The world needs every single ideas from every single individuals. No matter how small it is, it matters.
Sabtu, 24 Juni 2023
Malang, selain sebagai kota Pendidikan dan Wisata, Berpotensi Menjadi The Healing City
Rabu, 27 Maret 2019
CALEG DPR RI MALANG RAYA : SOFIA AMBARINI YANG TERBAIK
SOFIA AMBARINI CALEG DPR RI MALANG RAYA TERBAIK
Cerita Dulu Latar Belakang Yang Nulis Cerita Ini
Saya sejak umur 4 tahun sudah tinggal, hidup dam dibesarkan di kota Malang, Jawa Timur. Sejak TK ( TK PPSP), SD (SD PPSP), SMP (Negeri 1 Malang), SMA (Negeri 3 Malang dan sempat pindah ke SMAN 5 Surabaya) dan kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya Malang. Saya tinggal di Malang karena orang tua saya adalah seorang dokter bedah tulang yang ditempatkan di kota Malang dan beliau dosen di Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya.
Dulu jaman saya kecil, kota Malang dingin banget udaranya, tapi ya gitu hiburan minim, dan gak ada macet seperti sekarang. Jaman kecil maksudnya antara tahun 1980-1990an. Hiburan cuma nyewa kaset video yang bisa disewa 3 -7 hari , 1 kaset harganya lupa, pilihan videonya ya anime anime Jepang seperti Voltus V, Megaloman, Go Shogun, Lion Man, Gavan, Sharivan, God Sigma sampe Lulu dan Candy - Candy. Hahaha. :)
Hiburan lain ya paling nongkrong sama kakak-kakak tetangga sebelah rumah.
Acara paling cuma sekolah, les, main, nonton video, ya udah gitu aja. Lingkungan aman tentram, masyarakat Malang itu guyub karena kota kecil, semua kayaknya bisa kenal.
Apa Itu Pemilu?
Waktu kecil, kalau ada Pemilu, saya ingat ada 3 partai politik yang harus dipilih, yaitu PPP, Partai Golkar dan PDI. Hijau, Kuning, Merah. Pas lihat mereka kampanye, saya juga gak tahu bedanya apa. Saya tanya sama orang tua saya, apa bedanya di ketiganya? "PPP itu parpol berbasis agama Islam, PDI itu nasionalis, Golkar itu pemerintah", (kalau gak salah ingat gitu jawaban ortu saya). "Trus Bapak Ibu coblos yang mana?" tanya saya. Jawabnya "Golkar".
"Kenapa Golkar?" Saya tanya lagi.
"Soalnya Bapak kan pegawai negeri, jadi harus berterima kasih jadi harus coblos Golkar", jawab Ibuku. Waktu itu saya cuma jawab "Oooo gituu". Abis itu gak ambil pusing lagi.
Kalau saya ingat waktu itu, semua tunduk sama Presiden Soeharto. Semua manut. Tapi emang gak ada gejolak gejolak sosial yg berarti. Cuma sekali-sekali saya baca majalah Tempo nya bapak saya, yang halaman depannya ada dibahas soal siapa yang dibunuh lah, siapa yang hilang lah tapi pelakunya belum ketemu. Jadi headline dan tapi sekedar headline drama. Seingat saya juga gak pernah tuntas kasusnya. Gak peduli juga lha wong saya masih kecil.
Indonesia Mulai Rusuh
Abis itu saya masuk ke tahun 1990an , masuk SMA dan kuliah. (Duh ketahuan deh umurnya nih). Sekolah ya sekolah, gak ada yang istimewa, paling ya jadi remaja yang ingin eksis, aktif kepanitiaan, nge band, organisasi ya gitu gitu. Kadang suka tahu dan mulai sering denger ada demo demo mahasiswa di pertengahan 90an. Dan inget banget pas ada bakar-bakaran tank di Menteng thn 1996 Juli, aku lagi nginep di rumah Eyang juga tuh saat itu. Ada apaa lagi ini Jakarta.
Ah saya kan gak peduli, pokoknya asyik aja berorganisasi. Waktu itu saya aktif di organisasi internasional mahasiswa non politik namanya AIESEC. Sibuk lah kegiatan dan main ke berbagai kampus di Jakarta, Bandung, dan Semarang, sibuk Make A Better World. Chiee.. idealis pokoknya.
Sampai saya ingat tahun 1998 Mei, itu saya lagi jadi Presiden AIESEC Indonesia, ada kerusuhan yang berujung (akhirnya) Presiden Soeharto mengundurkan diri dan diganti dengan Presiden BJ Habibie. Saya ingat waktu itu memang saya sampai kaget dan geleng-geleng, di periode pemerintahan Presiden Soeharto - Wapres BJ Habibie baru mau mulai, masa Siti Hardiyanti Rukmana alias bu Tutut ANAK KANDUNG PRESIDEN dijadikan Menteri yang bapaknya juga Presiden? Terus Bob Hasan dijadikan menteri BUMN atau industri kalau tidak salah. Ya ampun. Itu saya yang gak tertarik politik saja udah gak suka.
Jadi saya salah satu saksi mata betapa kekuasaan super power yang terlalu lama, menyebabkan kolusi nepotisme itu mewabah kemana2. Kalau sekarang saya bisa lihat bahwa Indonesia itu udah lama punya budaya Penjilat alias Kiss Ass sama Boss nya. Supaya apa? Supaya aman hidupnya. Supaya kuat finansialnya alias tajir dan akses jaringan kekuatannya. Kalau kita lihat sekarang, udah bisa kita bilang "Jijay banget ya". Kalau dulu? Mana ada yang berani bilang gitu. That is the only way to survive. KISS ASS. Ya mungkin di dunia swasta beberapa ada yang bener2 profesional, tapi mostly budaya Indonesia adalah asal bapak senang.
Soeharto turun. Habibie naik. Ada harapan. Tapi Habibie cuma jadi 1 tahun lebih sebagai Presiden. Kenapa jugaa dia ditolak laporan pertanggung jawabannya sama MPR DPR. Trus lembaga superpower MPR DPR itu akhirnya memutuskan sendiri utk punya Presiden baru dan itu adalah Gus Dur dengan Wapres Megawati. Gus Dur punya partai politik yang berbasis NU yaitu PKB dan Megawati punya parpolnya PDI Perjuangan.
Oiya, mau balik lagi ke tahun 1996, aku ingat. Apa tahun yg beda ya, dimana Megawati diatur sama Soeharto biar gak boleh jadi Ketum PDI dan diganti sama Soerjadi. Buat kita dulu, PDI Perjuangan itu adalah simbol perlawanan pada tirani penguasa. Kita bela banget Megawati di thn 1990an sampai pun dia jadi Presiden RI thn 2001 - 2004 menggantikan Gus Dur yang dilengserkan atau impeachment sebagai Presiden RI oleh MPR DPR.
Bye 90an, Welcome Y2K
Tahun 1999 saya magang kerja di negeri Kanada sekitar 4 bulan. Mulai Juli 1999. Lulus kuliah, selesai masa jabatan Presiden AIESEC Indonesia, berangkat deh magang. Pulang magang, belum dapat kerjaan, ngelamar2 lihat di koran Kompas, masuk ke kantor pialang bursa komoditas. Dan akhirnya dipanggil kerja di kantor ACNielsen, biro riset pemasaran terkemuka di dunia. Belajar jadi kacung kampret sebagai eksekutif junior riset kualitatif.
Sibuk kerja, sibuk niti karir, saya gak perhatikan dunia politik. Yang saya tahu cuma Megawati berhasil menge golkan Pemilu langsung untuk pilih Presiden dan anggota Dewan utk pemilu thn 2004. Buat saya , Megawati pahlawan besar di hal tersebut. Bayangkan kalau kita harus menggantungkan suara kita hanya ke para DPR yg itu itu aja orang orangnya. Dan saya ingat betul sebelum thn 2004, keluarga saya udah melihat sosok SBY yg ala ala Jenderal pandai dan kemudian jadi Menkopolhukamnya Megawati, mundur, bikin buku , bikin Partai Demokrat (yang seingat saya sebenarnya dibentuk oleh alm. Sys NS) dan mencalonkan diri jadi Capres dengan Jusuf Kalla sebagai cawapresnya.
Saat tahun 2004, kita semua tahu Megawati ngamuk karena SBY gak terus terang sama dia kalau mau maju Capres sehingga Megawati salah perhitungan. Tapi buat kita orang awam, Megawati udah kurang diminati karena; orang orang PDIP yang jadi menteri ternyata korupsi juga. Trus cawapresnya, harusnya keren sih, Alm. Hasyim Muzadi, pimpinan PBNU kala itu.
Namun SBY JK mencerminkan sosok baru yang bersih, profesional, pas banget kombinasi Jenderal TNI dan Pengusaha serta birokrat. Sedangkan bu Mega dan pak hasyim dianggap tidak dalam kapasitasnya. Kalah deh bu Mega- Hasyim dapat 40% dan SBY JK dapat 60%.
2004 itu optimis banget. Hawa segar baru. Presiden baru. Ekonomi merangkak naik dengan berbagai industri tambang dan minyak.
Banyak prestasi prestasi yang terlihat, ekonomi tumbuh. Okelah masa 2004-2009, kecuali ada krisis Ekonomi dunia di thn 2008.
2009, SBY maju lagi jadi capres, JK gak mau jadi cawapres lagi akhirnya maju capres juga dan Megawati gak nyerah, dia juga maju jadi Capres pasangan sama Prabowo Subianto yang waktu itu baru mendirikan Partai Gerindra thn 2008. SBY pasangan sama Boediono. JK pasangan sama Wiranto.
Buat saya waktu itu, ya SBY Boediono, karena pak Boediono itu sosok yang rendah hati, ekonom senior mantan Menteri keuangan, dan mantan Gubernur Indonesia. Dan kita udh denger juga kalau Sri Mulyani akan dijadikan Menteri Keuangan oleh SBY. Ya jelas SBY lagi pilihan saya waktu itu.
LEMBARAN BARU POLITIK INDONESIA
Dari situ, saya mulai perhatian sama dunia politik. Door openingnya adalah waktu ada seorang Walikota Solo, Ir. Joko Widodo , yang sudah kita dengar banyak prestasinya di kota Solo, dan mau diusung oleh Prabowo Subianto menjadi Calon Gubernur DKI Jakarta.
Itu tahun 2012. Dan calonnya ada 6 pasang kandidat kalau tidak salah, banyak banget.
Sebagai warga Jakarta yang punya Gubernur dulu seperti Sutiyoso dan apalagi Foke, aduuh ampun deeeh, benci banget sama pejabat daerah ini. Tidak ada orientasi melayani masyarakat dan Jakarta selalu banjir. Trus ngeyel terus.
Jadi pilkada DKI Jakarta 2012 itu bener bener roh atau gairah masyarakat Indonesia untuk memilih calon pemimpinnya itu besar sekali.
Alhasil Jokowi-Basuki menang dengan angka tipis 54% dan Foke-Nachrowi dapat 46%. Wuiih senengnya kita! Punya Gubernur yang bener! Akhirnya bisa nendang Foke jauh jauh!
Kita bangga punya Gubernur DKI Jakarta seperti Jokowi. Dan Prabowo mengusung Jokowi dan Ahok lho waktu itu.
Eh belum selesai masa jabatan, ternyata Jokowi digadang-gadang jadi capres di 2014! Kita antara senang atau ragu. Dia belum selesai di DKI Jakarta, masa mau lompat jadi Presiden?
Sejak itu, dunia perpolitikan di Indonesia mulai tanpa henti terus bergairah. Karena JOKOWI.
Di 2014, berpasangan dengan Jusuf Kalla, Jokowi menang lawan Prabowo-Hatta Rajasa yang dulunya ngusung dia jadi gubernur DKI. Itu drama 2012 mulai lagi. Seragam kotak-kotak, salam 2 jari, wah gegap gempita rakyat mau pemimpin yang dari bawah dan harapan baru itu BESAAAAAR SEKALI. Kita gak mau pemimpin2 yang elite elite. Pasti korupsi deh!
Dan benar! Sejak Jokowi jadi Presiden RI, dan menonton wajah sengak SBY diganti oleh Jokowi, Indonesia berbeda. Energi dan rasa bahwa pemerintah itu nggak elite lagi, tapi turun ke masyarakat, solusi demi solusi itu kelihatan. Kelihatan kalau pemimpinnya mau hasil nyata untuk masyarakat. Walau ekonomi sejak tahun 2014, 2015, 2016, 2017, 2018 belum terlalu baik karena tekanan ekonomi global yang juga tidak baik, (diduga juga karena adanya masa shifting to digital yang mengubah pola dunia - dimana semua diminta untuk harus cepat berubah) , tapi rasa yakin pada seorang Jokowi itu besar. Gak ada itu kasus Hambalang atau kasus mega korup Bank Century ala SBY. Ini malah Petral dibubarkan, tol tol dibangun, dunia digital startup diperhatikan dan dibela, Freeport diambil, dsb. Dan makin banyak pemimpin pemimpin daerah yang orientasi kerja dan prestasi bertumbuhan seperti Ridwan Kamil, Azwar Anas, bu Risma, dan tentunya Ahok! Dan masih banyak lagi.
Tapiii ... jadinya gejolak berlanjut. Orang orang gaya lama, gaya nyogok, gaya kong kalikong, gak suka sama jokowi.
Mulailah tercipta pergesekan2 yang diciptakan.
SAYA DAN ISTRI
Saya dan istri saya (o btw kami nikah tahun 2007, ketemu di HIPMI , sama sama pengusaha, dan jatuh bangun sama2, anak kita 2, cowok cewek :)) gak pernah ngomongin politik. Pas pacaran, pas nikah. Tapi di thn 2012 dengan Jokowi, kita garis keras baju kotak-kotak. Dan pas Jokowi di pilpres, kita lebih garis keras bela Jokowi. Lebih lebih lagi di pilkada DKI, Ahok Djarot. Dan oiya, saya sejak thn 2000 tinggal di jakarta dan selama menikah sd sekarang juga masih jadi warga DKI.
Kita ngerasain juga hasil kerja Ahok di DKI. Kita Fans Berat Ahok!
Tapi kemudian Ahok kalah, dan masuk penjara , kita sedih dan down. Serasa dunia gelap. Ada apa dg Indonesia yang kok tiba-tiba agama jadi dibawa kemana2? Sejak saya hidup saya merasakan Indonesia itu toleransi umat beragamanya kental. Ini kok tiba tiba ada khilafah khilafah?
Istri saya mulai nyerocos soal kita harus punya domisili di luar negeri, punya bisnis di luar negeri, punya rumah di luar negeri lah... haduh pusing saya. Aku tahu dia frustrasi dengan kondisi Indonesia, tapi kita ini siapa, cuma orang biasa.
Terus Ada PSI
Daan tiba tiba saya diajak seorang teman namanya Rizal Calvary yang mau maju jadi caleg buat Partai Solidaritas Indonesia alias PSI. Saya pernah dengar soal PSI. Partai baru. Tapi sebelumnya saya masih memandang sebelah mata pada parpol baru ini, karena saya punya pengalaman dan juga menyaksikan bahwa betapa banyak partai partai baru sebelumnya tumbang. Sebut saja dulu ada Partai Damai Sejahtera (PDS), ada PBB nya Yuzril Ihza, PDR, dll dll ilang semua. Maksudnya, ya gak ada wujud nyatanya lagi. Jadi kalau ada partai baru ya gak langsung percaya bakal akan ada umur panjang.
Nah ternyata mereka baru saya tahu, lolos verifikasi utk ikut di Pemilu 2019. Hebat bener. Padahal saya meremehkan parpol baru yang dimanajemeni oleh anak2 muda semua. Ternyata hebat. Lolos.
Saya ditawari malahan untuk jadi caleg. Ha? Saya? Hmm. Saya memang tertarik pada dunia politik di beberapa tahun terakhir, tapi gimana dengan kantor dan dagangan saya?
Ya trus saya pulang, cerita sama istri dan cerita ada partai baru yang pertama kalinya nyari kandidat caleg yang gak punya background politik atau pernah jadi anggota kader di parpol lain. Dan harus nyiapin konsep, program dan harus presentasi di depan Pak Mahfud MD atau bu Marie Eka Pangestu. Waaaah .
Aku tawarin aja ke istri, "kamu mau gak mi? Kamu kan aktif di dunia sosial, kamu punya pengalaman karir yang keren, bekas General Manager di perusahaan besar di usia muda, pengusaha dan galak pula, cocok jadi anggota dewan marah-marahin para oknum oknum yang mau nyolong. Bisa jadi kesempatan kamu membuat perubahan buat bangsa ini.", jelas lebar penjelasanku pada istriku.
Ya dia langsung jawab, "ya udah deh tolong bikinin dong presentasinya". *gubrak*
"Iya deh, aku buatin". Ya udah deh saya buatkan presentasinya sesuai dengan memang apa yang dia sudah lakukan lama. Yaitu dia punya darah keturunan keluarga di Jogja ningrat yang suka beraktivitas sosial, dan punya Yayasan Panti Jompo warisan Eyang Putrinya, dan sekarang dia juga punya sendiri yayasan sosialnya namanya Yayasan Lintas Solidaritas Indonesia. Gara-garanya dia 4 tahun terakhir jadi rajin bagi bagi nasi bungkus ke pemulung, nyantuni pejuang veteran, dan yang terbaru adalah menyantuni para lansia yang hidup sebatang kara tanpa sanak keluarga dan tak punya penghasilan di dusun dusun.
Di presentasinya , aku masukkan itu, dia ingin memperluas impact bantuan sosial dia ini yang harapannya bila terpilih , program inisiasinya dia ini akan bisa menjadi program nasional. Ada juga perhatian pada kualitas pendidikan anak, dan pemberdayaan perempuan yang menjadi salah satu perhatian dia.
Pas disuruh presentasi, istriku kebagian presentasi ke BU MARIE PANGESTU. Wah itu idola istri saya. Dan senangnya waktu pengumuman, bu marie eka pangestu bilang dia mendapatkan 2 kandidat wanita terbaik yang presentasi pada waktu itu. Ditanyain mau minta Dapil mana, kita bilang minta Dapil Malang karena disana adalah kota atau kampung halaman saya. Ortu saya juga masih tinggal di Malang, jadi kita berdua udah janjian untuk membuat Malang sebagai prioritas pilihan dapil kita. Dan istri saya memilih ingin menjadi DPR RI, bukan DPRD karena apa yang ingin dia perjuangkan kebanyakan bersifat strategis.
2 minggu kemudian, istri saya dipanggil ke kantor PSI dan dikasih surat penunjukan oleh bro Sumardi Ma. Dan kita langsung bengong. "Trus abis ini, kita harus ngapain?" . Kata Sumardi, "ya kampanye" . 😆
GIMANA CARA JADI CALEG?
Kita masih bingung. Lho , bukannya serasa awalnya kita iseng aja menyalurkan ide dan semangat kita. Wah ternyata dipilih jadi caleg. Itu bulan Mei 2018. Bulan Juni 2018, kita pas puasaan, udah mulai penjajakan di kota Malang untuk siap siap kampanye.
Wah kita ini bukan politisi, jadi nggak ngerti itu apa arti korcam, kordes, korwil, ... terus apalah itu yang nawar-nawarin kita jadi tim sukses, suruh bayar sekian puluh juta di depan lalu harus bayar ini itu nanti kalau udah terpilih. Halah!
Penipu semua. Kita doain mereka nemu cari uang cara lain yang lebih bener di masa mendatang. Kasian anak anaknya kan.
Sampai di Malang dalam masa sebelum boleh kampanye, istri saya gencar mengeksekusi program program sosial yayasannya untuk memperkenalkan dirinya di kota Malang. Alhasil orang mulai melihat istri saya ini agak unik, GAK PERNAH ADA CALEG YANG PUNYA PROGRAM RIIL seperti istri saya. Maksudnya, biasanya orang itu turun kasih program kalau udah mau pemilihan. Tapi orang tahu kalau istri saya punya yayasan ini udah lama, dan ketahuan kok mana orang yang musiman dan orang yang memang biasa berbuat untuk orang lain.
Jadi selama keliling, istri saya diterima dengan positif karena ada program riilnya.
Namun, gak cocoknya kita adalah, kita tidak mau politik transaksional. Yaitu ;
- harus bayar per suara berapa rupiah untuk nyoblos
- harus bayar pasukan saksi
- harus bayar atau beliin sesuatu buat masyarakat supaya mereka mau vote kita.
Masyarakat Malang yang pada umumnya sudah biasa begitu, jadi balik badan karena kita dianggap caleg kere. Tampaknya umumnya orang itu mau cari uang di masa kampanye atau pemilu ini.
Sayang sekali, padahal saya tahu istri saya adalah orangnya fighter dan kekeuh kalau disuruh belain atau nolongin orang kesusahan. Tapi, ya budaya itu belum hilang.
Maka sudah banyak orang yang gak nyambung dengan kita karena soal duit semata.
Ternyata Ini Nilai Mulia Menjadi Seorang Anggita Legislatif, Kami Baru Tahu
Saya menjadi saksi mata sendiri dan saya sendiri pun menjadi seorang pembelajar di pengalaman mendampingi istri saya dalam melakukan kegiatan kampanyenya. Banyak sekali orang yang membutuhkan bantuan atau sentuhan fasilitasi dalam hal pertanian, lapangan kerja, fasilitas pendidikan, pendampingan usaha kecil mikro, dan lain sebagainya. Hal-hal yang tidak pernah saya lihat seksama selama saya tinggal dan besar di Malang. Wow!
Niat besar untuk bisa bantu mereka itu jadi tumbuh makin besar dan makin besar. Walaupun ada keraguan apakah istri saya akan memenangkan pertarungan pileg ini, tapi niat ingin melakukan sesuatu itu besar. Kadang saya berpikir, "ah kan kita punya beberapa PT - perusahaan pelatihan , perusahaan investasi dan yayasan untuk bisa menjadi naungan kegiatan kita".
Apalagi istri saya sangat getol dan perhatian pada anak anak atau individu disabilitas, karena memang Ibu Mertua saya juga punya low vision, sehingga membuat istri saya sangat perhatian pada insan insan anak yang berkebutuhan khusus.
Lama-lama sambutan masyarakat mulai banyak. dan yang menyambut adalah para masyarakat yang akhirnya mengerti kalau istri saya bukan caleg biasa. Bukan caleg yang punya kepentingan politik buat pribadinya, kecuali semata mencari wadah untuk berkontribusi buat bangsa negara.
MAKA JANGAN PERNAH MENYERAH UNTUK RAKYAT
Mulai mendekati hari coblosan Pemilu, makin banyak serangan serangan. Caleg caleg incumbent atau caleg lain mulai senggol sana sini. Semua dengan budget kampanye yang fantastis. Budget dari partai tidak sepadan dengan budget caleg caleg lain. Jadi kita harus keluar dari dompet kita sendiri.
Waktu juga sangat tersita, hingga kita kewalahan mengatur hidup antara Jakarta dan Malang karena istri saya udah harus terus di Malang di 3 bulan terakhir. Anak-anak kita yang sekolahnya di Jakarta juga kangen ibunya sekali.
Tapi istri saya bukan orang yang kenal menyerah. Segala daya upaya dia kerahkan, hingga tak terduga dia mendapatkan bantuan dari keluarga pesantrennya di Cirebon yaitu Pesantren Buntet yang memperkenalkannya kepada pesantren pesantren se Malang Raya. Bahkan dia sampai menemukan ternyata leluhurnya dimakamkan di Malang. What a coincidence.
Kenapa Istri Saya adalah Caleg Terbaik DPR RI untuk Malang?
Karena:
1. Dia adalah perempuan yang tangguh dan berintegritas tinggi. Artinya, sama dia, kalau udah kerja dengan tujuan baik, akan dia kerjakan sampai dapet. Kedua, jangan suruh dia nyalahi aturan, dia akan ngomel tak berkepanjangan dan berani melawan.
2. Dia gak diragukan punya kapasitas seorang CEO yang bisa digunakan oleh masyarakat, untuk menjawab segala permasalahan sosial di Malang.
3. Dia memang bukan orang Malang, tapi suaminya orang Malang dan keluarganya di Malang. Artinya, pemahaman budaya dan karakter orang Malang, tidak akan hilang karena dijembatani oleh suaminya yang dari kecilnya hidup di Malang.
4. Gak punya beban. Jadi dia bisa full menjadi seorang pelayan rakyat nan pintar nan pemberani. Gak ada beban politik. Karena PSI nya juga orientasinya menjadi pelayan rakyat bukan ingin jadi kartel atau parpol dinasti.
5. Dia dan saya suaminya, adalah pengusaha. Kita tiap hari kerjaannya mencari dan mengubah masalah menjadi peluang. Dan akses kami berdua adalah di tingkat nasional bahkan internasional.
6. Anti Suap! Jadi gak perlu lagi itu Kiss Ass sama istri saya, karena kita tidak suka disanjung dan disuap. Harga diri rek. Urip sekali, ya masa mau merendahkan diri seperti itu.
7. PSI. Istri saya diusung oleh parpol jamannow yang terbaru dan pro perubahan. Native dalam teknologi dan digital. Betul betul parpol masa depan. Jadi, saya optimis.
8. Idola istri saya adalah Ahok. Sosok pemberani dan berani karena benar. Mampus deh para koruptor yang coba coba.
-----
Jadi segitu aja sih cerita saya yang panjang lebar ini. Para caleg lain jangan tersinggung, tapi ya emang kenyataannya semua cuma jualan foto, bagi bagi uang aja kan? Janganlah tipu rakyat kita ini. Berikanlah mereka sekarang yang dapat kesempatan untuk sejahtera juga. Jangan hidup untuk membohongi orang lain demi keuntungan kita sendiri. toh kita hidup cuma sekali kan?
Rabu, 09 Januari 2013
Kiprah 100 Alumni Universitas Brawijaya : MENJADI PENGUSAHA ADALAH PANGGILAN HATI
Ardantya Syahreza
MENJADI PENGUSAHA ITU PANGGILAN HATI UNTUK BEBAS DAN BERTANGGUNG JAWAB DALAM BERKREASI UNTUK MASYARAKAT
Setiap orang memiliki bakat dan keunggulannya. Keberhasilan seseorang akan dimulai ketika dia menyadari dan memahami bakat dan keunggulannya. Begitu pula dengan Ardantya Syahreza, dia mampu keluar dari sudut sempit keinginan menjadi seorang profesional seperti ayahnya dan berhasil menemukan bakat dan keunggulannya di bidang bisnis. Berkat kegigihan dan kerja kerasnya mengasah potensi diri, kini dia memiliki dua perusahaan dibidang brand activasion (PT Marketing Komunikasi Indonesia) dan di bidang franchise kuliner (PT Kuliner Nusantara Sejahtera Indonesia).
Pria kelahiran Jakarta yang dibesarkan di kota Malang ini awal tidak pernah bermimpi menjadi seorang businessman. Ayahnya, Prof. Dr. dr. Mohamad Hidayat, SPOT, adalah seorang dokter bedah spesialis Orthopedi yang juga menjadi dosen di FK UB. Karena itu, cita-cita masa kecilnya adalah menjadi dokter sebagaimana sang ayah.
“Karena setiap di meja makan kita mendengar cerita dari ayah saya bahwa seorang dokter itu tidak bisa kaya sekali, tapi tidak juga akan jatuh ekonominya, karena akan selalu dibutuhkan. Jadi saya ya tahunya cuma jadi dokter,” kenang Ardantya. “Di SMA pun saya diarahkan untuk sekolah jurusan IPA, padahal nilai saya tidak mencukupi untuk masuk IPA. Sampai harus pindah sekolah supaya bisa masuk IPA.”
Kesibukan sang ayah yang bekerja 12-14 jam sehari membuat hubungan komunikasinya kurang berjalan baik. Meskipun begitu, Ardantya dapat mengambil sisi positif dari sosok seorang laki-laki pekerja keras, bertanggung jawab, tegas dan sukses. Dia kemudian menemukan sosok pelengkap pada diri pamannya, Ir. Benny Subianto, yang sukses bekerja di Jakarta. Pamannya itu pula yang kemudian membelokkan orientasinya tentang masa depan.
“Sampai umur 17 tahun, pada suatu malam saya berdiskusi dengan paman saya dan kemudian di challenge apa alasan saya ingin menjadi dokter. Saya tidak bisa jawab,” tutur Ardantya. “Kemudian dalam diskusi singkat tersebut, wawasan saya langsung terbuka dan langsung mengubah haluan cita-cita saya untuk ingin masuk dunia bisnis."
Setelah lulus SMA, dia pun hanya mengambil jurusan IPS saat mendaftar UMPTN dan akhirnya diterima di Fakultas Ekonomi UB dan mengambil jurusan Manajemen. Dia mulai menemukan keunggulan dirinya, bakat yang dimilikinya, ketika dia diterima sebagai anggota AIESEC, sebuah organisasi internasional yang fokus pada pengembangan kemampuan kepemimpinan.
“AIESEC beroperasi seperti layaknya sebuah perusahaan. Kami sebagai anggota baru, ada training-training yang disediakan seperti marketing training, presentation skills, negotiation training, dan lain-lain, yang tujuannya akan digunakan kita semua sebagai officer pengelola project-project AIESEC,” tutur pria pecinta musik jazz yang sempat menjadi keyboardist Home Band Unit Aktivitas Brawijaya pada tahun 1996-1998 ini.
Kemauannya yang kuat dan kegigihannya mengikuti program-program organisasi membawa Ardantya meraih puncak posisi sebagai Ketua Nasional AIESEC Indonesia tahun 1998/1999. Dan sebagai pengrus AIESEC, dia pun berkesempatan untuk mendesign banyak conference dan planning, memimpin organisasi, memimpin team, dan membuka jaringan dengan teman-teman dari berbagai Negara.
Bersamaan dengan berakhirnya kepengurusan di AIESEC Indonesia pada bulan Juni 1999, Ardantya berhasil lulus ujian skripsi dengan nilai A. Dia langsung berangkat ke Canada untuk mengikuti program international traineeship AIESEC dan berkesempatan bekerja di Royal Bank of Canada.
“Gara-gara pernah kerja di Canada, sewaktu saya melamar bekerja di ACNielsen, saya dianggap seperti lulusan luar negeri. Lumayan,” ungkap Ardantya.
Mulai bergabung dengan ACNielsen Indonesia tahun 2000, Ardantya menganggap awal karirnya menjadi gerbang awal yang membentuk dirinya sebagai seorang professional di bidang marketing. Disitulah dia banyak belajar mengenai bagaimana cara untuk menggali segala informasi dari sudut pandang konsumen dan juga perilaku konsumen---mulai dari brand positioning, segmentation, targeting, consumer insights, dan lain sebagainya. Tahun 2002 dia memutuskan keluar dari ACNielsen Indonesia dan bergabung dengan Exquisindo Global Research sebagai Research Manager.
Bosan bekerja dibidang riset dan karena penasaran bagaimana informasi konsumen dari riset akan diolah, Ardantya kemudian memutuskan lompat ke dunia advertising. Tahun 2003 dia bergabung dengan DDB Indonesia, sebuah perusahaan periklanan multinational, sebagai Business Development Manager.
“Bekerja di sebuah perusahaan periklanan adalah sebuah pengalaman baru setelah 3 tahun bergerak di bidang riset pemasaran. Sebuah dunia yang dinamis dalam hal bagaimana mengkomunikasikan sebuah pesan dari suatu merk atau brand kepada target audience-nya, “ tutur Ardantya. “Saya di sini berperan sebagai individu yang mencari klien-klien baru bagi perusahaan dengan mengembangkan proposal-proposal yang tepat bagi calon klien ini.”
Di sini dia belajar sisi kreatif dari dunia brand communication, bagaimana informasi dari konsumen dapat menjadi sebuah dasar suatu konsep brand communication. Pengalamannya dibidang riset konsumen menjadi modal yang cukup untuk berkarir di dunia advertising. Dan karena itu, dia merasa begitu menikmatinya.
Lama kelamaan kembali muncul rasa bosan. Kali ini bukan bosan dengan pekerjaan, melainkan bosan “disuruh-suruh” oleh bos.
“Bersamaan dengan itu, saya mulai melihat ada peluang pada tahun 2004 itu adalah maraknya agency advertising yang menawarkan iklan TV, radio dan cetak, tapi belum banyak yang menawarkan program-program brand communication yang berbasis terukur, sales oriented, relevan dan interaktif,” ungkapnya. “Pas banget seorang teman sedang mencari agency, maka saya bentuklah PT Marketing Komunikasi Indonesia dengan nama EXIGO Brand Activation Agency.”
Lahirnya PT Marketing Komunikasi Indonesia (MKI) juga distimulasi dari banyaknya komentar para pemilik merek perihal bagaimana mereka bisa mengukur korelasi investasi pada iklan dengan hasil penjualan bisnis. EXIGO adalah agensi below the line yang dirancang untuk melakukan segala kegiatan promosi dan pemasaran merek, sistem remunerasinya memuat variabel nilai yang dibayarkan disesuaikan dengan tingkat keberhasilan suatu kegiatan dan penjualan.
“Merintis usaha sendiri di awal sangatlah menyenangkan. Kata pertama adalah; “BEBAS”! Kita bebas mengarahkan kapal kita, kita bebas menetapkan target kita, strategi kita, gaya kita, ide kita dan lain-lain,” ujar pria yang mengaku memulai usaha sendiri dengan modal nekat ini.
Klien pertamanya adalah sebuah perusahaan dengan produk minuman kotak Country Choice. MKI langsung menggebrak dengan kegiatan School to School untuk mempromosikan minuman kotak ini kepada anak-anak sekolah.
“Event ini cukup berhasil mendongkrak brand image produk tersebut, apalagi menggunakan ikon Spongebob dan digelar kegiatan seperti lomba mewarnai, game, dan lainlain,” jelas dia.
Meskipun cukup berhasil menangani proyek pertamanya, karena minimnya pengalaman menangani usaha sendiri, tahun pertamanya terasa stagnan dengan pertumbuhan yang lambat dan sibuk membangun reputasi dan portfolio.
Di tahun kedua, Ardantya berusaha meyakinkan investor untuk kembali menyuntikkan modal usaha agar MKI dapat merekrut karyawan-karyawan dengan kaliber lebih professional sehingga mampu menggaet lebih banyak potential client. Dan usahanya berjalan baik. Dalam waktu singkat, MKI mampu berkembang pesat dan pada tahun 2007 mampu meraup omzet sebesar 8 milyar rupiah.
“Namun sekali lagi karena minimnya pengalaman, perusahaan tiba-tiba berhenti menerima order bisnis selama semester 1 2008. Perusahaan kami bleeding hingga kita harus mengeluarkan seluruh karyawan, dengan tersisa sekretaris dan Office boy, di Juli 2008,” Ardantya mengungkapkan pengalamannya, bagaimana rasanya jatuh terjerembab setelah menikmati sukses.
Dukungan penuh keluarga, diakuinya, membuatnya mampu kembali bangkit. Dengan dibantu sang istri tercinta, Sofia Ambarini, Ardantya perlahan-lahan berusaha membangun lagi usahanya dari awal. Berbekal portofolio dan kemampuannya di bidang strategi marketing communication, dia berhasil mendapatkan beberapa client dengan dibantu perusahaan teman sebagai vendornya.
“Kami belajar bahwa berkembang haruslah konservatif. Berkembang tidak hanya semata-mata menyuntikkan modal, beli pemain dan akan mencapai titik puncak. Semua butuh proses dan perkembangan dengan bersama antara karyawan/team, dan pimpinan,“ tutur ayah satu putra dan satu putri ini.
Sedikit demi sedikit MKI kembali bergerak. Mulai dengan Omzet 500 juta/tahun di 2009, kemudian naik menjadi 2 miliar per tahun di 2010 dan 2011. Sekarang di tahun 2012, MKI telah mampu kembali mencapai omzet 8 miliar dan terus melaju untuk mengembalikan kejayaannya. Dan untuk menegaskan komitmennya kepada para klien terkait brand activaton, Ardantya mendirikan divisi riset yang kemudian menjadi keunggulan MKI.
“Keberhasilan dalam membantu para klien kami dengan brand-brand mereka untuk mencapai marketing atau business objectives-nya membuat kami semakin percaya diri dan berhasrat untuk selalu mengasah kemampuan kami dalam memberikan solusi-solusi yang tepat bagi brand-brand klien kami,” tegas Ardantya, yang juga pemilik PT Kuliner Nusantara Sejahtera Indonesia (K-Food), yang menaungi usaha franchise Bakso Kota Cak Man di mall Plaza Semanggi, Margo City Depok dan Cibubur Junction.
Sejak didirikan pada tahun 2005, PT Marketing Komunikasi telah membidani beberapa klien-klien seperti Bank Central Asia, Nestle Indonesia, Shell Indonesia, Danone Dairy Indonesia, Mayora Indonesia, Kraft Foods Indonesia, LG Electronics Indonesia, Kidzania, Hutchison Telecom Indonesia, Kalbe Farma, Combiphar, Ranch Market, Arnotts Indonesia dan masih banyak lagi.
Untuk menjadi pengusaha, menurut Ardantya, seseorang harus memiliki keberanian untuk bermimpi, mengeluarkan ide-ide baru dan mengambil resiko. Kedua, passionate, kecintaan pada bidang yang ditekuni, karena biasanya hal itu akan membuat seseorang selalu termotivasi untuk bekerja keras dan all out. Seorang pengusaha juga harus berorientasi pada tujuan, pantang menyerah dan memiliki kemauan yang kuat untuk terus belajar, untuk menyerap berbagai informasi. Selebihnya, banyaklah berdo’a pada Allah SWT dan bantulah orang lain.
Sebagai pribadi, Ardantya meyakini jalan hidup sebagai pengusaha. Dia begitu menikmati makna kebebasan dan kemandirian, yang menurutnya tidak akan tergantikan dengan apapun. Namun, dibalik kebebasan dari seorang pengusaha, Ardantya memahami betul bahwa sebagai seorang pengusaha memiliki fungsi penting untuk selalu berkreasi dan menciptakan hal-hal baru yang membawa kebaikan lebih baik lagi di masyarakat.