“Stay @ Home” Economy
March 25, 20201392 views
Dalam beberapa minggu ke depan ekonomi/bisnis akan mengalami kelumpuhan oleh wabah Covid-19. Ini adalah skenario terburuk kalau korban terinfeksi/meninggal terus meroket secara eksponensial seperti terlihat trennya beberapa hari terakhir.
Dampaknya tak hanya sekedar “disruptif” tapi juga “interuptif” dimana pergerakan ekonomi bisa sampai terhenti, dan setelah wabah lewat para pelaku bisnis harus memulai dari nol.
Bagan di bawah ini secara simpel menunjukkan bagaimana Covid-19 tak hanya menyerang kesehatan tubuh kita tapi juga akan melumpuhkan sistem ekonomi kita.
Sumber: Baldwin, 2020
Kalau garis-garis yang menghubungkan bulatan-bulatan dalam bagan itu saya gambarkan sebagai “pembuluh darah” perputaran uang. Maka Covid-19 bakal menyumbat bahkan menutup pembuluh-pembuluh darah tersebut, hingga ke suatu titik nadir dimana aliran darah terhenti.
Ketika karyawan dirumahkan, socialdistancing/lockdown diberlakukan, dan kemudian pelaku ekonomi (rumah tangga, perusahaan, lembaga keuangan) wait–and–see dan mengalami kesulitan cashflow maka resesi tak terelakkan lagi.
Toko-toko tutup,
perjalanan dilarang,
perusahaan bangkrut,
pengangguran dimana-mana,
non–performing loan (NPL) menggunung,
bank krisis, investasi mandek, cashflow sulit,
begitu seterusnya membentuk vicious circle yang ujungnya membawa ekonomi terpuruk ke dalam resesi. Seberapa dalam resesi, akan tergantung pada seberapa cepat wabah berlalu.
Berbeda dengan krisis-krisis ekonomi sebelumnya, proses keterpurukan menuju resesi tersebut tidak berjalan secara bergilir (domino effect) namun secara simultan(Baldwin, 2020). Itu sebabnya saya mengatakan Covid-19 menyebabkan ekonomi seperti “di-Ctrl-Alt-Del“.
Namun di tengah lumpuhnya semua sistem ekonomi, masih ada denyut pergerakan ekonomi di unit yang paling kecil yaitu di rumah yang saya sebut: “stay @ home” economy.
Di tengah kondisi darurat krisis kesehatan (health crisis) yang bakal disusul dengan krisis ekonomi (economic crisis), “stay @ home” economy memegang peran paling krusial bagi perekonomian:
“Stay @ home” economy akan menjadi penopang kemampuan survival kita dalam menghadapi kemungkinan terburuk krisis ekonomi akibat Covid-19.
“Stay @ home” economy akan menjadi faktor kunci ketahanan (resilience) kita dalam menghadapi kemandekan ekonomi.
Dan “stay @ home” economy pula yang akan menjadi titik mula kita dalam melakukan recovery dan kemudian menemukan mementum pertumbuhan kembali.
Apa itu “stay @ home” economy?
Gampangnya adalah ekonomi yang digerakkan oleh pelaku ekonomi yang TINGGAL DI RUMAH. Inilah ekonomi yang sebagian sudah kita jalani sekarang dan dalam beberapa minggu ke depan kita akan dipaksa menjalaninya secara full begitu wabah terus berkepanjangan.
Sekali lagi dalam kondisi terburuk, saat kita sudah tidak boleh keluar rumah lagi karena social distancing atau bahkan lockdown, maka aktivitas ekonomi akan lumpuh. Ketika toko-toko tutup, mal-mal tutup, warung/resto tutup, kantor-kantor tutup, hotel-hotel tutup, bioskop/tempat hiburan tutup, bahkan pabrik-pabrik tutup, maka satu-satunya aktivitas ekonomi yang masih berjalan adalah di dalam rumah.
Thanks DIGITAL, dengan kemajuan teknologi digital, maka kegiatan berbelanja, bekerja, belajar, atau menikmati hiburan masih bisa dilakukan di rumah.
Dengan Tokopedia kita masih bisa belanja online.
Dengan GoFood kita masih bisa memesan makanan.
Dengan Zoom atau Google Hangouts kita masih bisa remote working.
Dengan Ruangguru anak-anak masih bisa belajar online.
Dengan Halodoc kita masih bisa konsultasi dokter.
Dengan Netflix kita masih bisa menikmati film tanpa harus ke gedung bioskop.
Itu sebabnya saya menyebut, digital adalah pilar dari “stay @ home” economy. Digital adalah “jantung” yang memungkinkan geliat ekonomi di rumah bisa tetap berjalan.
Dengan adanya “stay @ home” economy yang ditopang oleh perangkat digital, maka nadi perekonomian masih bisa berdenyut. Kegiatan ekonomi seperti
online shopping,
food delivery,
remote working (“work from home“, WFH),
online schooling,
telemedicine,
hingga home entertainment masih bisa bergerak walaupun tentu tidak bisa mengompensasi kelumpuhan ekonomi secara total.
Di sini “stay @ home” economy berperan krusial sebagai “genset” darurat di saat perekonomian secara keseluruhan sedang mengalami “blackout“.
Namanya penyelamatan sementara, maka tentu saja “stay @ home” economy tak akan mampu menopang perekonomian dalam waktu panjang. Ia mungkin hanya bisa menyangga 1, 2, atau 3 kuartal ke depan. Kita berdoa semoga wabah Covid-19 tak berkepanjangan, sehingga “stay @ home” economy masih bisa menyelamatkan perekonomian kita.
Lalu bagaimana prospek “stay @ home” economy ini ke depan? Jelas selama krisis Covid-19 akan menggeliat secara eksponensial. Tapi apakah setelah krisis berlalu, “stay @ home” economy tetap berlanjut tumbuh secepat sekarang?
Wabah Covid-19 secara mendalam akan membentuk stay @ home lifestyle yang bakal menjadi kenormalan baru (newnormal) setelah krisis berlalu. Gaya hidup baru inilah yang menjadi landasan terbentuknya “stay @ home” economy.
Ingat, Covid-19 akan menjadi trauma mendalam bagi konsumen dan ancaman wabah semacam akan terus dan selalu membayang-bayangi mereka bahkan setelah krisis berakhir.
Jadi Covid-19 akan menciptakan perubahan perilaku konsumen yang bersifat permanenyang pada giliran membuka jalan bagi terbentuknya “stay @ home” economy sebagai sebuah kenormalan baru.
Di dalam kenormalan baru tersebut beberapa tren berikut akan terjadi:
Secara umum percepatan adopsi digital (digital transformation) baik oleh konsumen maupun produsen akan terjadi. Covid-19 akan menjadi “catalyst” bagi adopsi digital. Oleh karena itu tak berlebihan kalau saya sebut, berakhirnya wabah Covid adalah: “renaissance of digital adoption” di Indonesia. Di tengah ancaman wabah di masa depan yang terus mengintai, ibu-ibu rumah tangga makin cepat mengadopsi onlineshopping; karyawan “dipaksa” mengadopsi WFH dengan memanfaatkan digital platform; guru dan murid kian nyaman melaksanakan online learning, begitupun generasi mager (“malas gerak”) dan generasi “rebahan” makin subur dengan adanya layanan seperti Netflix, GoFood, atau online gaming yang bakal berkembang pesat.
Revolusi dalam online shopping terjadi dimana konsumen berbelanja online tak hanya untuk produk-produk fesyen, travel, elektronik, atau entertainment seperti sekarang ini, tapi makin dalam ke pembelanjaan grocery dan kebutuhan-kebutuhan dasar sehari-hari. Minimarket seperti Indomaret/Alfamaret akan menyesuaikan diri dengan mengembangkan omni–channel (O2O: offline to online). Dampaknya bisa diduga, peritel-peritel fisik/tradisional akan kian berat. Covid-19 juga mendorong penerapan Tech 4.0 seperti virtual dan augmented reality(VR/AR) khususnya di sektor ritel. Untuk mengurangi risiko ancaman wabah virus di kemudian hari teknologi VR/AR memberikan solusi menciptakan pengalaman belanja seperti di toko fisik walaupun si konsumen berada di rumah. Di sektor ritel VR/AR bakal menjadi kenormalan baru.
Dengan makin matangnya “stay @ home” lifestyle, maka resto-resto akan menyesuaikan diri dengan mengubah model bisnisnya ke arah online delivery services. format seperti “ghost kitchen” atau “dark kitchen” seperti Pizza Hut Delivery akan marak. Mal-mal pun akan semakin tidak populer.
Layanan aplikasi remote working seperti Zoom, Google Hangouts, Slack, dan WeChat Work, akan semakin populer memanfaatkan momentum shifting dari traditional working ke WFH. Gig economy akan semakin booming untk beragam pekerjaan seperti: programer, content creator, sales, hingga analis data. Dengan makin banyaknya perusahaan dan karyawan yang menerapkan WFH, maka batas-batas antara “living–working–playing“ (berkeluarga-bekerja-bermain) menjadi kian kabur. Berita baiknya: life-work balance membaik, kepuasan karyawan meningkat, dan akhirnya produktivitas terdongkrak. WFH akan menjadi mainstream.
Karena keharusan physical distancing, konsumen “dipaksa” untuk mencoba dan bereksperimen menggunakan layanan telemedecine seperti Halodoc dan Alodokter. Setelah nyaman dan terbiasa, maka perubahan perilakunya akan permannen dan telemedicine akan menjadi cara baru berobat dan membeli obat. Ini membuka jalan bagi Halodoc menjadi the next unicorn.
Dengan uang fisik (kertas maupun logam) bisa menjadi sumber penularan wabah yang massif, maka konsumen kian merasakan urgensi untuk bermigrasi massal menggunakan cashless payment. Ini diikuti bank sentral di seluruh dunia yang mulai mendorong penerapan cashless payment karena pengalaman traumatis Covid-19.
Universitas dan kursus-kursus akan berlomba-lomba memperkenalkan online learning. Maka tak terhindarkan lagi MOOCs (massive open online course) yang selama ini terkendala akan menemukan critical mass-nya. Sementara platform belajar online seperti Ruangguru akan menjamur.
Berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan tinggal di rumah karena social distancing konsumen mulai terbiasa dengan layanan home entertainment seperti Netflix, Spotify, atau online gaming. Pasca krisis dampaknya bisa permanen dimana mereka mulai kecanduan. Model bisnis subscription untuk layanan streaming bakal booming.
Lama ngendon di rumah juga mendorong maraknya produk dan layanan homefurnishing seperti yang diberikan IKEA, Informa, atau Fabelio. Semboyan mereka adalah: “Rumahku adalah Istanaku”. Tarikan ke arah tren ini kuat sekali karena plafrom media sosial seperti Instagram dan Facebook bisa menjadi “medium pamer” mereka ke netizen.
Kalau ditanya bisnis apa yang bakal marak selama krisis Covid-19 dan setelah krisis usai?
Maka jawabnya sudah pasti adalah bisnis-bisnis yang menopang “stay @ home” economy. Tak heran jika beberapa minggu terakhir saham Netflix atau Zoom meroket beberapa minggu terakhir dan bakal tetap robust ke depan.
Kalau benar resesi ekonomi hingga ke titik nadir dan kita harus menyongsong pasca krisis Covid-19 dengan memulai dari nol, maka melalui uraian di atas Anda para marketers/entrepreneurs sudah tahu harus masuk ke bisnis-bisnis apa saja.
Selalu optimis. Ingat Wei-Ji: di setiap krisis selalu ada peluang.
Welcome “stay @ home” economy.
YUSWOHADY