Assalamualaikum.
Re share parenting
by ibu Elly risman
(Senior Psikolog dan Konsultan, UI)
Pernah mencoba membetulkan keran sendiri? Pasang lampu bohlam sendiri?
Ganti ban motor atau mobil yang bocor di jalan?
Me-lem sesuatu yang sdh terlanjur patah?
Membuka botol kaca yang Allahu akbar sangat susah di buka?
Memasak sambil menggendong anak bahkan di sambil lg dg menaruh pakaian kotor ke mesin cuci?
Menyetrika sambil bicara dg mertua di telfon dan kaki menggoyang2kan bouncer agar bayi tidak bangun dan menangis tanpa henti?
Hidup ini penuh masalah, cobaan, kesulitan, tantangan
dan pekerjaan susah yang kadang mau tidak mau hrs kita jalani.
Di Indonesia enak. Tkg ledeng terjangkau, pembantu ada, supir banyak yang punya.
Yang pernah (atau masih) tinggal di negara maju tahu betul bahwa pelayan dan pelayanan itu diluar jangkauan saku kita pada umumnya.
Laah yang bekerja saja belum tentu bisa membayar mereka, apalagi yang keluar negri nya untuk ngejar S3...
Kita tidak tahu anak kita terlempar di bagian bumi Allah yang mana nanti, izinkan dia belajar menyelesaikan masalahnya sendiri.
Jangan memainkan semua peran, ya jd ibu, ya jd koki, ya jd tkg cuci. Ya jd ayah, ya jadi tukang ledeng, ya jadi pengemudi.
Anda bukan anggota tim SAR, anak anda tidak dalam keadaan bahaya, berhentilah memberikan bantuan bahkan ketika sinyal S.O.S nya tdk ada. Jangan mencoba untuk membantu dan memperbaiki semuanya.
Anak mengeluh sedikit krn itu puzzle tidak bisa nyambung menjadi satu, ‘sini..ayah bantu’. Botol minum ditutup rapatnya sedikit susah, ‘sini.. mama saja’.
Sepatu bertali lama di ikat, sekolah sdh hampir telat ..‘biar ayah aja deh yang kerjain’, kecipratan minyak sedikit ‘sudah sini, kentangnya mama saja yang gorengin’.
Kapan anaknya bisa? Jgn kan di luar negri, di Indonesia saja pembantu sdh semakin langka.
Kalau bala bantuan muncul tanpa adanya bencana, apa yang terjadi ketika bencana benar2 tiba?
Berikan anak-anak kesempatan untuk menemukan solusi mereka sendiri.
Kemampuan menangani stress, menyelesaikan masalah, dan mencari solusi itu keterampilan/skill yang wajib di miliki.
Yang namanya keterampilan/skill, untuk bisa terampil, ya hrs di latih.
Kalau tanpa latihan, lalu di harapkan simsalabim mereka jadi bisa sendiri??
Kemampuan menyelesaikan masalah dan bertahan dalam kesulitan tanpa menyerah bisa berdampak sampai puluhan tahun ke depan.
Bukan saja bisa membuat seseorang lulus sekolah tinggi, tapi juga lulus melewati ujian badai2 pernikahan dan kehidupannya kelak.
Tampaknya sepele sekarang..secara apalah salahnya sih kita bantu anak?
Tapi jika anda segera bergegas menyelamatkannya dari segala kesulitannya, dia akan menjadi ringkih .. dan mudah layu.
Susah sedikit... bantuan diminta.
Berantem sedikit ya sdh lah, cerai saja.
Sakit sedikit ngeluhnya luar biasa,
Masalah sedikit... bisa jd gila.
Kalau anda menghabiskan banyak waktu, perhatian dan uang untuk IQnya, habiskan hal yang sama untuk AQ nya juga.
AQ ? Apa itu? Adversity Quotient.
Adversity quotient menurut Paul G. Stoltz dalam bukunya yg berjudul sama, adalah kecerdasan menghadapi kesulitan atau hambatan dan kemampuan bertahan dalam berbagai kesulitan hidup dan tantangan yang dialami.
Bukannya kecerdasan ini yg jd lebih penting daripada IQ, untuk menghadapi masalah sehari-hari?
Bukankah itu yang di miliki Nabi Nuh sehingga tidak menyerah dalam dakwah beratus tahun lamanya?
Atau Nabi Yusuf yang mengalami banyak cobaan dalam hidupnya?
Dan Nabi Ayyub yang terkenal karena kesabarannya menghadapi masalah?
Dan Rasulullah Muhammad ketika ujian2 menimpa?
Perasaan mampu melewati ujian juga luar biasa nikmatnya. Merasa bisa menyelesaikan masalah, mulai dari yang sederhana sampai yang sulit, membuat diri semakin percaya bahwa meminta tolong hanya dilakukan ketika kita benar2 tdk lagi bisa.
Setelah di coba berkali-kali, berulang-ulang, tdk menyerah dalam waktu yang lama.
So izinkan anak anda melewati kesusahan.
Tidak masalah anak mengalami sedikit luka, sedikit nangis, sedikit kecewa, sedikit telat dan sedikit kehujanan. Akui kesulitan yang sedang dia hadapi,
Tahan lidah, tangan dan hati dari memberikan bantuan, ajari menangani frustrasi.
Kalau anda selalu jadi ibu peri atau guardian angel, apa yang terjadi jika anda tdk bernafas lagi esok hari?
Bisa-bisa anak anda ikut mati.
Sulit memang untuk tidak mengintervensi, ketika melihat anak sendiri susah, sakit dan sedih
Apalagi dg menjadi orangtua, insting pertama adalah melindungi, jadi melatih AQ ini adalah ujian kita sendiri juga sebagai orangtua
Tapi sadarilah hidup penuh dengan ketidakenakan dan masalah akan selalu ada.
Dan mereka harus bisa bertahan. Melewati hujan, badai, dan kesulitan, yang kadang tidak selalu bisa kita hindarkan.
"Permata hanyalah arang... yang bisa melewati tekanan dengan sangat baik"
====
An adversity quotient (AQ) is a score that measures the ability of a person to deal with adversities in his or her life. Hence, it is commonly known as the science of resilience. The term was coined by Paul Stoltz in 1997 in his book Adversity Quotient: Turning Obstacles Into Opportunities. To quantify adversity quotient, Stoltz developed an assessment method called the Adversity Response Profile (ARP).
The AQ is one of the probable indicators of a person's success in life and is also primarily useful to predict attitude, mental stress, perseverance, longevity, learning, and response to changes in environment.
=====
Pengertian Adversity Quotient
Adversity quotient menurut Paul G. Stoltz dalam bukunya adalah kecerdasan menghadapi kesulitan atau hambatan dan kemampuan bertahan dalam berbagai kesulitan hidup dan tantangan yang dialami.
Menurut Markman (2005) memberikan pengertian tentang kecerdasan mengatasi kesulitan sebagai berikut:
Adversity intelligence (AI) is the science of human resilience, people who succesfully apply AI perform optimally in the face of adversity the challenges, big and small, that confront us each day. In fact, they not only learn from these challenges, but they also respond to them better and faster (Peaklearning.com.2005).
Adversity Intelligence (AI) adalah pengetahuan tentang ketahanan individu, individu yang secara maksimal menggunakan kecerdasan ini akan menghasilkan kesuksesan dalam menghadapi tantangan, baik itu besar ataupun kecil dalam kehidupan sehari-hari. Kenyataan mereka tidak hanya belajar dari tantangan, tetapi mereka juga meresponnya secara lebih baik dan lebih cepat.
Menurut Stoltz (1997), definisi Adversity quotient dapat dilihat dalam tiga bentuk, yaitu :
· Adversity quotient adalah suatu konsep kerangka kerja guna memahami dan meningkatkan semua segi dari kesuksesan
· Adversity quotient adalah suatu pengukuran tentang bagaimana seseorang berespon terhadap kesulitan.
· Adversity quotient merupakan alat yang didasarkan pada pengetahuan sains untuk meningkatkan kemampuan seseorang dalam berespon terhadap kesulitan.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa
Adversity quotient adalah kemampuan seseorang dalam menghadapi berbagai kesulitan di berbagai aspek kehidupannya. Melalui Adversity quotient dapat diketahui seberapa jauh individu tersebut mampu bertahan dalam menghadapi kesulitan yang dialami, sekaligus kemampuannya untuk mengatasi kesulitan tersebut. Adversity quotient juga dapat ,meramalkan siapa yang akan tampil sebagai pemenang dan siapa yang akan putus asa dalam ketidakberdayaan sebagai pecundang. Selain itu, Adversity quotient dapat pula meramalkan siapa yang akan menyerah dan siapa yang aan bertahan saat menghadapi suatu kesulitan.
Dalam konsep Adversity quotient, hidup diumpamakan sebagai suatu pendakian. Kesuksesan adalah sejauh mana individu terus maju dan menanjak, terus berkembang sepanjang hidupnya meskkipun berbagai kesulitan dan hambatan menjadi penghalang (Stoltz, 1997). Peran Adversity quotient sangat penting dalam mencapai tujuan hidup atau mempertahankan visi seseorang, Adversity quotient digunakan untuk membantu individu memperkuat kemampuan dan ketekunannya dalam menghadapi tantangan hidup sehari-hari, sambil berpegang pada prinsip dan impian yang mejadi tujuan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar