KING SALMAN dan INDONESIA
Pada kunjungan resmi Raja Salman ke Indonesia beberapa hari lalu, begitu gegap gempita sambutan mayoritas rakyat Indonesia terhadap beliau. Sebuah kehormatan besar bagi rakyat Indonesia, apalagi kita adalah negara berpenduduk muslim terbesar di dunia. Of course, we look up to King Salman.
Pemerintah berhasil mengundang beliau beserta jajaran untuk membalas kunjungan Indonesia ke Arab Saudi tahun 2015 yang lalu.
Ada beberapa hal yang menarik yang kita temui sekaligus sebenarnya memalukan bagi kita, tapi itulah potret bangsa Indonesia saat ini.
Pada saat foto-foto kedatangan di bandara Halim Perdana Kusumah diupload di account Instagram King Salman, ya ampuuun... itu banyak sekali orang-orang Indonesia yang nggak pakai rem berkomentar;
"King Salman jangan upload foto2 Hoax dg Ahok"
"King Salman itu Penista Agama menghina AlQuran Surat Al Maidah dibilang bohong, kenapa kamu temuin?"
"King Salman, itu kenapa mau foto dengan Megawati? Dia yang bilang di pidatonya di acara PDIP bahwa jangan ke arab-araban"
Dan ada 1000-2000an comments isinya cuma begitu.
Sampai ada yang comment,
"Hei, ini account IG King Salman. Kenapa Anda para orang Indonesia memelihara benci?"
Bahkwan ada pidato King Salman bahwa "Kita harus memerangi fanatisme yang mengancam kerukunan beragama dunia. Agama yang benar adalah agama yang memberikan perdamaian"
Ini menunjukkan bahwa Masyarakat Indonesia belumlah memiliki Wawasan dan Kecerdasan masyarakat Global.
1. Mayoritas masih picik. Karena kurang pintar, jadinya membutuhkan simbol untuk diikuti. Dalam segi agama, apa saja:
- Butuh sosok ulama untuk diikuti. Bukan utk diserap, dicerna dan dipahami intisari nasihatnya, tapi diikuti. Followers.
- Butuh simbol pakaian, bahwa saya muslim yg taat. Di Indonesia, contohnya, masih rancu mana yang memakai jilbab atas dasar keputusannya sendiri atau karena keharusan tekanan lingkungan. Sehingga kadang, sudah berbusana muslim, tapi masih berbicara kasar, masih iri dengki, masih sombong, masih tidak damai, dll. Di Indonesia ini masih banyak.
- Butuh simbol2 yang lain.
Pemahaman terhadap sunnah kadang overrule esensi inti dari Islam.
2. Karena kurang pintar, jadi gampang terprovokasi. Tipis kuping. Padahal tahunya juga bukan dari mata kepala sendiri.
Ya itu tadi karena Nggak Pinter. Nggak Pinter. Dan Nggak Pinter. Bahkan mungkin doyan untuk denger provokasi.
3. Karena nggak pinter, ngomong dan bicara dimanapun, apalagi di social media, duuh sudah kasarnya minta ampun. Typical orang dengan level pendidikan rendah. Nggak bisa memilih kata yang pantas. Berbicara juga tidak terstruktur.
Dulu pada saat jaman Soerharto mungkin nggak kelihatan karena media semua dibungkam. 20 tahun kemudian setelah internet dan social media arus bebas informasi terbuka, makin ketahuan portret kualitas bangsa Indonesia ini. Nggak tahu manner. Nggak tahu aturan.
Diundangnya tamu-tamu dari luar ini, sebetulnya adalah salah satu cara kita untuk belajar untuk membuka wawasan kita bahwa kita ini bagian dari masyarakat dunia. Mau tidak mau. Coba tanya kepada para muslimin muslimah yang tinggal di luar negeri. Menjadi warga minoritas dan harus menyesuaikan berinteraksi dengan berbagai macam suku bangsa. Mereka pasti menjadi muslim yang taat keluarganya dalam menjaga keimanan mereka agar dapat kuat dalam berinteraksi dengan masyarakat global.
Bukan sebaliknya seperti di Indonesia, corong teriakannya aja duluan tapi pemahaman agamanya sebenarnya dangkal sekali. Yang dibela hanya simbol dan fanatisme.
INDONESIA itu berperang melawan Kebodohan Intelektualitas Masyarakatnya sendiri. Supaya;
1. Akan lebih tahan dari Provokasi
2. Akan lebih Analitis dan Bijak
3. Akan lebih Proaktif Produktif bukan Destruktif
4. Akan lebih Percaya Diri
5. Akan lebih Sejahtera Ekonominya
6. Akan lebih Inovatif
Masa depan Indonesia ada ditangan Anda masing-masing. Buka wawasan. BANYAK BANYAK MEMBACA. Jangan kebanyakan cuma check status atau Trending Issues. Tapi banyak -banyak berpikir "WHY?" / "Mengapa bisa demikian?" .... dan dilanjutkan on "HOW?" / "Bagaimana next step untuk mewujudkan soluso bagi kepentingan bersama?"
Best,
Ardantya Syahreza
Tidak ada komentar:
Posting Komentar