Jakarta - Presiden RI ke-3 Bacharuddin Jusuf Habibie hadir dalam acara tasyakuran milad PKS ke-18 di Jakarta. Dalam acara itu Habibie bicara soal kehidupan, terutama dalam menuntaskan tugas.
Materi yang diberikan PKS ke Habibie untuk disampaikan yakni tentang kepemimpinan. Namun dia menegaskan, dirinya tak ahli soal kepemimpinan.
"Saya dalam hal ini bukan ahli dalam ilmu kepemimpinan. Orang semua tahu aslinya Habibie itu seperti apa. Tapi dalam kehidupan, saya insya Allah kurang dari 2 bulan lagi berusia 80 tahun. Dan saya telah melalui banyak sekali masalah-masalah yang harus diselesaikan dengan baik. Satu yang saya pelajari, harus kerja keras. Kedua, harus rasionil. Ketiga, harus profesional dalam bidang," kata Habibie.
Habibie mengatakan, yang terpenting dalam kehidupan itu adalah bagaimana menuntaskan tugas yang diemban. Itu lebih daripada menjadi seorang pahlawan.
"Jangan sekali-kali mau menjadi pahlawan. Kepahlawanan itu mahal, dan kita tidak mau dan tidak penting menjadi pahlawan. Yang penting adalah kita menyelesaikan tugas yang diberikan kepada kita sebaik-baiknya. Tugas apa saja," kata suami almarhumah Ainun ini.
Habibie melanjutkan pidatonya dengan mengenang kisah hidupnya semasa remaja. Saat itu dia harus menyaksikan langsung ayahnya meninggal saat sedang menjadi imam salat isya di mesjid.
"Saya mau sampaikan sama anda, anda bisa cek dalam buku detik-detik yang menyebutkan soal Habibie dan Ainun, banyak sekali buku. Satu hal yang jelas, semua tahu yang namanya Bacharuddin Jusuf Habibie ditinggal ayahnya ketika ayahnya sedang menjadi imam salat isya. Saya usianya 13 tahun, saya melihat ketika dia sedang sujud, Allahuakbar, heart attack! Meninggal di atas sajadah," cerita Habibie.
Tapi, sebelum ayahnya meninggal, Habibie sempat diajari falsafah tentang kehidupan. "Ketika saya umur lima tahun, dia (ayah) ahli pertanian. Dia di IPB Bogor, mempunyai balai percobaan. Saya waktu umur lima tahun, 'Sini nak ikut dengan Bapak lihat balai percobaan.' Di situ dia bilang, 'Lihat itu ada mata air. Lihat, semuanya hijau, banyak bunga beraneka ragam dan banyak kehidupan.
Kupu-kupu semua ada di situ.
Beberapa meternya ada orang ambil air untuk dibawa ke rumahnya.
Kamu mengerti apa maksudnya?' Begitu kata bapak saya," cerita Habibie.
Saat itu, ayah Habibie menitipkan pesan agar menjaid orang yang bertanggung jawab dan berarti bagi sekitar.
"Saya tidak tahu nanti kamu besar menjadi apa, tapi saya harapkan kamu menjadi kepala rumah tangga yg baik.
Pemimpin keluarga itu seperti MATA AIR itu, sekitarmu, mekar, dan hidup.
Saya yakin itu juga berlaku untuk Anda.
Sama seperti berlaku untuk Habibie," kata Habibie.
Habibie mengatakan, dirinya tak pernah berkeinginan menjadi seorang menteri, apalagi Presiden Indonesia.
Yang dia inginkan adalah menjadi orang yang bisa membuat pesawat terbang.
Habibie pun menjelaskan soal perjalanannya menempuh pendidikan hingga menjadi seorang ahli di Jerman.
Dia juga akhirnya menjadi orang yang berpengaruh dalam perusahaan Airbus, hingga akhirnya kembali ke Indonesia untuk mengabdi.
"Kesimpulannya, saya tidak kejar duit.
Saya kejar pekerjaan yang bisa menjadikan saya UNGGUL.
Tetapi pekerjaan itu halal.
Sekarang kita bicara mengenai keunggulan.
Anda harus menjalani proses pembuatan yang nilai outputnya iman dan takwa bernilai tinggi. Budayanya jitu, agamanya jitu.
Agama kita sama, Alquran dan Sunnah.
Budayanya saja yang beda.
Tetapi, budaya itu harus bersinergi dengan agama.
Tidak cukup. Anda harus terampil dalam bidang.
Sehingga bersinergi antara agama, budaya, Iptek dan ketrampilan.
Outputnya produktivitasnya meningkat.
Tapi kalau produktivitas meningkat, tapi menganggur bagaimana jadi unggul?
Anda bisa menjadi unggul jikalau anda diberi kesempatan untuk menyelesaikan masalah kompleks.
Mulai nanti sederhana, sistematis dan makin kompleks," kata Habibie. (rjo/
http://m.detik.com/news/berita/3195461/bj-habibie-jangan-sekali-kali-ingin-menjadi-pahlawan