13 MARET 2015
DESY SETYOWATI
Ini Sebab Rupiah “Dibiarkan” Melemah
Bank Indonesia cenderung membiarkan rupiah melemah terhadap dolar AS. Kebijakan ini untuk menjaga agar defisit neraca transaksi berjalan tidak makin besar.
Bank Indonesia (BI) berulang kali mengatakan tetap berada di pasar untuk menjaga nilai tukar rupiah agar tidak bergejolak menghadapi dolar Amerika Serikat (AS).
Agaknya keberadaan BI di pasar keuangan tersebut tidak terlalu berpengaruh terhadap kurs rupiah. Sejak awal tahun, rupiah tercatat sudah melemah hingga 6 persen, sekaligus menjadi mata uang yang turun paling tajam di antara negara-negara Asia.
Menurut ekonom Universitas Indonesia Anton H. Gunawan, BI memang tidak terlalu mengkhawatirkan pelemahan rupiah. Apalagi di tengah tren “perang mata uang” global yang membuat banyak negara berupaya menurunkan nilai tukarnya guna meningkatkan daya saing di pasar dunia.
Bank sentral, kata dia, justru lebih memperhatikan defisit neraca transaksi berjalan yang sudah berlangsung sejak kuartal IV-2011.
Defisit terutama akibat kinerja EXPORT yang terus menurun. Bahkan sejak 2012, neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit.
Penyebabnya, ekspor Indonesia selama ini mengandalkan produk komoditas yang di pasar internasional harganya cenderung turun.
Kinerja perdagangan yang terus turun tersebut tidak mampu mengimbangi defisit neraca jasa dan neraca pendapatan yang melebar. Dalam laporan Neraca Pembayaran Indonesia yang dirilis BI, neraca jasa dan neraca pendapatan memang senantiasa mengalami defisit.
Defisit neraca jasa akibat meningkatnya pembayaran jasa transportasi barang impor dan jumlah warga negara Indonesia yang bepergian ke luar negeri. Sedangkan defisit neraca pendapatan lantaran peningkatan dividen dan bunga utang yang diperoleh investor asing yang menanamkan modalnya di Indonesia.
Pada 2014, defisit neraca transaksi berjalan tercatat sebesar 2,95 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) sedikit turun dibandingkan defisit pada 2013 sebesar 3,18 persen. Tahun ini, sejumlah ekonom memperkirakan defisit akan berada di kisaran 3 persen, sedangkan BI memprediksikan berada di angka 3,2 persen.
“BI sangat takut dengan defisit neraca transaksi berjalan (melonjak),” kata Anton di Financial Club, Graha Niaga, Jakarta, Kamis (12/3).
Kekhawatiran BI pun sudah terlihat dalam kebijakan moneternya sejak 2013, yakni dengan beberapa kali menaikkan suku bunga acuan (BI Rate). Kebijakan ini diambil karena kinerja ekspor yang terus turun, sehingga BI mesti membuat kebijakan yang dapat memastikan aliran modal dapat masuk ke pasar keuangan dalam negeri (capital inflow) yang dapat dipakai untuk membiayai defisit tersebut.
Namun BI tidak dapat terus menggunakan instrumen suku bunga lantaran besarannya yang sudah cukup tinggi. Selain itu, tren sejumlah negara yang menurunkan suku bunganya dan melemahkan mata uangnya terhadap dolar AS ikut menekan rupiah.
“BI tidak punya instrumen lain untuk mengatasi defisit neraca transaksi berjalan, selain membiarkan rupiah melemah,” kata Anton. “Tampaknya BI lebih comfort (nyaman) dengan rupiah di atas Rp 13.000.”
Apalagi, tingkat BI Rate yang tinggi bertentangan dengan keinginan pemerintah yang meminta penurunan suku bunga supaya memacu pertumbuhan ekonomi yang tahun ini ditargetkan sebesar 5,7 persen. (Baca: BI: Rupiah Rp 13.000 Masih Sesuai Fundamental Ekonomi)
“Jadi BI memang lebih mencoba mengikuti, tapi jangan sampai rupiah melemah terlalu kaget. (Kebijakan) itu kelihatannya yang akan dilakukan BI ke depan,” kata Komisaris Independen Bank Mandiri itu.
Hal ini pun terlihat dari cadangan devisa per Februari 2015 yang masih menunjukkan peningkatan dari US$ 114,25 miliar pada Januari menjadi US$ 115,53 miliar.
Sasaran BI menjaga nilai rupiah yang lemah, kata Anton, utamanya adalah untuk menekan impor, terutama impor konsumsi.
Bukan ingin menaikkan ekspor yang mayoritas berupa produk komoditas. Ini sudah terlihat dalam laporan Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa impor barang konsumsi yang turun 20,25 persen pada Januari.
Tapi yang jadi persoalan adalah bagaimana pemerintah dapat menahan impor bahan baku dan barang modal yang diperkirakan meningkat pada semester II nanti. Ini seiring dengan mulai berjalannya proyek-proyek infrastruktur milik pemerintah.
Dalam hal ini, pemerintah pun sudah menyiapkan sejumlah langkah yang dapat membantu BI menjaga supaya defisit neraca transaksi berjalan tidak bertambah. Ada delapan strategi yang disiapkan pemerintah:
1. Mengenakan bea anti dumping dan bea masuk pengamanan sementara sebagai respons jika terdapat lonjakan impor barang tertentu serta penyederhanaan prosedur dan mekanisme pengembalian.
2. Insentif pajak (tax allowance) bagi perusahaan yang minimal 30 persen produknya untuk ekspor.
3. Insentif PPN bagi perusahaan galangan kapal.
4. Meningkatkan komponen biofuel agar impor BBM berkurang.
5. Insentif pajak bagi perusahaan asing yang tidak mengirimkan 100 persen dividennya ke negara asal.
6. Merancang formulasi pembayaran pajak pemilik atau perusahaan pelayaran asing.
7. Mendorong BUMN membentuk reasuransi.
8. Mendorong dan memaksa proses transaksi di dalam negeri menggunakan rupiah.
Kepala Ekonom Bahana TCW Investment Budi Hikmat mengatakan, yang perlu dilakukan pemerintah saat ini adalah memperkuat daya tahan dan daya saing perekonomian dalam negeri. Caranya, dengan membenahi
A. Infrastruktur,
B. Transportasi,
C. kualitas Sumber Daya Manusia,
D. mencari alternatif energi.
“Berita baiknya, banyak perusahaan batubara yang beralih dari mengekspor komoditasnya menjadi pemasok listrik dengan membangun pembangkit di mulut tambang,” tutur dia.
Editor: Aria W. Yudhistira
© KATADATA 2014. ALL RIGHT RESERVED.
ShareThis Copy and Paste
- See more at:
http://katadata.co.id/berita/2015/03/13/ini-sebab-rupiah-%E2%80%9Cdibiarkan%E2%80%9D-melemah#sthash.KgNIH5pk.dpuf
http://katadata.co.id/berita/2015/03/13/ini-sebab-rupiah-%E2%80%9Cdibiarkan%E2%80%9D-melemah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar