Jumat, 04 Maret 2016

Negara yang Dianggap Paling Menganut Nilai Islami

http://sholawat.co/post/negara-manakah-yang-paling-islami-ini-menjadi-tamparan-keras-bagi-kita

NEGARA MANAKAH YANG PALING ISLAMI? INI MENJADI TAMPARAN KERAS BAGI KITA

Syaikh Muhamad Abduh, ulama besar dari Mesir pernah geram terhadap dunia Barat yang mengganggap Islam kuno dan terbelakang. Kepada Renan, filsuf Perancis, Abduh dengan lantang menjelaskan bahwa agama Islam itu hebat, cinta ilmu, mendukung kemajuan dan lain sebagainya.

Dengan ringan Renan, yang juga pengamat dunia Timur Tengah mengatakan (kira-kira begini katanya), “Saya tahu persis kehebatan semua nilai Islam dalam Al-Quran. Tapi tolong tunjukan satu komunitas Muslim di dunia yang bisa menggambarkan kehebatan ajaran Islam”. 

Dan Abduh pun terdiam. 

Satu abad kemudian beberapa peneliti dari George Washington University ingin membuktikan tantangan Renan. Mereka menyusun lebih dari seratus nilai-nilai luhur Islam, seperti kejujuran (shiddiq), amanah, keadilan, kebersihan, ketepatan waktu, empati, toleransi, dan sederet ajaran Al-Quran serta akhlaq Rasulullah SAW. 

Berbekal sederet indikator yang mereka sebut sebagai islamicity index mereka datang ke lebih dari 200 negara untuk mengukur seberapa islami negara-negara tersebut. 

Hasilnya ? 

Selandia Baru dinobatkan sebagai negara paling Islami. 

Indonesia? Harus puas di urutan ke-140. Nasibnya tak jauh dengan negara-negara Islam lainnya yang kebanyakan bertengger di rangking 100-200. 

Apa itu Islam ? 

Bagaimana sebuah negara atau seseorang dikategorikan islami? 

Kebanyakan ayat dan hadits menjelaskan Islam dengan menunjukkan indikasi-indikasinya, bukan definisi. Misalnya hadis yang menjelaskan bahwa “Seorang Muslim adalah orang yang di sekitarnya selamat dari tangan dan lisannya” itu indikator. Atau hadits yang berbunyi, “Keutamaan Islam seseorang adalah yang meninggalkan yang tak bermanfaat”.

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hormati tetangga ... Hormati tamu ... Bicara yang baik atau diam”

Jika kita koleksi sejumlah hadits yang menjelaskan tentang islam dan iman, maka kita akan menemukan ratusan indikator keislaman seseorang yang bisa juga diterapkan pada sebuah kota bahkan negara. Dengan indikator-indikator di atas tak heran ketika Muhamamd Abduh melawat ke Perancis akhirnya dia berkomentar, “Saya tidak melihat Muslim di sini, tapi merasakan (nilai-nilai) Islam, sebaliknya di Mesir saya melihat begitu banyak Muslim, tapi hampir tak melihat Islam”. 

Pengalaman serupa dirasakan Professor Afif Muhammad ketika berkesempatan ke Kanada yang merupakan negara paling Islami no 5Beliau heran melihat penduduk di sana yang tak pernah mengunci pintu rumahnya. Saat salah seorang penduduk ditanya tentang hal ini, mereka malah balik bertanya, “mengapa harus dikunci ?” 

Di kesempatan lain, masih di Kanada, seorang pimpinan ormas Islam besar pernah ketinggalan kamera di halte bis. Setelah beberapa jam kembali ke tempat itu, kamera masih tersimpan dengan posisi yang tak berubah. Sungguh ironis jika kita bandingkan dengan keadaan di negeri muslim yang sendal jepit saja bisa hilang di rumah Allah yang Maha Melihat. Padahal jelas-jelas kata “iman” sama akar katanya dengan amanArtinya, jika semua penduduk beriman, seharusnya bisa memberi rasa aman. Penduduk Kanada menemukan rasa aman padahal (mungkin) tanpa iman. Tetapi kita merasa tidak aman di tengah orang-orang yang (mengaku) beriman. 

Seorang teman bercerita, di Jerman, seorang ibu marah kepada seorang Indonesia yang menyeberang saat lampu penyebrangan masih merah. “Saya mendidik anak saya bertahun-tahun untuk taat   aturan, hari ini Anda menghancurkannya. Anak saya ini melihat Anda melanggar aturan, dan saya khawatir dia akan meniru Anda”

Sangat kontras dengan sebuah video di Youtube yang menayangkan seorang bapak-bapak di Jakarta dengan pakaian jubah dan sorban naik motor tanpa helm. Ketika ditangkap polisi karena melanggar, si Bapak tersebut malah marah dengan menyebut-nyebut bahwa dirinya habib. 

Mengapa kontradiksi ini terjadi ? 

Syaikh Basuni ulama Kalimantan pernah berkirim surat kepada Muhamamd Rashid Ridha ulama terkemuka dari Mesir. Suratnya berisi pertanyaan: “Limadza taakhara muslimuuna wataqaddama ghairuhum ?”, mengapa muslim terbelakang dan umat yang lain maju? 

Surat itu dijawab panjang lebar dan dijadikan satu buku dengan judul yang dikutip dari pertanyaan itu. Inti dari jawaban Rasyid Ridha, Islam mundur karena meninggalkan ajarannya, sementara Barat maju karena meninggalkan ajarannya. Umat Islam terbelakang karena meninggalkan ajaran iqra (membaca) dan cinta ilmu.

Tidak aneh dengan situasi seperti itu, Indonesia saat ini menempati urutan ke- 111 dalam hal tradisi membaca. 

Muslim juga meninggalkan budaya disiplin dan amanah, sehingga tak heran negara-begara Muslim terpuruk di kategori low trust society yang masyarakatnya sulit dipercaya dan sulit mempercayai orang lain alias selalu penuh curiga. 

Muslim meninggalkan budaya bersih yang menjadi ajaran Islam, karena itu jangan heran jika kita melihat mobil-mobil mewah di kota-kota besar tiba-tiba melempar sampah ke jalan melalui jendela mobilnya. 

Siapa yang salah ? 

Mungkin yang salah yang membuat survey. 

Seandainya keislaman sebuah negara itu diukur dari jumlah jama’ah hajinya pastilah Indonesia ada di ranking pertama.

 

*Di samping benar atau tidaknya ranking di atas, tetapi kita sebagai ummat Islam memang sudah seharusnya berbenah. Sejauh mana kita memberikan rasa aman kepada orang-orang di sekitar kita, kepada tetangga kita, kepada saudara seiman, kepada non muslim di sekitar kita. Sudah bukan saatnya lagi saling menghujat, saling membid'ahkan, saling mengkafirkan. Marilah kita semua saling mengingatkan dalam kebaikan. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan taufiq dan hidayahNya kepada kita semua. Dan sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita nabi Muhammad shollallahu 'alaihi wasallam.

© Sholawat.co 2015 - Tentang - Pengembang - Best Viewed: Latest Chrome

http://internasional.kompas.com/read/2014/06/10/2151008/Studi.Irlandia.Negara.Paling.Islami.di.Dunia

WASHINGTON DC, KOMPAS.com — Hossein Askari, seorang guru besar politik dan bisnis internasional di Universitas George Washington, AS, melakukan sebuah studi yang unik.

Askari melakukan studi untuk mengetahui di negara manakah di dunia ini nilai-nilai Islam paling banyak diaplikasikan. Hasil penelitian Askari yang meliputi 208 negara itu ternyata sangat mengejutkan karena tak satu pun negara Islam menduduki peringkat 25 besar.

Dari studi itu, Askari mendapatkan Irlandia, Denmark, Luksemburg, dan Selandia Baru sebagai negara lima besar yang paling Islami di dunia. Negara-negara lain yang menurut Askari justru menerapkan ajalan Islam paling nyata adalah Swedia, Singapura, Finlandia, Norwegia, dan Belgia.

Lalu, bagaimana dengan negara-negara Islam? Malaysia hanya menempati peringkat ke-33. Sementara itu, negara Islam lain di posisi 50 besar adalah Kuwait di peringkat ke-48, sedangkan Arab Saudi di posisi ke-91 dan Qatar ke-111.

Berdasarkan hasil penelitiannya, Askari mengatakan, kebanyakan negara Islam menggunakan agama sebagai instrumen untuk mengendalikan negara.

"Kami menggarisbawahi bahwa banyak negara yang mengakui diri Islami tetapi justru kerap berbuat tidak adil, korup, dan terbelakang. Faktanya mereka sama sekali tidak Islami," ujar Askari.

Askari menambahkan, justru negara-negara Barat yang merefleksikan ajaran Islam, termasuk dalam pengembangan perekonomiannya.

"Jika sebuah negara memiliki ciri-ciri tak ada pemilihan, korup, opresif, memiliki pemimpin yang tak adil, tak ada kebebasan, kesenjangan sosial yang besar, tak mengedepankan dialog dan rekonsiliasi, negara itu tidak menunjukkan ciri-ciri Islami," lanjut Askari.

Dalam melakukan penelitiannya, Askari mencoba membandingkan idealisme Islam dalam hal pencapaian ekonomi, pemerintahan, hak rakyat dan hak politik, serta hubungan internasional.
Hasil penelitian Profesor Askari dan Profesor Scheherazade S Rehman ini dipublikasikan dalam Global Economy  Journal.

Di Irlandia, diperkirakan sebanyak 49.000 warganya memeluk Islam. Dr Ali Selim, anggota senior Pusat Kebudayaan Islam Irlandia (ICCI), mengatakan, umat Muslim dan warga Irlandia lainnya bisa hidup berdampingan karena sama-sama memiliki kesamaan sejarah.

"Irlandia pernah menjadi wilayah jajahan dan banyak rakyat Irlandia menderita diskriminasi rasial dan selalu diasosiasikan dengan terorisme. Umat Muslim juga mengalami hal serupa," ujar Selim.

Selain itu, lanjut Selim, para imigran Muslim di Irlandia mendapatkan kesempatan yang sama untuk mengembangkan diri, termasuk dalam bidang ekonomi.

"Al Quran menganjurkan umat Muslim untuk hidup sejahtera dan Dublin merupakan salah satu pusat investasi Islam terbesar di Eropa," ujar Selim.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar