DAYA BELI TURUN?
oleh Rhenald Kasali
Saya kok ragu daya beli turun. Kajian yg kami lakukan pd dataran mikro menunjukkan uang sdg berpindah (shifting) dari kalangan menengah ke atas ke ekonomi rakyat. Dan para elit sekarang sedang sulit krn peran sbg "middleman" mereka pudar akibat disruptive innovation, lalu meneriakkan "daya beli turun".
Sy cek di tiga titik:
1. JNE. Ini adalah jaringan logistik yg marketsharenya sdh di atas PT Pos dan nama perusahaannya disebut oleh smua bisnis online. Di JNE Sy dapat data pegawainya ditambah terus utk melayani pengambilan dan pengiriman logistik. Penambahan SDM bbrp bulan terakhir sd 500 orang.
Tak banyak orang yg tahu bhw konsumen dan pedagang beras di kalimantan kini lbh bnyk membeli beras dan minyak goreng via tokopedia dari Surabaya, Lombok, Makasar dll. Juga tak bnyk yg tahu bhw angkutan kargo udara dari solo naik pesat utk pengiriman garmen dan barang2 kerajinan. Juga dari kota2 lainnya. Artinya usaha2 kecil dan kerakyatan mulai diuntungkan
2. Retailer. Aprindo melaporkan penjualan yg dicapai anggota aprindo semester 1 sales drop 20%. Ini mulai mengikuti pola angkutan taksi yg sdh turun skitar 30-40% tahun lalu. Apakah krn daya beli? Bukan, penyebabnya adalah shifting ke taxi online. Sama halnya retail dan hotel yg beralih dari konvensional ke online.
Artinya bukan daya beli drop, bukan juga krn keinginan membeli turun, melainkan terjadi shifting
3. Produsen besar FMCG. Hampir smua yg kami temui mengakui omset mrk naik 30/40%. Mulai dari tepung terigu kami cek ke Bogasari sd obat2an (consumer health) kaki cek ke Kalbe. Demandnya masih naik pesat. Tetapi produsen spt Gulaku mengaku drop krn kebijakan HET yg mulai dikontrol pemerintah.
Lalu siapa yg pendapatannya turun dan mengapa turun?
Jawabnya yg turun adalah grosir2 besar yg biasa membayar kepada produsen mundur 45 hari-3 bulan. Diantaranya adalah supermatket2 besar yg biasa "ngerjai" UMKM dgn menunda pembayaran. Kini dengan munculnya dunia online UMKM bisa langsung, maka supermatket besar kekurangan pasokan. Produsen besar juga menahan stoknya, lebih mngutamakan membuka jalur distribusi baru.
Berkat Tol laut kini para agen-agen penyalur FMCG yg berada di Lombok, NTT, Maluku, Sulawesi dll bisa dapat barang langsung dari produsen tanpa melalui middleman di JKT, Bandung, Surabaya dll.
Kini penerimaan para midleman besar di P Jawa itu kehilangan pasar. Demikian juga supermarket2 besar yg terbiasa menjual kpd para agen di masa lalu. Kini mereka juga dibatasinkrn parabprodusrn mulai menata jatingan disttibusinya berkat infrastruktur yg bagus dan kedatangan kapal yg lbh rutin (kebijakan tol laut).
Itulah yg mereka keluhkan dengan "DAya beli turun". In fact, pasar bergeser, pemerataan tengah terjadi walaupun blm smp ke bawah sekali (kelompok prasejahtera), namun "kekayaan" kelompok mapan di P Jawa (khususnya para middleman) tengah tergerus.
Smg kita bs sedikit lbh jernih melihat. Bhw pembangunan infrastruktur dan tol laut ini menimbulkan dampak shifting yg besar, namun dlm jangka panjang mudah2an baik bagi pemerataan kelas menengah. Tinggal tax policy utk menangani the plutocrats (kalangan superkaya yg jumlahnya sedikit tapi menguasai banyak).
Salam
===========================
PARA MAKELAR YANG TERGUNCANG..
Membaca tulisan pak Rhenald Khasali selalu menarik..
Dari tautan seorang teman, pak Rhenald berbicara tentang bagaimana paniknya para "middle man" atau para perantara yang selama ini menguasai ekonomi Indonesia.
Para perantara ini ada di semua sektor apa saja. Mulai dari proyek pemerintah dgn nama keren makelar proyek, sampai komoditi pokok pangan. Contoh middle man dalam komoditi beras ya seperti PT IBU itu lah..
Kenapa mereka panik ? Disini menariknya..
Kebijakan Jokowi dengan kontrol ketatnya pada berbagai bidang seperti penetapan Harga Eceran Tertinggi atau HET membuat keuntungan PT Gulaku drop. Jadi bisa dibayangkan keuntungan PT IBU yang kemaren bermain di beras juga akan mulai drop dengan kontrol ini.
Selain itu, berkat adanya tol laut maka para pedagang di wilayah timur Indonesia bisa mendapat barang langsung dari produsen tanpa melalui perantara dari Jakarta, Bandung dan Surabaya.
Di luar kebijakan Jokowi, pengaruh internet juga sangat kuat menghapuskan peran para middle man..
Pak Rhenald juga menyoroti dropnya pendapatan para grosir2 besar yang biasanya mengambil keuntungan dari UMKM. Grosir besar yang biasanya suka menekan harga beli dan baru membayar 4-5 bulan, sekarang banyak kehilangan pasar.
Para UMKM sudah mulai menggunakan online utk memasarkan barangnya dan produsen pun mulai mengatur jalur distribusinya.
Itulah kenapa banyak toko-toko yang berada di mall banyak yang tutup karena rantai produsen dan konsumen sekarang sudah bertemu tanpa perantara middle man.
Karena mulai terdesak ekonominya inilah para middle man serentak berteriak, "DAYA BELI TURUN !!"
Benarkah turun ?
Pak Rhenald mencoba mengamati dari beberapa titik, salah satunya adalah jasa pengiriman barang JNE. JNE mengalami situasi kegiatan pengiriman yang jauh lebih padat dari sebelumnya. Beberapa bulan terakhir, JNE sudah menambah pegawai sampai 500 orang.
Inilah yang disebut pak Rhenald sebagai shifting atau perpindahan posisi.
Ekonomi yang biasanya dikuasai oleh para perantara atau middle man itu - yang biasanya berkumpul di pulau Jawa - berubah dan bergerak merata.
Meskipun belum sampai ke tingkat paling bawah atau pra sejahtera, setidaknya ada geliat ekonomi di arus bawah karena mereka bisa langsung bertransaksi tanpa harus membayar biaya lebih kepada perantara.
Akibatnya, para middle man yang biasanya mendapat keuntungan besar dengan cuman modal uang dan jaringan itu pun teriak, "DAYA BELI TURUN !!"
Ya, daya beli mereka, bukan seluruh rakyat Indonesia..
Dan kemana kesalahan ini mereka timpakan ?
Ke Jokowi lah, siapa lagi. Kan harus ada yang salah..
Saya pernah menulis beberapa tahun lalu saat melihat apa yang dilakukan Jokowi.
"Jokowi ini ibarat seorang nahkoda yang membelokkan kapal besar bernama Indonesia yang selama ini bergerak ke jalur yang salah. Belokan tajam yang dilakukan Jokowi akan mengakibatkan perubahan besar2an dalam ekonomi Indonesia dan akan menimbulkan korban2.
Para korban ini adalah mereka yang selama ini mengambil keuntungan besar dari salah jalurnya kapal besar ini.."
Ah, saatnya minum kopi sore hari..
www.dennysiregar.com
=========================
Daya Beli Terpuruk, Tetapi Jalan Semakin Macet
Sabtu, 29 Juli 2017 | 12:03 WIB
Dalam CEO Forum Metro TV hari Kamis lalu (27/7/2017), saya sengaja mengundang Perry Tristianto sebagai narasumber bersama para pengusaha properti. Kami membutuhkan Perry untuk menguji kebenaran tentang lesunya pasar belakangan ini.
Seperti pengusaha ritel dan properti lainnya, ternyata Perry mengkonfirmasi lesunya pasar. “Sulit,” ujarnya. “Tahun lalu saja sudah susah, tahun ini lebih susah lagi. Dan tahun depan saya yakin akan semakin susah …". Tapi ujungnya Perry mengatakan, "semakin susah bagi kita tak mau berubah!”
Perry yang dikenal sebagai salah satu raja FO (Factory Outlet), tahu persis pendapatan dari penjualannya di beragam FO di Bandung semakin hari semakin turun. Tetapi, bedanya dengan pengusaha lainnya, ia tak mau menuding masalahnya ada di daya beli.
“Sudahlah,” ujarnya lagi di Rumah Perubahan. “Masalahnya bukan di daya beli, tetapi gaya hidup masyarakat yang terus berubah. Cepat sekali,” tambahnya.
Lawan-lawan tak kelihatan
Tentu saja untuk melakukan validasi ucapan Perry, kita membutuhkan science. Dan science membutuhkan data. Ilmu yang saya kuasai sesungguhnya bisa melakukannya.
Hanya masalahnya, lembaga-lembaga yang ditugaskan mengumpulkan data terperangkap dalam sektor-sektor yang bisa dilihat secara kasat mata. Dan sektor-sektor itu semuanya adalah konvensional.
Taksi konvensional, properti konvensional, ritel konvensional, keuangan dan pembayaran konvensional, penginapan (hotel) konvensional, otomotif yang dirajai pemain-pemain lama, media dan periklanan konvensional dan seterusnya. Hampir tak ada yang menunjukkan data substitusi atau prospek dari disruptornya. Ini tentu bisa menyesatkan.
Sampai kapanpun, kalau data-data yang dikumpulkan tetap seperti itu, maka kita akan semakin cemas, sebab faktanya dunia konvensional cepat atau lambat akan ditinggalkan konsumen baru, khususnya generasi millennials yang sekarang usianya sudah mendekati 40 tahun.
Generasi millennials itu mempunya cara pandang yang benar-benar berbeda dengan para incumbents yang telah bertahun-tahun menjadi market leader. Uang (daya beli) mereka memang belum sebesar generasi di atasnya yang lebih mapan, tetapi mereka bisa mendapatkan barang-barang dan jasa-jasa yang jauh lebih murah di jalur non-konvensional karena dunia ekonomi yang tengah peristiwa disruptif yang luar biasa.
Di dunia baru itu mereka dimanjakan pelaku usaha baru yang telah berhasil meremajakan business process-nya. Mereka bukan pakai marketing konvensional (4P) melainkan business model. Dan lawan-lawan tangguh pemain-pemain lama itu kini hadir tak kasat mata, tak kelihatan.
Ibarat taksi yang tak ada merknya di pintu, tanpa tulisan “taksi”, dan penumpang turun tak terlihat tengah membayar. Sama sekali berada di luar orbit incumbent, pengumpul data dari BPS dan lembaga-lembaga survei lainnya, ekonom, bahkan oleh para wartawan sekaligus.
Kita hanya disajikan angka-angka penurunan yang sudah diramalkan oleh penemu teori Disruption, Christensen (1997), bahwa data-data itu sungguh tak valid. Pernyataan Christensen itu bisa Anda buka di situs YouTube dalam suatu wawancara di kampus MIT.
Di situ Christensen menjelaskan pertemuannya dengan founder Intel, Andy Groove yang sempat meninggalkannya setelah sekitar 5 menit mengundang Christensen. Namun seminggu kemudian Andy menyesali perbuatannya dan kembali mengundang penemu teori Disruption itu. Apa alasannya?
“Saya akhirnya menyadari ucapan Anda bahwa pemain-pemain lama seperti Intel ini bisa terdisrupsi oleh pendatang-pendatang baru yang masih kecil-kecil karena mereka membuat produk yang simpel yang jauh lebih murah,” ujar Andy Groove seperti ditirukan Christensen.
“Look,” ujarnya lagi. “Saya membutuhkan data, tetapi dalam era disruption data yang ada sudah tidak bisa dipakai lagi karena data yang kami kumpulkan adalah data-data kemarin yang hanya cocok untuk melakukan pembenaran. Sedangkan kami butuh data untuk melihat apa yang tengah dan yang akan terjadi besok. Jadi yang saya butuhkan; kalau belum ada datanya adalah teori. Dan teori Anda menjelaskan proses shifting itu.”
Intel selamat berkat disruptive mindset-nya. Dan sekarang kita saksikan hal itu tengah terjadi secara besar-besaran dalam landscape ekonomi Indonesia. Semua orang bingung.
Tabloid Kontan menyajikan judul menarik, “Gejala Anomali Ekonomi Indonesia” sembari menunjukkan data-data penurunan pertumbuhan penjualan beragam sektor. Sayangnya kita hanya membaca sektor-sektor yang, maaf, konvensional.
Kita tak cermat membaca ketika penjualan sepeda motor turun sebesar 13,1 persen dan semen turun1 persen untuk semester 1 tahun ini (dibanding periode yang sama tahun lalu). Kemana ia beralih?
Juga tak kita baca bahwa pendapatan PT Astra International naik 30 persen sepanjang semester I tahun ini.
Yang lain kita mendengarkan pandangan-pandangan yang saling bertentangan. Teman saya pengusaha keramik terbesar di negeri ini mati-matian menjelaskan daya beli saat ini sedang drop. Tetapi Perry Tristianto mengatakan, “Dulu saja, Jakarta-Bandung atau sebaliknya cukup 2 jam. Sekarang 5 – 7 jam. Sulit bagi saya untuk mengakui bahwa daya beli turun?”
Saya tambahkan lagi, selama mudik lebaran kemarin (dipantau sekitar 4 minggu), penumpang yang terbang dari 13 bandara di lingkungan AP 2 naik sekitar 11 persen. Lalu di Bandara Halim Perdanakusuma saja naiknya hingga 25 persen.
Blame and Confirmation trap
Kejadian-kejadian ini jelas disukai para eksekutif yang bisnis-bisnisnya mengalami kelesuan. Maaf, maksud saya, kita tiba-tiba seperti punya jawaban pembenaran. Semacam konfirmasi. “Tuh kan, emang bener, daya beli turun. Jadi wajar, kan?”
Pada saat saya tulis kolom ini pun banyak yang menunjukkan gejala serupa: mainan anak-anak juga turun signifikan. Sama dengan data dari asosiasi pengusaha angkutan truk.
Mengapa kita tak belajar dari pertarungan mainan anak-anak antara Hasbro (yang naik terus penjualanannya karena bertransformasi dari mainan monopoli ke mainan transformer yang kaya "experience" dan online games) dengan Mattel (yang dari masa ke masa hanya membuat boneka Barbie).
Para penjaja mainan juga luput memonitor beralihnya anak-anak ke permainan yg menantang seperti gym anak-anak, parkour dan mainan lain yang kayaengagement.
Namun alih-alih membaca weak signals, hari-hari ini komentar yang sering kita dengar justru lebih banyak menghibur diri untuk membenarkan turunnya pencapaian target.
Lantas pertanyaannya, “memangnya kalau kondisi kembali membaik menurut versi itu, katakanlah sekarang daya beli benar-benar turun (bukan shifting), nanti manakala benar-benar sudah kembali lagi, katakanlah setahun dari sekarang , dan daya beli membaik besar-besaran, lantas penjualan produk/jasa Anda benar-benar kembali naik?”
Come on, my brother. Itu benar-benar perangkap. A confirmation trap karena puluhan pelaku usaha di bidang yang konvensional semua membenarkannya. Dan Anda pun memiliki satu buah perangkap lagi: A blame trap. Ya, kita terlalu senang mencari, pertama-tama, siapa yang bisa kita blame, kita salahkan, bukan memecahkan masalah yang sebenarnya.
Realitas lain
Kebetulan sejak buku Disruption beredar akhir februari lalu, di Rumah Perubahan kami mulai mengkaji kejadian-kejadian yang berada di luar orbit konvensional.
Kami mendengarkan, mengecek kebenaran, mengumpulkan fakta-fakta yang terjadi dalam aneka usaha yang berkembang di luar orbit yang kasat mata itu.
Kami membuat semacam case study dan menyebarkannya kepada sejumlah eksekutif. Sebulan sekali mereka datang dan mengikuti kuliah saya, membahas kasus-kasus itu sehingga mereka bisa membedakan mana kasus tentang bisnis yang salah urus dan mana yang terimbas disruption. Kami membagi ke dalam dua kelompok.
Kelompok pertama, adalah para CEO dan pejabat-pejabat Eselon 1, komisaris perusahaan, para rektor dan pemimpin-pemimpin strategis. Kami membahas bagaimana mereformulasi strategi di era ini. Lalu kelompok kedua diikuti orang-orang marketing dan sales, para CMO (Chief Marketing Officer).
Dalam setiap pertemuan, kami menghadirkan CEO –CEO yang melakukan disruption dan yang terdampak oleh disruption. Dari situ kami mengetahui apa yang setidaknya terjadi atau bakal terjadi.
Kami jadi mengerti mengapa penjualan sepeda motor turun, sementara kendaraan yang lain justru tengah kebanjiran permintaan. Kami jadi mengerti mengapa Sevel ditutup, mengapa supermarket-supermarket besar kini kesulitan akibat perbaikan distribusi yang dilakukan produsen-produsen besar.
Kami jadi mengerti mengapa suasana perdagangan di Harco (Glodok), Mangga Dua dan bahkan Pasar Tanah Abang serta Electronic City yang dulu ramai kini mulai terganggu.
Kami juga mengecek sektor-sektor non-konvensional. Tidak terlalu sulit karena dua start up lahir dari tempat kami, yang satu situs pengumpulan dana (crowd funding) dan satu lagi situs peternakan yang semua saling terjalin kerjasama dengan start up-start up besar Nusantara lainnya dalam bidang fintech dan retail. Kami bisa lebih mudah mengintip data-data mereka.
Dari berbagai pertemuan dengan para CEO itu, saya juga mendapatkan data-data yang bertentangan dengan pandangan tentang memudarnya daya beli.
Minggu lalu saya juga sempat makan malam dengan CEO perusahaan tepung tererigu besar yang langsung mengecek data produksi dari ponselnya. Ia mencatat kenaikan permintaan yang masih terus berlanjut meskipun hari raya telah lewat. Bahkan hari raya Lebaran saja ia mengaku sebagian besar pegawainya tak bisa libur demi mengejar produksi.
Tetapi yang lebih menarik adalah membaca data-data perputaran uang dalam bisnis non-konvensional yang akhirnya tampak dalam bidang logistik.
Saya memilih perusahaan yang paling sering disebut situs-situs belanja online semisal JNE atau JNT. Sekali lagi dari JNE saya mendapatkan data pengiriman barang yang sangat signifikan.
Tetapi yang mengagetkan saya terutama adalah perubahan pola penyaluran barang dan sentra-sentra pengiriman. Harus kita akui, shifting yang tengah terjadi sangat berdampak pada semua pemain lama.
Tak banyak yang menyadari bahwa beras dan bahan-bahan pokok yang dibeli para pedagang dan konsumen di Kalimantan, Sumatera dan Sulawesi saja sudah berawal dari Tokopedia dan Bukalapak.
Barang-barang pangan itu juga bukan lagi diambil dari sentra-sentra konvensional yang selama ini kita kenal. Petanya telah berubah.
Saya juga membaca bahwa perbaikan di sektor perhubungan, khususnya tol laut, jalan tol, pelabuhan-pelabuhan dan bandara-bandara baru telah membuat rezeki beralih dari pedagang-pedagang besar di Jakarta, Bandung, dan Surabaya ke berbagai daerah. Dari pengusaha-pengusaha besar ke ekonomi kerakyatan.
Saya ingin kembali ke rekan saya, Perry Tristianto, si raja FO yang tadi saya ceritakan. Karena penjualan FO sudah bukan zamannya lagi dan turun terus, ia pun telah mengalihkan usahanya dari ritel konvensional ke bidang wisata.
“Saya menemukan perbedaannya. Justru sekarang daya beli itu ada di segmen bawah. Mereka yang naik sepeda motor bersama keluarga mampu ke kawasan wisata, dipungut biaya, dan mengucapkan terima kasih. Sementara yang membawa mobil Mercedes komplain: mengapa harus bayar?"
Saya mengerti fenomena disruption ini masih sulit dipahami para incumbentsyang telah bertahun-tahun menjadi "penguasa" dalam bisnisnya masing-masing. Namun hendaknya kita sadar bahwa banyak hal telah berubah dan kita telah tinggal dalam kubangan aneka perangkap, di antaranya adalah "the past (success) trap".
Saya tak mengatakan daya beli telah tumbut besar-besaran. Saya hanya mengatakan terlalu dini menuding penurunan pendapatan dan penjualan karena daya beli. Mungkin bukan itu masalahnya.
Mari kita ikuti terus fenomena disruption ini.
Cak Fifin Senin, 31 Juli 2017 | 09:13
hal seperti ini tak ada di universitas, sebaiknya analisis p renald mendapat tempat secara meluas di kalangan mahasiswa dan pelaku usaha di tanah air karena daya beli masy dituding sebagai momok lesunya penjualan produk secara konvensional. anak sy saja sdh ndak prrnah datang ke rmh mkn utk membeli makanan kesukaannya. cukup dengan klik klik, mkanan datang dengan sendirinta. unusual...
(0) (0) Tanggapi Laporkan
Muliadi Jeo Senin, 31 Juli 2017 | 08:39
saya pernah membahas tentang perubahan customer behavior ini (yang tertarik bisa search youtube dengan keyword "icube customer 360 journey". pada dasarnya ini juga di alami di negara negara lain yang lebih maju seperti amerika. the core issue is customer is changing and technology fuel it.
Ribay Bayu Sabtu, 29 Juli 2017 | 22:41
daripada macet2an, bayar parkir, buang waktu & uang bensin, lebih baik belanja online. online shop pada perang harga & diskon gede2an, sbg konsumen saya merasa diuntungkan.
(4) (0) Tanggapi Laporkan