Senin, 23 November 2015

Setya Novanto, Luhut, Chalid dan KMP

"Saya harus pinter seperti Jokowi 🙏🙏🙏"

Jokowi Di atas Angin, Paksa KMP Bela Setya Novanto, Luhut Terperangkap

22 November 2015 00:33:44

Jokowi marah besar atas pencatutan namanya. Reaksi itu disetujui publik dan itu tidak berlebihan. Di sini Jokowi mulai di atas angin. Simpati publik mengalir deras kepadanya sebagai pihak yang dizalimi. Reaksi Jokowi selanjutnya terukur, pas, tepat dan cerdas. Dia tidak mau melaporkan si pencatut kepada polisi langsung. Bola liar dilempar Jokowi lebih dulu kepada Mahkamah Dewan Kehormatan (MKD) di DPR. Kepada MKD, Jokowi bersuara merdu: ‘Ia Jakowi sangat menghormati dan percaya kepada MKD’.

Jokowi yang cerdas, tahu betul siapa itu MKD. MKD itu adalah ‘Mahkamah Kepura-puraan Dewan’. Sebuah Mahkamah Pembela Novanto. Makanya Jokowi mengatakan ‘menghormati dan mempercayai’-nya. Kata ‘menghormati’ di sini berarti menghargai keberadaan MKD dalam arti sesungguhnya agar publik mengamini reaksi Jokowi dan tidak mencelanya. Namun di waktu bersamaan Jokowi mengatakan ‘mempercayai’ MKD. Di sini Jokowi bermain cerdas. Mempercayai MKD berarti percaya bahwa MKD itu akan membela Novanto dan mengadakan sidang penuh drama semu.

Lewat Jusuf Kalla yang ikut namanya dicatut, Jokowi memancing ‘darah muda’ KMP seperti Fadli Zon dan Fahri Hamzah. Kalla bermanufer, mencoba menggaruk kembali emosi lama mengerek kembali perseteruan KIH vs KMP. Sejumlah politisi PDIP sengaja memancing emosi Aburizal. ‘Awas, PDIP akan mengambil alih posisi ketua DPR’. Pancingan itu menyinggung harga dirinya. Ketua DPR itu adalah harga diri Aburizal Bakri yang termanifestasi dalam diri Setya Novanto. Maka tak berlebihan jika Aburizal Bakri mengatakan pelengseran Novanto dari jabatan ketua DPR adalah dosa. Haha, saat Aburizal dengan liciknya membuat gigit jari PDIP yang sebetulnya yang paling berhak mengambil posisi ketua DPR, itu bukan dosa. Saat terpojok, Ical mengeluarkan kata ‘dosa’.

Jebakan Jokowi yang melempar bola liar ke MKD dan memancing KMP membela Novanto berhasil. Kalkulasi Jokowi bahwa Aburizal Bakri akan menggerakkan KMP membela Novanto, sinyalnya sangat kuat adanya. Ical, panggilan Aburizal sudah mengeluarkan pernyataan bahwa KMP akan membela mati-matian Novanto. Di sinilah kecerdasan Jokowi terlihat. JIka KMP akan membela Novanto, otomatis kegeraman publik mengalir deras kepada KMP. Bagaimana mungkin Aburizal memihak orang yang jelas-jelas salah? Bagaimana mungkin KMP membela orang yang meminta ‘papa minta saham’. Itu adalah perilaku koruptif yang menjijikan rakyat. Membela orang yang berperilaku koruptif adalah sebuah kegilaan.

Jokowi memainkan psikologi massa. Pembelaan mati-matian KMP kepada Setya Novanto, justru diinginkan Jokowi. Jika KMP terus-menerus membela Setya Novanto, maka itu adalah bom waktu bagi mereka. Masyarakat semakin muak dan ujung-ujungnya reputasi partai-partai KMP semakin jeblok. Ini pukulan maut bagi partai-partai KMP yang menjagokan kadernya di Pilkada Desember mendatang. Begitu masyarakat mendengar calon dari Golkar, langsung muntah-muntah. Pada tataran ini, keuntungan ada di pihak PDIP. Demokrat sedikit kecipratan karena dia tidak pernah membela kadernya yang korup. Untuk tujuan jangka panjang, Jokowi mulai menanamkan kampanye terselubung memukul partai-partai KMP. Di samping itu, kasus Novanto, sebagai cadangan modal untuk bermanufer di masa mendatang.

Blunder Setya Novanto mencatut nama Jokowi jelas menguntungkan Jokowi. Kini Jokowi mempunyai alasan untuk menyikat para mafia di Freeport sekaligus mematikan libido para calo, makelar, para pemburu rente yang bermain di Freeport. Bahkan jika setelah kalkulasi sumber daya manusia Indonesia cukup mumpuni, maka Jokowi bisa memutuskan untuk tidak memperpanjang kontrak Freeport itu yang berakhir pada tahun 2021 mendatang. Moment kasus catut itu, datang tepat pada waktunya. Saat Freeport ‘keblinger’ ingin memperpanjang kontrak Freeport, sementara Jokowi mengatakan ‘tunggu’ hingga tahun 2019, kasus catut datang.

Apakah kasus catut itu tiba-tiba datang? Jelas tidak. Kepala BIN, Sutiyoso ikut bermain dengan Presdir Freeport, Maroef Syamsuddin, mantan wakil BIN. Skenario intelijen berbicara. Novanto yang ‘lihai bermain’ sudah lama diincar sebagai sosok perusak bangsa. Celakanya, Novanto lupa bahwa Syamsuddin, adalah orangya BIN. Novanto yang sudah terlena dengan jabatannya ketua DPR, dengan mudah masuk dalam skenario BIN dan direkam. Tugas Sutiyoso yang diemban dari Jokowi untuk melihat siapa yang bermain di Freeport berhasil dilakukan. Ternyata ‘malingnya’ dalam rekaman adalah: Luhut, Chalid, Novanto.

Kepercayaan Jokowi kepada Luhut sejak diangkat menjadi Kepala Staf Kepresidenan dan terakhir menjadi Menko Polhukam, ternyata disalahgunakan. Jokowi sudah tahu benar sepak terjang Luhut yang disebut-sebut ikut terlibat dalam bencana kebakaran hutan. Jokowi semakin tahu ‘kebusukan’ Luhut saat ada namanya disebut 16 kali oleh Novanto. Ternyata Luhut ikut ‘bermain’ dengan cantik. Revolusi mental yang sedang digalakkan oleh Jokowi, ternyata menjadi revolusi bermain cantik bagi Luhut.

Jokowi amat paham reaksi Luhut saat mengatakan bahwa soal kasus catut itu ‘saya dan kami tidak akan memperpanjang masalah’. Bukannya marah, tetapi memandang sepele kasus itu. Justru yang aneh, Luhut dengan panik menyebut Sudirman Said melapor ke MKD tidak atas restu Jokowi.
Padahal jelas sekali Jokowi dan Kalla mendorong Sudirman Said melapor ke MKD. Bahkan lebih geli lagi Luhut mengatakan bahwa laporan Sudirman itu ke MKD adalah aneh. Pesan pernyataan ini sangat vulgar sekali. Luhut tanpa malu membela Novanto karena takut luar biasa, kedoknya dibuka Novanto jika masalah diperpanjang.

Pembelaan Luhut atas Novanto itu jelas tindakan gila. Bagaimana mungkin seorang Menko Polhukam, yang namanya dicatut 16 kali tidak marah, tidak ikut juga melaporkan si pencatut ke MKD bahkan kepada polisi? Ini sebuah kegilaan. Namun Luhut rela melakukannya demi kepentingan bisnisnya. Kepentingan pribadi yang membuatnya masuk dalam perangkap. Luhut lupa daratan, bahwa ia sedang dipelototi oleh Jokowi. Masyarakat pun amat mencurigai Luhut sebagai ‘bagian pemburu rente’.

Perkembangan terakhir kasus catut itu melebar kemana-mana. Setya Novanto berbalik bermanufer dan menuduh Sudriman Said yang catut Presiden. Hal itu semakin memaksa Jokowi benar-benar berhitung terkait soal kasus catut itu akibat adanya keterlibatan Luhut yang selama ini orang kepercayaannya. Jokowi akan berhitung apakah melaporkan Novanto ke polisi seperti maunya Jusuf Kalla, membiarkannya mengawang-ngawang atau membiarkan Novanto menang atas Sudirman Said, mengorbankan Sudirman Said atau Luhut, atau dua-duanya. Dampak dan efeknya sedang dihitung dengan matang oleh para jenderal, politisi, ahli hukum, BIN yang ada di belakang Jokowi. Apapun keputusan Jokowi, indikasinya dia tetap di atas angin. Apapun keputusan MKD, Jokowi tetap di atas angin.

Terkait dengan Luhut, Jokowi yang sebetulnya sudah mau mengakhiri konsolidasi politiknya saat penggantian Budi Waseso pada Oktober lalu, kini kembali dipaksa melakukan konsolidasi strategis pada akhir Desember mendatang. Setelah Pilkada selesai, maka Jokowi akan mempertimbangkan penggantian Luhut sebagai Menko Polhukam pada reshuffle kabinet Jilid II dan bisa saja digantikan oleh Gatot yang sekarang dirindukan oleh Jokowi. Luhut yang juga pengusaha, tidak bisa membedakan instingnya yang mana kepentingan rakyat, dan yang mana kepentingan pribadi atau kepentingan bisnis. Keduanya dicampur-baur bagaikan kopi susu.

Jadi kasus catut itu menjadikan Jokowi di atas angin, memaksa KMP membela Setya Novanto secara membabi buta yang mengakibatkan KMP semakin terjerembab dan membuat Luhut masuk dalam perangkap, terbuka sendiri kedoknya.

Salam Kompasiana, Asaaro Lahagu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar