Senin, 07 Agustus 2017

Passion and Automation

*PASSION & AUTOMATION*
(by : Lyra Puspa)*

Menjalankan bisnis yang bersumber dari passion kerap kali mendorong kita untuk menjadi passionate dan menjaga preserverance. Grit, dalam istilah positive psychology yang dipopulerkan Angela Duckworth.

Namun passion ini ada kalanya menggoda kita untuk menjadi terlalu "into it", sehingga sebagai pebisnis kita menjadi "in the business". Sibuk menjadi CeO (Chief Everything Officer) dan terjebak menjadi Self Employee. Akibatnya, passion yang semula melahirkan lonjakan demi lonjakan dopamine dan noradrenaline sehingga memunculkan Flow State yang penuh inovasi dan dedikasi, justru memunculkan banjir cortisol manakala Business beralih menjadi Busyness dengan kesibukan yang tiada henti mendera.

Perbedaan tegas antara pedagang dan pengusaha terletak di titik ini. Manakala keduanya sama-sama mengukur kinerjanya dengan revenue dan profit, pedagang terjebak di dalam micromanaging sementara pengusaha membangun automation.

Business Automation pada dasarnya dibangun dengan System dan People. People yang dimaksud bukan hanya serombongan orang yang siap menjalankan instruksi kita, sehingga selamanya tergantung pada kita. Sama sekali bukan. Justru utamanya adalah membangun jajaran leader yang mampu menterjemahkan visi dan values perusahaan menjadi serangkaian strategi dan action.

Maka untuk membangun Automation dibutuhkan kualitas leadership yang berbedanpada sang founder. Menjadi kritikal bagi setiap pengusaha untuk bertransformasi dari CeO (Chief everything Officer) menjadi real CEO (Chief Empowering Officer). Pengusaha yang CEO paham betul bahwa tanpa membangun jajaran leader yang berdaya maka automation tidak akan pernah optimal. Tanpa leader yang berdaya, maka setiap keputusan dan action sekecil apapun membutuhkan kehadiran kita, sehingga kita sebagai founder tak akan mampu fokus pada visi dan pemikiran strategik.

Passion penting. Namun terlalu passion dan cinta pada apa yang kita jalankan kadang membuat kita enggan melepaskan authority dan control hingga hal terkecil. Akibatnya, bukan saja kita menebar stres dan cortisol pada diri kita kepada seluruh organisasi, bahkan pada saat yang sama tim tidak berkembang potensinya secara optimal. Bayangkan betapa banyak potensi otak organisasi yang terhambat hanya karena ego kita untuk mengatur dan dituruti.

Oleh karenanya, menjaga Coach Position - obyektivitas dan netralitas berjarak - terhadap passion, bisnis, dan jajaran leader kita sendiri menjadi sangat vital. Gaya kepemimpinan kita yang lebih banyak mendengar, memberdayakan, mengelaborasi, dan memberi ruang tumbuh seluas mungkin bagi leader dan tim menjadi sebuah kebutuhan. Gaya kepemimpinan inilah yang saya sebut Coaching Style Leadership.

Manakala kita konsisten menjalankan Coaching Style Leadership dalam membangun Automation, bersiaplah terkejut-kejut dengan hasilnya. Sebagaimana saya sebagai CEO juga terkejut-kejut dengan pencapaian para leader di Veltica Digital Academy, yang dalam ketenangan tanpa banyak pengawasan mampu mengawal program Google Gapura di 10 kota se-Indonesia bersama para Faculty Member Veltica yang cihuy dan keren abiz  Chandra Iman Irzan Nurman Erri Ergo.

Padahal di saat yang sama saya justru tengah mensertifikasi para coach baru para program ACTP Ericksonian Coaching di Vanaya Coaching Institute. Padahal lagi, seluruh tim Veltica adalah 100% millenials.

Dari lapangan saya belajar, betapa ternyata disiplin pada state CEO (Chief Empowering Officer) membuka ruang belajar dan aktualisasi diri yang luas pada para leader millenials. Karena rasa saling percaya dan komunikasi bermakna melalui coaching mendorong oxytocin dan dopamine mengalir kencang mewujud menjadi High Trust Environment. Dan high trust ini pada gilirannya menjelma menjadi High Performance Culture yang sesungguhnya adalah jejaring Flow State dan Growth Mindset pada setiap anggota tim secara massive, terstruktur, dan sustainable. Maka, bukankah leader dan tim yang handal seperti ini yang kita impikan ?

Bisnis adalah marathon. Passion adalah bahan bakar kita sehingga mampu memiliki Preserverance untuk berlari jarak jauh. Namun Passion perlu didampingi dengan Automation melalui Empowerment. Sehingga kita tidak berlari marathon sendirian dan tersungkur di tengah jalan kelelahan. Namun kita justru semakin tangguh untuk berlari jauh berkat support system tim dan organisasi yang kokoh dan berdaya.

*Penulis adalah President Vanaya Coaching Institute, CEO Veltica Digital Academy, dan penggiat Neurosains Terapan Bisnis & Organisasi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar