[Catatan Saya Belajar Psikologi & Neurosains #2]
*SPOILER ALERT*
Pada saat artikel ini ditulis, saya baru saja menonton film Dr. Strange 2 seminggu sebelumnya. Teman saya mengatakan bahwa film ini kurang berkesan superhero dan kurang memenuhi ekspektasinya, tetapi bagi saya film ini justru sangat menyenangkan untuk ditonton, terutama banyak sekali unsur-unsur absurd yang memantik imajinasi.
Dari film ini saya mendapatkan beberapa pembelajaran yang sangat relevan dalam kehidupan, terutama dari perspektif psikologi (sesuai dengan bidang keahlian saya), berikut ini beberapa pembelajaran yang saya temukan dalam film ini:
*1. Menolak kenyataan dapat menjerumuskan hidupmu.*
Masalah utama dalam film ini adalah Wanda yang tidak dapat menerima kenyataan bahwa Vision sudah meninggal dan ia tidak hidup bersama anak-anaknya. Hal ini membuat Wanda menggunakan kitab Darkhold yang meminta pengorbanan: jiwanya sendiri. Akhirnya Wanda berubah menjadi Scarlet Witch dan berusaha untuk mengambil kekuatan America Chavez (yang akan membunuh Chavez), supaya dapat berpindah ke universe lain dan hidup bersama anak-anaknya.
Gara-gara ini, Scarlet Witch telah membunuh banyak orang, bahkan para superhero di semesta lain pun dibunuh olehnya.
Lain cerita bila Scarlet Witch dapat menerima kenyataan sehingga tidak berusaha untuk berpindah ke semesta lain, mungkin huru-hara multiverse ini tidak perlu terjadi (tapi nanti Marvel Studio gagal dapat profit dong, hehehe).
Penerimaan terhadap kehidupan merupakan salah satu sikap yang penting untuk hidup bahagia dan sehat secara mental. Penerimaan (acceptance) seringkali dipahami membiarkan diri sendiri menderita, padahal bukan itu esensinya; sebaliknya, penerimaan justru mengakui bahwa pengalaman yang tidak menyenangkan itu ada tanpa berusaha untuk menyangkal atau mengubahnya.
Mengapa penerimaan ini penting?
Kita tidak mungkin bisa memiliki hidup yang 100% sesuai keinginan kita, dan bagaimanapun kita berusaha mencegahnya, akan selalu ada pengalaman yang tidak diharapkan yang hadir dalam hidup kita. Jika kita tidak dapat menerima pengalaman-pengalaman yang tidak diharapkan itu, maka dipastikan kita akan selalu terombang-ambing dengan kemarahan dan kecemasan. Masalahnya, memikirkan atau mencemaskan pengalaman yang tidak menyenangkan itu tidak akan mengubah kenyataan, sebab hal itu sudah terjadi.
Daripada kita menghabiskan energi untuk menolak kenyataan itu, lebih baik kita mencoba berdamai dengan situasi dan mengambil pembelajaran dari pengalaman ini.
Dalam psikologi, penerimaan merupakan strategi untuk meregulasi emosi kita ketika menghadapi masalah (Wojnarowska et al., 2020). Ketika kita berbicara tentang penerimaan, maka yang dimaksud adalah penerimaan seutuhnya, termasuk menerima emosi dan pemikiran kita sendiri terhadap pengalaman eksternal itu (Williams & Lynn, 2010).
Ada kenalan saya yang mengeluhkan kepada saya bahwa dia sudah belajar menerima, tetapi ia berkata bahwa kesedihan yang ia alami tetap terjadi. Saya katakan bahwa itu bukan menerima, sebab ketika kita mengharapkan emosi kita berubah dari sedih menjadi senang, maka itu sudah bukan penerimaan. Belajar menerima berarti menyadari emosi negatif kita yang muncul dan tidak berusaha untuk mengubahnya. Cukup kita sadari bahwa emosi negatif ini muncul karena kita belum mampu untuk menerima kenyataan, dan emosi negatif ini pun akan menghilang nantinya - sebab bukankah baik emosi positif maupun emosi negatif sesungguhnya hanya datang dan pergi?
Berharap emosi negatif untuk pergi dengan berusaha menerima, justru membuat kita semakin tidak menerima.
Penerimaan ini kemudian diadopsi menjadi sebuah terapi yang bernama "Acceptance and Commitment Therapy" (ACT) yang menggabungkan penerimaan dengan berkesadaran penuh (midnfulness). Misalnya kita bisa menyadari dan merenungkan tiga hal ini:
- Pemikiran ini muncul karena adanya sebab, maka dari itu ia juga akan berlalu,
- Perasaan ini muncul karena adanya sebab, maka dari itu ia juga akan berlalu,
- Sensasi ini muncul karena adanya sebab, maka dari itu ia juga akan berlalu.
Penerimaan juga bukan berarti bersikap toxic positivity, sebab kita tidak diminta untuk berpikir positif; kita hanya perlu menyadarinya apa adanya tanpa berusaha mengubahnya. Sadari sebagaimana adanya. Penerimaan juga bukan berarti menyerah dengan hidup. Sebaliknya, karena kita tahu ada situasi-situasi yang tidak dapat kita paksakan agar sesuai dengan keinginan kita, kita justru berusaha menyesuaikan diri untuk berdamai dengan kejadian itu agar tetap bisa melanjutkan hidup.
*2. Melarikan diri dari perasaan negatif juga bisa menjerumuskan hidupmu*
Ketika Dr.Strange berpindah ke semesta lain, ia bertemu dengan versinya di semesta itu, yang secara tidak formal disebut sebagai "Sinister Strange". Nah, Dr.Strange versi jahat ini ternyata juga sama seperti Wanda, ia menggunakan darkhold untuk mewujudkan keinginannya sehingga harus merugikan banyak orang.
Tetapi, untuk apa Dr.Strange versi semesta itu menggunakan darkhold?
Jika kita masih ingat di awal film, mantan kekasih Dr.Strange, yaitu Christine, akan menikah dengan pria lain. Strange nampaknya belum move on dan belum bisa menerima pernikahan itu, meskipun ia berusaha untuk tegar. Pada hari pernikahan Christine, ia bertanya kepada Strange, "Apakah kamu bahagia?"
Strange berusaha menjawab bahwa ia bahagia - yang ternyata hanyalah sebuah kebohongan. Di semesta lain, Strange akhirnya berusaha untuk memunculkan Christine dari versi yang lain agar dapat hidup bersamanya, yang akhirnya membuat ia harus menggunakan darkhold. Sialnya, hal itu justru menyebabkan incursion dan semestanya secara perlahan mengalami kemusnahan.
Mungkin kondisi semesta itu akan lain bila Strange bisa mengakui perasaan sedihnya dan menerima itu.
Dalam psikologi, kita tidak pernah diminta untuk menghindari emosi negatif secara total. Emosi negatif memang lebih banyak rugi daripada untungnya, tetapi bukan berarti tidak ada manfaatnya sama sekali; misalnya, emosi negatif justru bisa membantu kita untuk menjauhi hal-hal yang berpotensi merugikan kita (bayangkan kalau kita tidak bisa merasakan takut atau cemas, kita bisa saja melompat dari atas gedung tinggi hanya karena merasa penasaran dengan rasanya terbang).
Emosi negatif adalah hal yang alami terjadi dalam sistem psikologis kita. Berusaha mati-matian untuk menolak / melarikan diri dari emosi negatif justru hanya akan membuat kita berpikir pendek dan menggunakan cara-cara yang merugikan diri. Misalnya, meminum alkohol dalam jumlah besar sebagai pelarian dari perasaan sedih.
Menariknya, kemampuan untuk menerima emosi negatif justru membuat mental kita semakin sehat (Campbell-Sills et al., 2006). Berusaha untuk terus-menerus menolak emosi negatif justru akan membuat kita semakin frustrasi, karena hal itu adalah hal yang tidak mungkin; dan alih-alih membuat kita merasa semakin baik, justru usaha ini hanya membuat kita semakin merasa buruk.
Lalu apa yang harus kita lakukan ketika mengalami emosi negatif?
Menerima dan menyadarinya. Jika kita sedang merasa sedih, kita perlu mengakui dan menerima bahwa kita memang sedang merasa sedih. Setelah bisa menerimanya, maka kita bisa bertanya kepada diri sendiri, apa pesan yang hendak disampaikan oleh emosi negatif ini?
Sebagai contoh:
- emosi takut memberi tahu kita bahwa ada bahaya di depan mata yang harus dihindari,
- emosi cemas memberi tahu kita bahwa ada kemungkinan bahaya muncul di masa depan sehingga harus diantisipasi,
- emosi sedih memberi tahu kita bahwa ada hal yang berjalan tidak sesuai keinginan dan kita perlu menerimanya,
- emosi marah memberi tahu kita bahwa kita perlu melindungi diri, dan sebagainya.
(NB: meskipun marah atau cemas itu mengandung pesan, tetapi bukan berarti kita harus membiarkan diri marah-marah atau cemas secara berlebihan).
Lagi-lagi, bayangkan kalau Dr.Strange bisa menerima kenyataan bahwa Christine lebih memilih laki-laki lain untuk dinikahi, mungkin semestanya tidak perlu hancur. Lagipula, di Marvel versi komik, Strange akan menemukan kekasih lain setelah Christine menikah. Ternyata tidak seburuk yang dibayangkan, toh?
*3. Mensyukuri kondisi saat ini adalah yang terbaik.*
Bagian favorit saya dari film ini adalah bagian terakhir, ketika Dr.Strange bertanya kepada Wong, "Apakah kau bahagia?"
Dan pertanyaan ini dijawab Wong dengan begitu baik, "Kadangkala aku memikirkan tentang diriku di semesta lain, tetapi aku tetap bersyukur dengan semesta ini. Bahkan dengan kesulitannya sekalipun."
Jawaban dari Wong ini memberi pesan bahwa kita perlu belajar untuk menerima dan mensyukuri kondisi kita saat ini.
Bersyukur dapat diartikan sebagai sikap menghargai hal-hal baik yang sudah terjadi dalam hidup kita. Hal ini diperlukan sebab kita kerap lebih mengingat kejadian-kejadian buruk daripada yang baik. Neurosains menemukan bahwa emosi negatif seperti rasa takut dan cemas memicu peningkatan aktivitas di bagian otak yang berkaitan dengan ingatan. Adalah Elizabeth Kensinger (2007) dari Boston College yang melakukan pemindaian menggunakan functional magnetic resonance imaging (fMRI) dan menemukan bahwa ketika seseorang mengalami emosi negatif, aktivitas di otak bagian pemrosesan emosi seperti orbitofrontal cortex dan amigdala memiliki korelasi yang lebih kuat dengan hipokampus - bagian otak yang mengatur ingatan - daripada ketika seseorang sedang mengalami emosi positif atau netral. Penelitian ini menyimpulkan bahwa kita akan lebih mudah merekam dan mengingat kembali kejadian negatif dengan detil yang lebih baik, dibandingkan dengan kejadian yang menyenangkan atau netral.
Penelitian Ini menunjukkan fakta bahwa kita ternyata lebih mudah menderita daripada bahagia. Jika ada dua hal yang terjadi secara seimbang, yaitu kejadian menyenangkan dan tidak menyenangkan, maka otak kita akan lebih memilih untuk mengingat kejadian yang tidak menyenangkan itu. Bukankah ini menjadi tidak adil?
Hal inilah yang kemudian membuat kita membutuhkan rasa syukur. Bersyukur bukan berarti menipu diri merasa seolah-olah bahagia, karena memang bukan itu definisi dari bersyukur. Bersyukur artinya menyadari bahwa ada hal baik yang muncul dalam hidup ini, dan dengan demikian menyeimbangkan pikiran kita yang lebih mudah menyadari konten-konten bermuatan emosi negatif.
Maka tidak heran bahwa psikologi menyarankan kita untuk bersyukur. Seligman dan koleganya (2005) memberi tugas pada sekitar 400 orang partisipan untuk mencatat 3 hal baik yang terjadi setiap hari selama 15 hari. Percobaan ini menemukan bahwa 94% dari partisipan mengalami peningkatan emosi positif setelah melakukan praktik tersebut. Praktik ini kemudian dinamakan sebagai "three good things" (tiga hal baik). Kita dapat melakukannya juga dengan langkah-langkah berikut:
1. Pikirkan tiga hal yang berjalan baik hari ini,
2. Catat dalam kertas (atau diketik di ponsel), lalu
3. Renungkan mengapa hal baik ini bisa terjadi.
Praktik ini merupakan praktik untuk melatih rasa syukur kita, yakni dengan mengingat kembali hal baik yang sudah terjadi (sesuatu yang seringkali kita abaikan begitu saja).
Bersyukur sama sekali tidak sama dengan toxic positivity. Bersyukur tidak memaksa kita untuk menolak emosi negatif. Kita hanya perlu mengingat hal-hal baik, tanpa mengabaikan bahwa hal buruk memang terjadi; kita hanya memilih untuk fokus pada hal baik saja. Selain itu, kita harus mensyukuri hal baik yang benar-benar terjadi, bukan memaksakan diri untuk pura-pura positif. Dan ada satu catatan yang selalu saya ajarkan kepada mahasiswa saya di kelas: bersyukurlah terhadap hal baik yang memang terjadi, dan jika kamu memang sedang benar-benar sedih, jangan dipaksakan untuk mencari sisi positifnya. Terima dan sadari saja dulu.
Maka di sini Wong mengajarkan meskipun terdapat kesulitan dan ketidakpuasan dalam semestanya ini, ia tetap mensyukurinya. Jadilah seperti Wong.
*Penutup*
Dari film ini, kita bisa belajar bagaimana penerimaan atas hidup dan emosi bisa berperan besar terhadap hidup kita. Jika di film Dr.Strange ketidakmampuan untuk menerima dapat mendorong seseorang untuk mencari semesta lain, di dunia nyata mungkin tidak seperti itu; alih-alih memunculkan semesta lain, jangan-jangan justru memicu kita untuk berhalusinasi atau berdelusi?
Apa yang sudah terjadi tidak dapat diubah kembali. Jika kita tidak sengaja menanak nasi terlalu lama sehingga menjadi bubur, jangan menangisinya; beri saja daun seledri, suwiran daging ayam, dan kecap manis - rasanya tetap enak meskipun bukan nasi.
Sekian.
Jakarta, 29 Mei 2022
Referensi:
1. Wojnarowska, A., Kobylinska, D., & Lewczuk, K. (2020). Acceptance as an emotion regulation strategy in experimental psychological research: What we know and how we can improve that knowledge. Frontiers in Psychology, 11:242.
2. Williams J.C., & Lynn S.J. (2010). Acceptance: an historical and conceptual review. Imagination Cognition and Personality, 30(1), pp.5–56. 10.2190/IC.30.1.c
3. Campbell-Sills, L., Barlow, D. H., Brown, T. A., & Hofmann, S. G. (2006). Effects of suppression and acceptance on emotional responses of individuals with anxiety and mood disorders. Behaviour Research and Therapy, 44, 1251–1263. http://dx.doi.org/10.1016/j.brat.2005.10.001.
4. Kensinger, E.A. (2007). Negative emotion enhances memory accuracy: Behavioral and neuroimaging evidence. Current Directions in Psychological Science, 16(4), pp.213-218.
5. Seligman, M. E., Steen, T. A., Park, N., & Peterson, C. (2005). Positive psychology progress: Empirical validation of interventions. American Psychologist, 60(5), 410-421.