Rabu, 29 Juli 2015

Success Story Prijono Sugiarto , CEO Astra International


Success Story Presiden Direktur PT Astra International Tbk Prijono Sugiarto
Presdir Astra International: Saya Bukan Superman

KOMPAS.com / KRISTIANTO PURNOMO

Kehidupan ini sangat indah. Tak semua perjalanan hidup manusia berjalan dengan mulus. Tentu banyak rintangan dan hambatan dalam meraihnya. Kuncinya adalah kesabaran, keteguhan hati, memiliki prinsip yang kuat, jujur, apa adanya, dan selalu melakukan inovasi. Di balik kesuksesan seseorang, ada kisah-kisah mengharukan dan menyedihkan. Semua itu adalah proses yang harus dilalui. Kompas.com meneruskan serial artikel "Success Story" tentang perjalanan tokoh yang inspiratif. Semoga pembaca bisa memetik makna di balik kisah ini.

Jakarta, KompasOtomotif - Rapat umum pemegang saham luar biasa (RUPSLB) PT Astra International Tbk di Hotel Four Seasons, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (1/3/2010), akhirnya memutuskan Prijono Sugiarto meneruskan jabatannya sebagai puncak pimpinan perusahaan. Keputusan ini ditopang oleh 80 persen pemegang saham perusahaan dan jabatan Presiden Direktur Grup Astra masih diemban Prijono sampai sekarang ini.

Alumnus Diploma Ing di Universitas Mechanical Engineering, Konstanz, Jerman, ini bertekad membawa Grup Astra terus berjaya. “Saya tidak mau berfilosofi. Saya berharap Astra bisa memberikan nilai tambah yang banyak di setiap area di mana kita ada. Community development, bisa menciptakan pekerjaan baru, jadi institusi percontohan, menjadi kebanggaan bangsa ini. Ini cita-cita mulia,” ucap Prijono ketika berbincang dengan KompasOtomotif, akhir Mei 2015 lalu.

Sampai saat ini, Prijono sudah menjabat sebagai Presiden Direktur Grup Astra selama lima tahun. Di bawah komandonya, Pak Pri, begitu ia akrab disapa, harus menentukan nasib kebijakan total 191 anak perusahaan yang bernaung di bawah Grup Astra. Lewat intuisi tajam serta disiplin yang kuat, Prijono berkomitmen menjadi pemimpin yang baik.

"Di Astra sudah ada sistem, selama kita patuh dan punya disiplin yang kuat, pasti kita bisa. Kita juga dibantu oleh delapan direksi, mereka yang punya portofolio terbaik, tentu kita jadi kuat. Saya bukan Superman yang berkerja sendirian," ucap Prijono.

Melalui sistem baku yang sudah tercipta di Grup Astra, ratusan anak perusahaan yang bernaung di bawahnya jadi tetap terpantau. Dalam menentukan pilihan atau keputusan, Prijono juga selalu berpegang teguh pada prioritas, mendahulukan mana yang lebih penting. Ketika melakukan rapat direksi, pembahasan langsung pada pokok permasalahan yang tengah dihadapi perusahaan, tidak bertele-tele dan menentukan upaya yang paling tepat sebagai kebijakan perusahaan.

"Kita bahas langsung, apa masalahnya, kalau meleset dari target apa penyebabnya, jangan menyalahkan. Problem utamanya, sanksi tadi yang dibantu direktur-direktur yang belum paham, Saya sebagai pimpinan memberi pengarahan," ucap Prijono.

Terus berkembang

Salah satu keinginan Prijono sebagai pucuk pimpinan Grup Astra adalah untuk bisa mengembangkan bisnis perusahaan selaras dengan kemajuan pembangunan Indonesia. Buktinya, sejak pertama kali Pri didapuk sebagai Presiden Direktur Astra lima tahun silam, total anak perusahaan di bahan naungan holding, tercatat 140. Sekarang, total perusahaan sudah mencapai 191, karena Astra terus mengembangkan usahanya.

"Dua tahun lalu, kita membeli jalan tol Kertosono-Mojokerto, kita juga membeli Pelabuhan Penajam Banua Taka di Kalimantan Timur, kami juga mulai merambah asuransi jiwa, menyelesaikan pabrik Honda (sepeda motor) yang keempat, ekspansi Daihatsu ke Karawang, dan pembangunan pabrik baru TMMIN (PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia) untuk perakitan mesin," papar Prijono.

Selain melakukan review pekerjaan bulanan masing-masing anak perusahaan, Grup Astra juga memiliki divisi khusus untuk pengembangan usaha. Selain merambah sektor bisnis baru yang potensial, salah satu fokus utama perusahaan adalah menjaga tongkat estafet kepemimpinan tetap terjaga, lewat kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) terbaik.

"Generation gap"

Meski masih bertahan sebagai salah satu perusahaan terbesar di Indonesia, perjalanan Grup Astra juga bukan tanpa kendala. Pada 1998, Grup Astra sempat nyaris bangkrut, dengan beban hutang 12 kali lebih besar dari ekuitas perusahaan. Sepanjang 1998 sampai 2004, perusahaan terus berusaha untuk keluar dari belenggu hutang, sampai akhirnya berhasil.

Tapi, menghadapi kondisi sulit ini, membuat Grup Astra minim merekrut tenaga kerja baru selama enam tahun. Akibatnya, tercipta jurang pemisah, antara generasi saat ini dengan SDM baru yang coba disiapkan untuk memimpin di masa depan.

Berbagai pengalaman berbagai bidang usaha yang pernah dipimpin Prijono selama menjadi direksi perusahaan berbuah hasil. Mulai dari otomotif, perkebunan, pertambangan, alat berat, sampai keuangan membuat Prijono matang dari segi pengalaman.

"Semua pengalaman ini merupakan job enrichment sendiri bagi saya. Ini juga yang saya lakukan pada tim di Astra, supaya generasi muda yang beruisa 30-40 tahun agar lebih siap nantinya, menghadapi tantangan ke depan. Tadinya orang jasa keuangan kita masukkan ke otomotif, sebaliknya orang otomotif dimasukkan ke jasa keuangan. Dari alat berat kita pindah ke kebun, kita juga punya asuransi, diputar, agar kompetensinya bertambah," ucap Prijono.

Karakter Presdir Astra

Bisa dibilang "copy-paste", namun dari beberapa sosok pucuk pimpinan perusahaan sebelumnya, karakter Presiden Direktur Grup Astra, relatif punya sifat sama di mata publik. Budaya perilaku dan santun sangat dijaga oleh Astra sebagai nilai kehidupan yang penting, terutama bagi pemimpin perusahaan. Budaya korporasi ini dianggap merupakan warisan dari William Soerjadjaja, sang pendiri perusahaan. Karakter ini juga kerap menguasai 50 persen dari karakter setiap pimpinan Grup Astra.

"Saya pernah diundang oleh pak Hermawan Kertajaya dalam suatu pertemuan, di sana ia menyampaikan kalau, 'ini teman saya CEO Astra yang seperti ini saja orangnya, biasa saja. Pakai kemeja putih biasa.' Kemudian saya tanya ke beliau, memang dari dulu CEO Astra tidak ada yang seperti ini pak? Kan kurang lebihnya sama," kata Prijono, bercerita.

Menurut Prijono, pemimpin yang baik itu adalah yang sederhana. Mau mendengarkan orang lain, tidak segan bertanya kepada bawahan yang memang lebih mengerti di bidang tersebut. Lewat bertanya, terjalin komunikasi, bukan lantas membuat pimpinan jadi terlihat tidak becus. Tapi, justru bisa membesarkan hati bawahannya yang dianggap lebih mengerti.

"Pak Michael (D Ruslim-Almarhum, mantan Presdir Astra sebelumnya) pernah bercerita, kalau mencari pemimpin itu mudah, tinggal pilih saja profesor terpintar di negeri ini, kemudian suruh jadi pimpinan. Yang ada justru dia langsung mengajarkan semua orang, boro-boro mau mendengarkan," ucap Prijono, mengenang.

Selama menjadi presiden direktur, salah satu tugas berat yang harus diemban Prijono adalah tuntutan memiliki sensitivitas tinggi pada pergerakan bisnis. Pada kondisi sama, seorang presdir juga wajib mengetahui karakter masing-masing anak buahnya dan bisa memilih sosok yang ideal di divisi yang tepat.

"Tugas CEO yang tidak mudah, harus punya indra keenam. Saya harus tahu, siapa yang bagus mau ditaruh di mana. Misalnya Astra Otoparts, perlunya orang yang seperti apa, harus bisa menentukan sosok yang tepat. Memang warna orang berbeda-beda, tetapi paling penting bisa 'lead by vision', kemudian dapat diartikulasikan supaya bisa dilaksanakan, kemudian dimonitor," ucap Prijono.

Selama lima tahun kepemimpinannya, kinerja Prijono sebagai presiden direktur Grup Astra juga bukan tanpa prestasi. Pria kelahiran 20 Juni 1960 ini sudah menyabet predikat sebagai CEO Terbaik di Asia, dari Finance Asia pada 2011 dan 2013. Hebatnya lagi, gelar "Asia Business Leader of The Year 2014" juga berhasil disandang Prijono, sebuah penghargaan dari CNBC.

Prijono juga merupakan orang Indonesia pertama yang pernah meraih gelar terakhir itu. "Menjadi CEO terbaik se-Asia nggak ada resepnya. Saya hanya mengerjakan tugas yang diberikan dan tanggung jawab, saya lakukan yang terbaik. Saya tidak pernah mengejar itu dan memang bukan tujuan utama saya," kata Prijono.

Keinginan utama Prijono, adalah bisa menjadikan Astra sebagai perusahaan yang bisa menciptakan nilai tambah lebih baik bagi masyarakat Indonesia. Agar Astra bisa terus membuka pekerjaan baru. Menjadi kebanggaan bangsa Indonesia.

Penulis: Agung Kurniawan
Editor: Aris F Harvenda

----''-------------------------

"Semua Saya Lakukan, Mengalir Saja...”
Cita-cita "Tukang Insinyur" yang Berujung Jadi CEO Astra

Kehidupan ini sangat indah. Tak semua perjalanan hidup manusia berjalan dengan mulus. Tentu banyak rintangan dan hambatan dalam meraihnya. Kuncinya adalah kesabaran, keteguhan hati, memiliki prinsip yang kuat, jujur, apa adanya, dan selalu melakukan inovasi. Di balik kesuksesan seseorang, ada kisah-kisah mengharukan dan menyedihkan. Semua itu adalah proses yang harus dilalui. Kompas.com meneruskan serial artikel "Success Story" tentang perjalanan tokoh yang inspiratif. Semoga pembaca bisa memetik makna di balik kisah ini.

Jakarta, KompasOtomotif - Menjadi pucuk pimpinan suatu perusahaan multinasional tentu bukan hal yang mudah dilakukan. Determenasi, fokus, serta disiplin tinggi mutlak dipenuhi demi menjaga stabilitas manajerial perusahaan.

Adalah Prijono Sugiarto, Presiden Direktur PT Astra International Tbk yang berhasil membuktikan kualitas dirinya sebagai nahkoda perusahaan. Memimpin 227.000 orang karyawan dari 191 anak perusahaan tentu bukan hal yang mudah dilakukan. Tapi, pria kelahiran Jakarta, 20 Juni 1960 ini berhasil membuktikannya lewat prestasi.

Pertemuan KompasOtomotif dengan Pak Pri, begitu ia akrab disapa berlangsung di salah satu hotel bintang lima di bilangan Jakarta Selatan, belum lama ini. Kala itu, Prijono baru saja menyelesaikan pertemuan tahunan dan baru terpilih menjadi Chairman Kamar Dagang Jerman di Indonesia atau German Indonesian Chamber of Industry and Commerce (EKONID).

"Setelah enam tahun Pak Ari Sumarno memimpin, saya diminta untuk menggantikannya dan baru saja terpilih," ujar Prijono membuka awal perbincangan.

Cita-cita

Kedekatan Prijono dengan Jerman sulit dipisahkan, karena di Jerman ayah dua anak ini menempa ilmu. Keinginannya dalam hidup terbilang sederhana dan mulia, menjadi sarjana teknik mesin lulusan Jerman. Jerman dipilih karena memang dikenal sebagai pusat industri dunia, sehingga insinyur merupakan bidang yang cukup populer dari sana.

Keinginan ini berlatar belakang  dari usaha sang ayah, yang mengelola perusahaan perakitan kendaraan di Jakarta, era 1960-an. Jadi, dunia permesinan dan otomotif sudah dikenalnya sejak beranjak dewasa.

"Dulu belum ada yang namanya ATPM (agen tunggal pemegang merek). Ayah saya membeli Honda N360 dan merakitnya di Indonesia, selain itu skuter Lambretta juga sempat diproduksi ayah saya," cerita Prijono.

Sang kakak, Jongkie Sugiarto yang terpaut 11 tahun dengan Prijono sudah lebih dulu kuliah dengan jurusan teknik mesin di Jerman. "Prijono kecil usia 10 tahun atau 12 tahun sudah melihat kakak. Akhirnya, selepas SMA saya berangkat ke Jerman untuk kuliah teknik mesin. Saya selalu hormat pada beliau, dia itu guru saya," ucap Prijono.

Butuh waktu lima tahun (1979 – 1984) bagi Prijono menyelesaikan gelar Diploma Ing di Universitas Mechanical Engineering, Konstanz, Jerman. Prijono bahkan mendapat penghargaan berupa "Awarded Carl-Duisberg Prize 1984" karena prestasinya yang baik selama menempuh pendidikan. Setahun sebelum wisuda, Prijono menyurati sang ayah di Jakarta perihal rencana kelulusannya.

"Saya lantas mendapat jawaban dari ayah, mengapa tidak meneruskan sekolah di bisnis. Akhirnya, setelah lulus jadi insinyur mesin, saya lanjutkan sekolah di bidang bisnis, masih di Jerman," ujar Prijono. Pri melanjutkan sekolahnya di Universitas ASc Bochum, Jerman dan setelah dua tahun (1984-1986) menyabet gelar master Diploma Wirtschaftsing dalam bidang Business Administration.

Mercedes-Benz

Setahun setelah kelulusannya sekolah bisnis, Prijono kembali ke Jakarta untuk bekerja di Tanah Air. Sebelum kembali ke Indonesia, Prijono sengaja kembali memperkuat pengetahuannya soal teknik di Jerman. Hal ini dilakukan karena dirinya sudah diterima sebagai Manajer Sales and Engineering di PT Daimler-Benz Indonesia mulai 1987.

"Untung saya punya background, jadi tidak bisa dibohongi, saya pernah bongkar kopling sendiri, tahu bagaimana mobil tune-up, semua ada catatannya. Jadi lebih kuat pengetahuan teknisnya," ujar Prijono.

Selama tiga tahun berkarir, akhirnya pada 1990 Prijono mendapat tawaran pindah bekerja di salah satu anak perusahaan Grup Astra, PT Tjahja Sakti Motor yang menaungi merek mobil asal Jerman, BMW. Setelah tiga tahun berkarir dan memegang jabatan General Manager, Prijono lantas mendapat promosi, menjabat sebagai Direktur Operasional mulai 1990.

"Jadi saya menyebrang merek, tapi tidak ada yang bisa complaint karena dua-duanya (Mercedes-Benz dan BMW) merupakan almamater saya," ucap Prijono sambil berkelakar.

Di bawah kepemimpinannya, BMW yang kala itu masih di bawah kendali Grup Astra berhasil menjadikan merek premium ini terlaris di Indonesia. Pada 1997, kenang Prijono, BMW pernah mencapai pangsa pasar terbesar, mencapai 10 persen terhadap total pasar mobil penumpang di Indonesia.

"Kami sempat dihadiahi sebagai pangsa pasar dan penjualan terbesar. Setelah itu, 1998 masuk masa krisis, saya diminta pak TP Rachmat (Theodore Permadi Rachmat) untuk menjadi direksi Grup Astra. Posisinya berat juga, mengepalai beberapa perusahaan sekaligus, non-Toyota, ada Daihatsu, BMW, Isuzu, Fuji Technica, Gaya Motor, Inti Pantja Press Industri, mulai tahun 2000," beber Prijono.

©2015 PT. Kompas Cyber Media
×
Presdir Astra International: Saya Bukan Superman
PT. Kompas Cyber Media
FREE - In Google Play
VIEW

http://m.kompas.com/otomotif/read/2015/07/29/093545815/Presdir.Astra.International.Saya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar