini masa kita membaca saling olok ejek,  hujat dan fitnah terus berseliweran.  Bahkan kebencian pada Jokowi itu diproduksi oleh rumah produksi propaganda berlabel Saracen dan MCA. Korban anak bangsa berjatuhan,  beberapa dari mereka harus mendekam di penjara.

Mengapa ini bisa terjadi?  Apa akar masalah ini?

Perebutan kekuasaan.  Ya kekuasaan.  Akarnya adalah kekuasaan.  Perebutan kekuasaan dengan segala caranya ternyata menghasilkan kepahitan di pihak yang kalah. Kekalahan itu membekas karena perang olok2, perang saling ejek hingga merasuk ke dalam hati. Setidaknya itu yang terjadi di akar rumput.

Irisan perebutan dua kubu itu bercampur dengan kelompok yang berebut pengaruh dan kepentingan.  Kelompok HTI yang ingin mengganti sistem NKRI dengan sistem khilafah bergerilya mendesak kepentingannya.  Mereka sangat membenci Jokowi. Jokowi membunuh organisasinya dengan mengeluarkan Perppu Ormas anti Pancasila.

Hampir 5 tahun Jokowi memimpin,  pembelahan dua kutub anak bangsa ini semakin mengkristal.  Banyak sekali pihak yang memelihara perpecahan ini.  Mereka adalah kelompok usang rezim Orba, kelompok HTI dan simpatisannya,  kelompok mafia yang dilibas Jokowi dan tentu saja kompetitor Jokowi dalam perebutan kekuasaan.

Ketika Jokowi memutuskan  kyai Maruf Amin sebagai cawapresnya saya sangat terkejut.  Saya terdiam beberapa lama.  Ingatan saya belum hilang tentang sosok sepuh ini.  Bayangan dirinya yang mengharu biru bergandengan tangan dengan HRS saat mengeluarkan fatwa MUI menggilas Ahok belum hilang dari benak saya.  Jujur saya terguncang dengan pilihan Jokowi ini. 

Secarik kertas fatwa MUI dari Kyai Maruf Amin membuat Ahok jadi bulan-bulanan lawan politiknya.  Kesaksian memberatkan KMA membuat hakim mengirim Ahok ke penjara 2 tahun meskipun ada kesaksian meringankan dari Kyai Ahmad Ishomudin. Ingatan saya tentang KMA sangatlah buruk. 

Bukan karena secarik kertas fatwa itu,  tetapi karena Ia tidak berlaku adil dalam menyikapi kasus Ahok.  Hak tabayun yang seharusnya diberikan dienyahkan oleh KMA. Sekonyong2 tanpa diberikan hak membela diri,  vonis penista agama keluar secepat kilat. KMA gagal berlaku adil dan terjebak partisan.  KMA terperosok menjadi bagian dari keterperosokan permusuhan anak bangsa.

Lama saya renungkan pilihan Jokowi ini.  Mengapa KMA?  Ada yang bilang itu untuk meredam gelombang stigma anti Islam yang melekat pada Jokowi.  Ada yang bilang untuk menyatukan koalisi 9 parpol.  Ada yang bilang untuk merebut suara kelompok NU yang gemuk. 

Saya mencoba melihat kepingan-kepingan kebijakan yang selama 4 tahun ini dibuat Jokowi.  Dua tangan yang dimilikinya tidak digunakannya untuk memukul lawan-lawannya.  Kepingan-kepingan rangkulan Jokowi lebih dominan daripada pukulan kepada orang yang membecinya. 

Jokowi dengan senyum hangat merangkul rakyatnya di Sumbar meskipun Sumbar pada pilpres 2014 menolak Jokowi. Jokowi dengan kelapangan dada dan keberanian luar biasa dengan anteng melangkah menuju panggung aksi 212 Monas menyapa hangat rakyatnya yang setiap hari mengumpat dan mengolok2nya.

Jokowi tidak membalas pribadi fitnah,  ejekan,  olok-olok orang yang membencinya sekalipun kehormatan Ibu Kandungnya dinistakan. Jokowi membalasnya dengan terus bekerja fokus membangun Indonesia dari Sabang Merauke dari Miangas ke Rote.

Ia diam dan fokus pada hasil.  Tidak menggubris hasutan dan kebencian lawan2nya.  Jokowi hanya menghunus pedang pada kelompok radikal yang ingun mengganti dasar negara ini.  HTI salah satu yang kena pedang keberanian dan ketegasan Jokowi. Jokowi tahu kapan menggunakan pedang, kapan menggunakan ketegasan tanpa ragunya.

Jokowi terus menebar senyum dan menyapa keliling Indonesia saban hari saban waktu.  Jika Gus Dur pada awal menjadi presiden berkeliling dunia untuk diplomasi mendukung NKRI agar tidak pecah,  Jokowi berkeliling Indonesia untuk menjahit kembali tenun kebangsaan yang terlanjur sobek.

Sifat genetika genuine Jokowi ini memudahkannya untuk merangkul semua anak bangsa.  Ia tidak memasang wajah sangar pada orang yang membencinya.  Ia meyakini bahwa persatuan adalah modal utama dan terbesar bangsa ini. Persatuan itu selalu yang diucapkan Jokowi.

Jokowi sadar untuk persatuan Indonesia maka harga yang harus dibayarnya adalah Ia harus bisa menjadi bapak segala anak bangsa.  Anak2nya yang nakal tidak dipukulnya malah dirangkulnya agar bersama-sama membereskan masalah bangsa.

Politik rekonsiliasi Mandela diadopsi Jokowi.  Memaafkan dan melupakan.  Dua kata kunci ini menjadi pendorong bersatunya kembali seluruh anak bangsa.

Perlu dua hari buat saya bisa menerima dan memaafkan Kyai Maruf Amin atas dosanya pada Ahok.  Tidak mudah buat saya melupakan rekam jejak KMA yang berkontribusi besar memenjarakan Ahok. Saya punya peluh dan derita pengorbanan yang panjang melawan fatwa MUI ini dijalanan. Hadap-hadapan dengan mereka,  muka ketemu muka.

Jokowi dan Ahok sekali lagi menjadi teladan dalam membangun bangsa.  Keduanya percaya bahwa keutuhan dan persatuan bangsa adalah kunci kemajuan bangsa.

Hari ini saya menerima KMA dan memaafkan kesalahannya. Secara etis dan moral saya juga harus bisa menerima dan memaafkan semua orang yang pernah berkontribusi memenjarakan Ahok.  Tidak peduli HRS,  Amien Rais,  Al Khtatkhta, Zumi Zola,  Novel atau PA 212

Politik rekonsiliasi Jokowi menyongsong kompetisi pilpres 2019 adalah obat kepahitan,  kebencian dan perpecahan sesama anak bangsa. Dan jika ini berhasil,  Indonesia akan menjadi rumah besar yang hangat dan damai bagi semua anak bangsa.

Memaafkan dan melupakan itu kuncinya. 

Salam perjuangan penuh cinta

Birgaldo Sinaga

Tidak ada komentar:

Posting Komentar